Thursday 28 October 2010

a night of conclusion

Langgar menyusul tubuhku dari selimut tebalnya, ia mencium pundak telanjangku dengan lembut. Bibirnya menuju daun telinga kananku, berbisik "that was the greatest sex that I've ever had with you"
Aku menggeliat membalik tubuhku menghadapnya, memeluknya dan menggigit lembut leher kirinya lalu mendorong tubuhnya kembali ke dalam selimut.

"And someday, we'll have this kind of sex, again" aku berbisik dalam batinku, setelah tau beberapa jam lagi Bram, adiknya Langgar, akan menjemputku untuk menemui ibu mereka.


-delia-

Wednesday 27 October 2010

hit the beat

layar tulisan hampa saya sedang tidak bersahabat, tidak terlihat.
ternyata saya melihatnya dari ponsel saya. agak pecundang ya kalau memata-matai diri sendiri dengan cara yang tidak teliti. saya kira mencintai diri sendiri itu bukan masalah, yang saya baca, ada istilah megalomaniac; menganggap diri sendiri sebagai sosok super yang hebat dan tidak terkalahkan.

sungguh, bercinta dengan teknologi menguras lebih banyak keringat dan udara dibanding bercinta dengan sepak bola. maaf ya, kadang-kadang kita memang harus memilih di antara dua hal yang sulit, makanya saya coba mengurangi kesulitannya dengan tersenyum. yang mana saja, boleh.

dan layar tulisan hampa saya semakin besar label sampah-nya, karena saya tidak sedang dalam mode menuangkan imajinasi fiksi yang sering saya cakapkan saat menyetir mobil sepulang kuliah. gila ya kerja pikiran saya. *nafas*

Sunday 24 October 2010

ecoutez!

This is my 3rd sleepless night. Got nothing to think about, I quit thinking unimportant disease that affecting most of my brain cells. These bacteria seemed weak enough to be drifted away from my head.

I am listening to random songs in my netbook, burrying my head beneath these crazy opened eyes. My mind's flying 3miles above my bed, my hands are shaking as their fingers slowly type this text.

I always love imagining things about future, yet I am too poser to plan any of it. I have a dream, at least. And that keeps me awake and breathe everyday.

"Kiss me beneath the milky twilight"
One good line from a sweet band, me love music as I love eating (sometimes gotta get off of it)

What crossed my mind few hours ago was about my mom, my home and everything around.
I love having a daydream. My mom and my home are two best things in my life, I'd think million times to leave them, yes boyfie, millions time thinking to leave them. Come, join us here in the juggling party of life.

And smile, just smile, gorgeously :)

Friday 22 October 2010

menunggu pacar berlatih band


tertawa adalah hal yang paling wajar yang belakangan ini saya lakukan. Tidak mutlak ada hal lucu yang harus dijadikan alasan, hanya sebuah pandangan atau pikiran mendadak yang menggelitik saraf geli di otak saya sehingga saya harus melepaskan refleks itu melalui suara membahana atau gelak tertahan di wajah saya. Paling tidak, saya sering sekali tersenyum belakangan ini, melihat apa saja.

Silahkan panggil saya freak, gila, atau aneh, atau kampungan, atau tidak beradat, atau apalah frase yang dapat mendeskripsikan kebiasaan tertawa tiba-tiba saya. namun di antara tawa tersebut, saya benar-benar menggelakkan apa yang menurut saya hal lucu. Mungkin saya terlalu stres memikirkan banyak hal, sampai hal yang seharusnya tidak perlu saya pikirkan. Lalu pada akhirnya stress saya berakhir pada coklat yang kandungan gulanya hanya menambahkan sedikit bobot pada badan saya. Kesal dan merasa aneh, karena celana saya memnbesar dan timbangan rumah saya seperti rusak karena jarumnya tidak mencapai angka 50 saat saya injak, Mungkin dia kesal karena saya injak.

Sebentar saya mengecek email saya, inbox-nya penuh update dari teman-teman S2 saya tentang tugas dan materi presentasi. Ini juga salah satu penyebab tawa saya, kenapa saya mengambil program S2 sebelum saya benar-benar tau apa yang akan saya hadapi setelah lulus menjadi sarjana? Semuanya benar-benar seperti taruhan, dan saya benar-benar menaruh diri saya pada situasi lucu yang hanya dapat saya tertawakan.

