another night of being a mother

Malam ini, di tengah gelap kamar yang hanya diterangi lampu tidur kecil, aku memutuskan untuk bercerita tentang hubungan ayah dan anak. Ceritanya sederhana, tapi aku sengaja membungkusnya dengan sedikit drama. Ada dialog lirih, jeda yang pas, dan suara yang nyaris bergetar.

Hasilnya?
Mata mereka mulai berkaca-kaca. Bahkan sebelum cerita selesai, ada yang sudah menyeka pipi. Tapi di sela haru itu, aku selipkan humor kecil — satu kalimat lucu yang membuat mereka tersenyum di antara air mata, tau kan betapa lucunya aku?

Itulah seni melatih rasa.
Bagi anak-anak, rasa sedih bukan sekadar tentang kehilangan atau air mata. Rasa sedih juga bisa menjadi ruang untuk belajar empati, mengenali kehalusan hati, dan memahami bahwa perasaan datang dalam warna yang berlapis-lapis — bukan hitam putih.

Menjadi ibu ternyata juga berarti menjadi sutradara emosi. Aku belajar untuk mengulas ulang perasaanku sendiri, lalu menyalurkannya kepada mereka lewat medium apapun — cerita sebelum tidur, obrolan ringan di meja makan, bahkan saat mengomentari hujan di luar jendela. Aku belajar untuk memilih kisah mana yang kuceritakan malam ini dan mana yang untuk esok hari. Aku belajar melihat reaksi mereka, dan betapa jujurnya hati mereka.

Juga, humor membuat hati mereka tidak terlalu berat. Drama membuat pesan masuk lebih dalam. Kombinasi keduanya membuat anak-anak tertidur bukan hanya dengan mata terpejam, tapi dengan hati yang penuh.

Malam itu aku menyadari, mengasuh anak bukan cuma soal memberi makan dan menjaga kesehatan.
Mengasuh anak juga berarti melatih rasa mereka, agar kelak mereka punya hati yang kuat, lembut, dan peka.

Dan semua itu bisa dimulai dari satu cerita sebelum tidur.

---

Comments

Popular posts from this blog

Why Making Everything Digital Is Important

Renungan Transjakarta Sore Ini

Romantisme Allah Lewat Azan: Panggilan Mesra dari Langit