Thursday 13 June 2019

RASA dan PERASAAN

Kemarin perjalanan mudik dan balik dari Jakarta ke Pati ke Jakarta lagi banyak ngobrol sama Gusmin sang supir yang ternyata masih sanak saudaraku. Aku sadar banyak temuan baru dalam diri manusia, dimana salah satunya ya Rasa dan Perasaan. Salah satu bahan obrolan kami adalah anak, yaiyalah yah sebagai parents jaman now, gak jauh dari anak. Kebetulan anaknya Gusmin dan Sky cuma beda 2 tahun, Bilqis 5 tahun, Sky 3 tahun. Adiknya juga deketan, anak kedua Gusmin cowok, namanya Al umurnya 11 bulan, dan Karim 12 bulan. Mirip kan?

So anyway we began with how much the sisters hurt their little brothers. Ternyata sama aja. Walau kayaknya kirain Bilqis lebih dewasa bisa baik dan sayang adik, ternyata 11-12 sama Sky. Jealousy, envy and competitiveness. Lalu beralih ke obrolan belanja dapur anak, susu, popok, makanan. We agree that it's so hard to manage the grocery expenses, dan dari sudut pandang istri dan suami, aku jadi paham how big a father's responsibility and sacrifice is. Same thing, Gusmin juga jadi paham betapa susah banget ngatur uang dan amanah dari suami untuk istri dan anaknya. Fair trade.

PERASAAN
Then we came to the topic of how hurtful is when the sisters punch, slap, kick, smack their brothers. Gusmin kira sakit, karena nangis.
Aku bilang bukan karena sakit, tapi karena dibikin seolah itu sakit.
Kenapa? karena aku lihat Karim sering nyakitin dirinya sendiri; mukul meja, jendela, jedotin kepala ke lantai, kaca, meja, dll, dan dia nggak nangis. Tapi ketika didorong Sky, pelan dan nggak sampe jatuh, dia nangis kenceng. You know why? Karena orang sekitarnya Karim (me, mbak Siti, neneknya, Eqi) ngaggetin Karim dengan reaksi kami saat lihat dia didorong Sky.
Itu yang bikin Karim nangis. Bukan sakit.

Pernah suatu hari, Karim jatoh karena baru belajar jalan sendiri. Jatuhnya lumayan sakit di pantat dan tentunya dia kaget. Aku perhatiin ekspresi mukanya sambil menahan ekspresi muka kaget dan khawatirku (yah namanya ibu) untuk memancing reaksi apa yang muncul dari Karim saat merasa jatuh tapi nggak ada stimulus "eh aduh ayo nak sakit nggak? aduh bangun yuk? aduh are you okay?".
Instead, aku tepuk tangan dan nyanyi 'happy birthday'.
Karim ngeliat aku tepuk tangan dan nyanyi, dia diam sejenak.
Lalu ikut senyum dan tepuk tangan.
Dalam hatiku "lah, ga jadi nangis?"

Di situ aku belajar banyak; rasa sakit itu (untuk bayi) ternyata adalah ajaran. Saraf dan badan dia bisa mentoleransi rasa sakit hingga sekian persen sehingga nggak immediately bikin nangis (karena nggak nyaman). Rasa sakit itu dikenalkan dan dipelajari seorang anak dari sekitarnya. No wonder, kalo ada anak yang celaka dikit langsung dihebohin orang tuanya "eh ya ampun anakku, aduh sakit nggak?" atau bahkan berlanjut ke "eh aduh kasian jatuh, nih nakal ya lantainya, pukul ni.. lantai nakal" malah membentuk mental yang kurang oke yah menurutku; menyalahkan, manja dan tidak terima atau mengakui salahnya sendiri.

Ya emang sih, bukan salah dia kalo jatuh, tapi kan bukan salah lantai. Dan anak tidak perlu dihebohkan dengan 'rasa sakit' yang sebetulnya kita bisa kontrol. Toh kalo dia betulan kesakitan, dipancing ketawa kayak apapun dia tetap akan nangis. Kenapa?
Karena dia tidak nyaman.
Lalu apa sih nyaman?
Beda ya setiap anak dikenalkan dengan rasa nyaman; ada yang nyusu, dipeluk, digendong, dicium, diayun, atau cukup diberdirikan (dari jatuhnya) dan diberi senyuman. Kembali ke ortu (atau pengasuh). Makanya ketika dia celaka dan sampai di titik tidak nyaman (termasuk sakit secara fisik), maka dia akan nangis, apalgi kalo secara fisiologis ada gejala bahaya; berdarah, memar, lecet, dsb.

Itupun gejala fisik bisa aja nggak relevan ya. Soalnya Sky sering luka, berdarah dan lecet tapi nggak nangis. Karena Sky nggak aku ajarin dengan rasa sakit.

RASA.
Tempo hari Karim diurut sama Mbah Ni, langganan tukang urut bayi di keluargaku. Waktu dipijat bagian punggung dekat lengan kanan, Karim nangis jerit-jerit. wa waa waaaa ga bakal tega deh, kalo ada orang lewat dan denger pasti dikira dipukulin ahahahha. Anyway, pijetnya ngga kenceng kok, I know because Mbah Ni juga pernah urut aku and she is so soft and tender. So menurut Mbah Ni, Karim kecapean dan bagian badannya yang itu pegel atau kaku, makanya kesakitan dan nangis.

Besoknya habis mandi, aku urut Karim di bagian yang sama, bahkan agak lebih kenceng pijetnya. DIA KETAWA.
Ya, boleh dibilang "ya udah sembuh abis diurut kemarin", makanya nggak sakit lagi. But come on, we all know abis diurut itu nggak semua pegel immediately ilang. Bahkan ada pegel yang makin pegel abis urut, ya kan?
But Karim laughed, as if it was ticklish. He liked it.

Ini yang namanya Rasa pada manusia. Rasa itu muncul juga dari Perasaan.
Karim kenal siapa yang pegang dia, Karim bisa merasakan sentuhan, mencium bau, mengenali sentuhan, mendengarkan suara dan mengidentifikasi individu. Karim yang bahkan belum ada se-dekade hidup ke dunia, bisa tau siapa yang ibunya, siapa yang bukan.

Lagi-lagi, ini tergantung bagaimana ortu (atau pengasuh) menanamkan identitas mereka pada memori anak. Dan aku merasa sangat dekat dengan Karim, sehingga Karim juga merasa nyaman denganku dan dengan apapun yang aku perbuat padanya. Jadi kalau ada suatu perbuatan (atau perlakuan, atau stimulus) yang sama, dilakukan oleh dua orang berbeda kepada kita, perasaan kita bermain RASA dan akhirnya menimbulkan reaksi yang berbeda, walaupun halnya sama.

----
Rasa itu ada di sensorik motorik dan fisik. Sifatnya refleks, bisa jadi punya standard tertentu.
Perasaan itu datangnya dari dalam hati dan apa yang ditanamkan pada kita dari kecil.

Rasa itu sebuah simbolik. Perasaan itu sebuah nilai dan makna.
Contohnya kalau kita lihat buah lemon.
Lemon itu RASAnya asam, tapi PERASAAN:
1. seger deh, buat yang suka asem
2. kecut di mulut, buat yang nggak suka asem
3. aduh jangan deh, buat yang punya maag
4. wah enak dicampur teh, buat yang selera.

----

SEGITU DULU YAH KE-SOTOY-AN KITA INI!