Oh iya, saya gak tahu ini berkaitan atau tidak, tapi kemarin siang, saya menemukan sehelai uban tumbuh di rambut saya. Saya memilih untuk berpikir bahwa uban ini adalah hasil dari rasa sesak di otak saat saya tidak bisa liburan lebih banyak dan menghabiskan uang lebih sering. Bukan, bukan ayah atau pacar saya melarang saya untuk boros, tapi memang semata-mata saya tidak lagi punya uang untuk dihabiskan. Terlebih dari itu, saya tidak punya waktu untuk merencanakan penghabisan uang lagi.

Trip HongKong yang lalu masih segar sekali terasa di betis saya, sengaja tidak saya rengganggkan, just in case, kalau kalau saya rindu ingin liburan namun tidak bisa. Kali ini karena thesis ya. bukan karena tidak punya uang atau tidak ada waktu (apalagi karena dilarang).

by the way, ngomong-ngomong, ada apa sih di TV belakangan ini? setelah menolak tawaran kontrak dari stasiun TV nomer 1 di Indonesia, rasanya antisipasi saya terhadap input masukan informasi jadi semakin berlebihan.Tidak hanya memecahkan remote TV, saya juga memintal kabelnya menjadi penyekat rak buku yang paling reyot di antara yang lain. Padahal, buku-buku di situ adalah buku-buku fiksi yang sudah saya tidak tengok lagi.

Saya baru sadar, saya mencoret term-term istilah-istilah bahasa inggris di atas, padahal saya justru harus mengembangkan penggunaannya. Terlebih lagi, saya harus benar-benar menyusun thesis instead of writing, dari pada menulis blog ini. Ayolah, saya paling jago merajuk pada waktu, hanya saja waktu yang selalu memusuhi saya dan memburu semuanya. Saya sedang berusaha menyalahkan les bahasa Arab dan literatur bahasa Perancis serta percakapan bahasa Jepang dengan Ayyi akhir-akhir ini.

Les bahasa Arab saya semakin condong pada aqidah dan fiqih, sementara bahasa Perancis saya isinya hanya n'oublies pas l'article, lalu bahasa Jepang saya dan Ayyi adalah cacian terhadap mereka yang mencekal mimpi mimpi kami sebagai anak perantau. Ayyi selalu mengakhiri perbincangan kami dengan refresh menyegarkan kembali mimpi saya. Ya, mimpi yang selalu contradictory bertolak belakang dengan keadaan serta pengetahuan yang sedang saya kecap. Siapa peduli, saya selalu menghempaskan ketidaksinambungan ini semua dengan seputar lagu setiap jam 10 malam di mobil saya, memacu kecepatan hingga 60-70 kmph kilometer per jam.

Iya, susah ya me-recheck mengecek ulang tulisan dan mengcross coret dengan tanda ABC di atas lalu mengetik ulang frasa yang dicoret ke dalam bahasa Indonesia. susah.

Wednesday 20 October 2010

groupies

Seperti penggemar setia suatu klub sepak bola, sore itu aku menumpukan lututku pada pagar datar pendek dekat lapangan sekolahku. Senior favoritku, Rendra, sedang asik menggiring sepak bola kea rah pemain di salah satu ujung lapangan. Aku sudah tiga bulan ini terus  membuntuti Rendra, mungkin aku disebut stalker. Aku suka sekali pada Rendra, caranya bermain bola, caranya memimpin grup kerja kelompok bersama. Charming dan selalu menyita perhatian. Sore itu pula aku merasakan getaran yang sama, setiap dia mencetak gol, menggiring bola dan mengoper bola ke temannya. Menyenangkan sekali setiap melihat dia tertawa dan bercanda dengan timnya.

Saat selesai latihan, aku selalu lari terbirit birit menghindari tangkapan matanya yang jelas seminggu terakhir ini mulai mencurigai keberadaanku. Malu dan gugup, dua kata yang bisa mendeskripsikan kekagumanku pada kakak kelasku. Andai aku bisa masuk jadi anggota cheerleaders di sekolah, pasti aku selalu bisa tampil di dekat kakak kelasku itu, Rendra. Rendra berbadan tegap, dia masuk jurusan Alam dan menjadi ketua tim sepakbola sekolahku. Beberapa kali memenangkan kompetisi antar sekolah dan yang aku tau, dia dan kelompok belajarnya adalah pelopor dari kelompok-kelompok belajar lainnya.

Dulu, ia punya pacar bernama Saskia, ketua cheerleaders yang merupakan ketua gang paling berkuasa di sekolahku. Mereka terlihat sangat serasi, namun setelah beberapa bulan pacaran, mereka putus karena pihak sekolah menyatakan mereka adalah pasangan yang memberikan teladan buruk. Ya, kalo boleh jujur, ketahuan ciuman oleh kepala sekolah memang bukan hal yang bisa dibenarkan. Rendra bahkan nyaris diskors selama seminggu jika tidak segera putus dengan Saskia. Selulusnya Saskia, Rendra mulai menebar pesona single-nya kepada para adik kelas, termasuk aku.

Rendra tidak pernah bicara langsung padaku, ia hanya ingat wajahku kurasa. Beberapa kali Tommy, kakakku mengenalkanku padanya, ia tetap tidak ingat namaku. Tommy sering menceritakan tentang Rendra padaku, secara netral tentunya, dan aku tetap kagum pada Rendra. Tommy melarangku untuk naksir sama Rendra, jadi aku putuskan untuk menggemarinya saja. Sampai detik ini, genap satu tahun saya mengikuti kemanapun Rendra beraktivitas. Kalau tidak bisa secara harfiah, saya selalu mengupdate-nya melalui Tommy.

Sore itu, setelah menumpukan lutut pada pagar datar itu, aku sudah bersiap lari seusai peluit di akhir latihan. Menuju parkiran sepeda, aku tidak melihat kiri kanan langsung menggeser kasar sepedaku dan bergegas pulang. Sore itu, saya begitu terburu-buru, sampai pagar sekolah, aku berpapasan dengan Tommy. “Kamu nggak latihan Kak? Udah selesai tuh latihannya barusan?” aku menyapa Tommy yang terlihat baru datang dari arah sebrang sekolah. “Kamu ngapain buru-buru begitu? Abis ngeliatin Rendra latihan ya? Hayoo aku kenalin, abis ini kami mau makan-makan ngerayain ulang tahun pelatih kami” Tommy menggenggam sepedaku dan membimbingku kembali ke parkiran sepeda. Aku tidak bisa mengelak. Meskipun aku tau, ini hanya akan jadi kesempatan ke sekian dimana aku hanya akan menyodorkan tanganku, menyebutkan namaku dengan lirih tanpa menatap wajah tampan Rendra. Kesempatan ke sekian dimana dia akan menyambut tangan saya dengan antusias lalu beranjak ke arah teman-temannya kembali.

“Tommy!! Ini adiklo yang lo ceritain itu?” suara Rendra menggelegar dari arah belakangku. Jantungku serasa berhenti berdegup, suara itu suara yang selama ini aku dengar dari pinggir lapangan, kini berada persis dibelakangku dan membicarakan aku. “Hey, Rendra!” ia mengulurkan tangannya, tersenyum super manis padaku lalu kubalas dengan sejuta ragu dan bahagia “Erika” aku mengusahakan senyuman paling sempurnya yang bisa kubuat namun nampaknya tak terlihat oleh Rendra, karena aku menunduk. Rendra mengangkat daguku dan berkata “Erika, sore ini ikutan makan ya sama pelatih kita, kita lagi nyari manager untuk kompetisi selanjutnya, kata Tommy, kamu jago ngatur jadwal dan bangunin orang tiap pagi”

Wajahku terangkat dan terlihat olehku setitik keringat di keningnya. Aku tersenyum dan mengangguk samar sambil menyamai langkahnya ke parkiran sepeda. Rendra menemaniku memarkir sepeda dekat pagar depan dan kami menuju ke lapangan untuk bergabung dengan teman-teman lainnya. Di luar keseriusannya mengenai menjadi manager, tapi dia mengajakku ngobrol untuk pertama kalinya, ini yang luar biasa. Permulaan yang bagus untuk setahun setelah aku mengintili-nya sebagai fans.

Monday 18 October 2010

my name is Allegra

Hello, my name is Allegra. I'm working as an accountant in this city. Actually, I am an assistant of Mr Murphy, the real accountant. yet, I do mostly what an accountant does. Anyway, I am not gonna tell you what my job is. My life is what I am going to describe. Short words, but I hope you understand about who I am.


This morning, I'm rushing to the office, not because my boss came earlier, it was simply because I need to prepare everything for his meeting with an important client. I ran into the paper stall and grab some magazines -about economy and financial, of course- which takes me seconds because Ali is my good paper friend. Then I hit the nearest Starbucks. My heart beats faster when I stare at the very long queue. I slip into the coffee machine and greet Tom.
"Tom, hard morning huh? Could you snap me a cup of espresso, you know, Murphy will be there earlier"

Tom smiled and rush the espresso for me, yes, with a date request, again. I said, this evening, at Solo. Tom used to be my boyfriend when we were in the eight grade. He is cute, he will always be. But I don't see the significance of re-dating him after what he did to me on earlier days. (I'll skip this one, cause I need to rush to the office as soon as I could)


I arrived at the meeting room, empty, then I set the coffee and papers as good as it could looked. Fine! It is always easy. Almost forgot to open the windows and re-curve the seating position, this client is a tiny typical person, then I set it up that way. Anyway, Tom, okay, I'm a bit easy now to tell you what did Tom do on high school. Well, we were dating like three years, on my birthday, he gave me a surprise, a kitten. I screamed happily taking that kitten and named her Kelly. Apparently, Tom was buying it with stolen money from his boss at burger stall.

At first, I was touched. But then, I know he stole many things from me, petite form of course, but still, he stole them. Pencils, books, blankets, pants, jacket, pans, and other small stuff. I thought he was having the disorientation with stealing. Which people call it kleptomaniac. Weird, and we decided to broke up that day, yet keeping up as friends. 


Back to the office, I heard Mr Murphy's coming. I say hi and he started the morning dictation what to do and not to do to me, after all this time I worked with him. It is like a routing, and I'm getting used to it. Usually I put my earphones when he was talking, but this morning, I chose to listen more carefully to his instruction. As I guessed, usual protocol greeting client and serving them with data and solution about financial matters. I nod repeatedly and move forward to help Mr Murphy with his documents. This person reminds me very much to my dad in hometown. Old fashioned, leading and inspirational person at work. In the same way, dad is a great single fighter as single parents. I sometimes feel like I don't need mom having such a father like him. But yes, I miss my mom for most of the time.


My boyfriend, Andrew said, that dad is doing fine there. He still goes fishing with Andy, my cousin and Andrew still regularly drive him for shop in groceries. I'm so glad they have good times in there, meanwhile I am here writing reports, making calls and proposing solution for the richers.


Anyway, going to the meeting, or client today, Mr Tankado is a Japanese enterpreneur, having a bit problem with debt and credit with partners. His secretary, Anna speaks Japanese very good, itadakimas, is the word that she says the most when we are eating. I love talking to her, she's smart, sophisticated and devoted to Mr Tankado. I wish I could be as faithful as her (in work). We talked and discuss about the problem solving for two hours. Less time needed this time because me and Mr Murphy had set all the solution, hence Mr Tankado couldn't be agree for more.


I had lunch in Italian resto with Anna, she has an hour off and we start discussing about holiday, family and surely, Tom.


"I still can't believe your are  giving up such pretty creature like Tom" Anna started to tease me. I shrug many times and try to explain to her how comforting is to have such a person like Andrew. "I wish you could meet him and see how wonderful he is as a carer, a boyfriend, a son and a friend" we laughed and she is still reassuring that I may end up with Tom as my husband in the future "what you're feeling now, may not last, what you're having now, may not remains. Just don't give yourself such big empty expectations without making them true". Again, I laughed. We sipped our tequila and went off to work and started to get busy.


Maybe Anna was right, I thought me and Tom would last forever, we had best times of our live. it ends anyway. In the other hand, Andrew is a typical wise, hard working person and loving at weekends. I used to shop at traditional market with him and we went to the town festival every Saturday night. Sunday mornings are always between having him and his guitar in my house or me with the cone and cream breakfast for him in his flat.


He thinks a lot about our future with my dad of course. I am kind of like it to plan our future, with farms, gardens and shops in our house. The current issue is my business here in the city. With Mr Murphy order, I canceled my flights there and lost the chance to see my man there. Surely sad, but lately, Andrew was kind of arguing about his decision to find work here. Not that I don't like it. I just don't see the urgency of that. Gladly I end up explaining my position and plan to go back there asap. he agreed and yes, we re-planned our holidays. He loves music and books, he gave me many CDs and books about adventurous character. I love action movies and books. We really share good taste in these.


Yes, my plan is to resign from this job and apply for better one in my hometown. I've left it for five years and I don't feel comfortable any longer living in the city. On my date with Tom, he gave me views about leaving my job. "You can actually promote yourself, find other firms and get better position, Ex" He loves to call me Ex, referring ex-girlfriend. It is cute I think. "I know, Ex, but I miss my dad, I miss the air of my town, and surely, I miss Andrew the most" I call him Ex as well to get us connected in this thing. Good, because we will always be reminded that we have no relationship but just ex, not even friends. "Yeah, this Andrew man ruins your dreams here" He was not jealous, he was just being so emotionally expressive about how I should make better living here. I nod at most of his suggestions about working position and salary offer.


"Let's just stop dating this way Ex, I don't think it will be easy when I really leave" I said reluctantly. He was a bit shocked but then giggled "when you really leave is the day when I really have a true girlfriend here" he pointed at his chest and mocked me all night long. We end up with popcorn in my studio, watching Discovery Channel, our only one connection about wildlife and hosting a good program on TV.


"Have a good Saturday you, pretty jerk!" He tapped on my nose and left me with blankets around me that morning. Good, he had cleaned the cabinet and popcorn crusts in the couch, so I can sleep longer that day.
Because I know and Tom knows, we are not gonna have any longer weekends together. I'm gonna fly back next month, and he'll be missing me very much.

Monday 11 October 2010

Me and Matt

“oh my lord, I am at the funeral, could you stop calling me, Ima call you back, Jeez” itu adalah panggilan ketiga dari rekan satu timku dalam mengerjakan proyek promosi robotik bulan depan. Dia terlalu panik mengurus keperluan perizinan dengan Kementrian Dalam Negeri di sini. Pameran itu bukan jadi sorotan saya, saya justru heran pada kepanikan Matt. “Have you ever gone to a funeral where everyone is crying over this dead body and suddenly your freaking phone rang as hell? Matt, please!” saya langsung mematikan telepon dan mengubahnya ke mode diam. Saya menggeleng pelan dan kembali dalam lantunan ayat yang sedang dibaca oleh pastur. Yang meninggal adalah tetangga saya, over dosis obat tidur. Sebenarnya prihatin, saya merasa perempuan seumur dia belum harus meninggal. Teman-teman kampusnya adalah murid mentor teater saya, jadi sedikit banyak saya tau kelakuan Maria. Unik memang, tipikal remaja yang haus akan dunia namun tidak dapat pemahaman yang pasti dan pegangan hidup.


Sementara saya menghayati ayat-ayat injil, tiba-tiba suara keras menjerit dari utara pemakaman. Ternyata ibu dari Maria “My sweet heart Mariaaa!!!! I told you to stop joining that satanic club!! I told you to come home to Nottingham earlier!!! Now you leave me this way!!!! Mariaaaa!!” Mrs. Street adalah perempuan histeris yang selalu datang setiap tanggal 12 ke apartemen kami dan membuat penghuni satu lantai mengantri panjang untuk mencoba apple pie buatannya. Saya sendiri selalu naksir dengan teh khas Inggris buatannya. “Mrs Street, my deepest condolences about Maria, I wish I had more time to take care of her” Mrs Street tidak mempedulikan aksen British saya yang biasa saja dan dia memeluk erat tubuh saya yang kebetulan berdiri dekat nisan Maria. Dia sesenggukan dan sesekali saya mengelus punggungnya dengan lembut.


“I would like to have a second with you, Al” tepat saat Mrs Street beranjak dari sisi saya dan mulai menabur bunga, sebuah suara familiar berbisik di tengkuk kanan saya. Tanpa menoleh, saya mengikutinya menjauh dari pemakaman. “Matt, I told you, I would call you later. What are you doing here?”
“This is very important, the secretary of defense would like a legalised approval from the Queen. He said this is a big international invention, UN’s is not enough” Matt menjelaskan seraya menyulut rokoknya.
“Matt, first of all, this is a very sacred moment of someone’s life. I thought you know Maria and her friends, Matt, please!” Saya menahan volume suara tanpa memainkan nada emosinya
“I know, I dated one of her friends, but Al, this is crazy: legalisation from the Kingdom? Are you nuts?” Matt mengulang pernyataan yang membuatnya panik dan saya hanya menghela nafas pendek sambil membalas “see me at the office this afternoon, now let me finish this funeral first, okay Mr Everything-is-a-serious-deal?” tanpa menunggu respon apapun, saya melangkah kembali ke kerumunan. Sambil memandangi tamu yang mulai pergi, saya mendengar Matt menunggu saya di town car. Baiklah, semobil ke kantor dengan Matt adalah sebuah mimpi buruk yang tak terelakkan.
Sebelum mempersiapkan diri mendengar ocehan Matt, saya berbasa basi sejenak dengan Mrs Street dan mengundangnya bermalam di apartemen saya kalau-kalau dia kesepian nanti malam. “I thought you’d be very busy tonight, Ally, but tomorrow I’ll bring you my English tea and lemonade pie. It would be a pleasure to talk to you tomorrow morning, rather than tonight, Al”


Saya mengangguk setuju dan pikiran saya langsung teringat pada konferensi malam ini ke tanah air untuk persiapan pameran. Minggu ini benar-benar gila. Kalau benar apa yang dibilang Matt tadi, itu berarti saya harus menyiapkan paling tidak tiga delegasi untuk menembus lapisan kerajaan Inggris di Napoleon’s Gate. Tidak terbayangkan jika saya yang harus kesana bersama Matt. Karena meskipun tidak langsung ketemu Queen E, saya tetap harus melewati rentetan birokrasi keamanan dari kerajaan. Ini mengingatkan saya akan pertemuan saya dengan Duke of Scotland akhir tahun lalu. Rasanya gugup setengah mati.


Sesampainya di mobil, Matt mematikan rokoknya dan menuangkan saya segelas Scotch. Dalam hitungan detik, dia memulai ocehannya. “Allison, could you now be focused on what we are facing? This contemplating situation is killing pur organization. If within this week aren’t giving any respond to the embassy and secretary of defense, our exhibition would easily be vanished and erased from the time line in the city. You know what that means? We are going to be fired! Am I saying it clear enough? FIRED! So now let’s have a plan whether we are going to avoid this circumstance by promoting outside of the Kingdom or just go straight ahead to see the Queen and get her compromised on our event?” Saya memejamkan mata menikmati Scotch di tangan kanan saya. Sedikit menarik nafas dan membuka perlahan mata saya.
“You are crazy, Matt. I know how dizzy this thing for you is, but I don’t see the urgency and significance of yelling at me like that about this.”
“That is because you are too heedless about your personal life and put less worry about what will be the worst to happen to this project. For God sake, this is just an exhibition. We did NOT invent that robot but we are dying in doing its EXHIBITION! Jesus!!” Matt semakin histeris dan saya berhasil menjauhkan batang kedua dari rokok yang akan disulutnya. Saya menatapnya tajam dan bertanya dengan artikulasi sejelas anak SD yang baru belajar passive phrase. “are you worrying about getting fired or failing this event, Matt, honest answer?”

Matt membanting kasar tubuhnya ke kursi town car nyaman kami. Mengelus kepala depannya dan merasa frustasi atas pertanyaan saya. “Al, we are not going to talk about this. We’ve got to plan something best about this arising matter. I am doubtful we can pass this one, because UN will not be happy having internal issue about their allowance. I’ve got nothing to think about when we have to argue any more with the secretary of denfense” Matt terdengar seperti Harry Potter yang kehilangan Sirius kali ini. Saya gentian membanting tubuh saya ke kursi town car.
“Alright, alright. Don’t call me Allison if I can’t make the Queen publish that goddamn letter for our event.” Saya kira pernyataan tersebut akan membungkamnya. Tapi ternyata dia mulai mengoceh lagi soal hal-hal sepele yang harusnya didiskusikan dengan para pekerja di ruang pameran.


Saya mengacuhkannya dan berpikir keras mengapa Kementrian Pertahanan ingin mempersulit kami. Seharusnya beliau tau betapa ini hanyalah pameran mini di Museum Kota denga budget medium dan target pasar yang tidak luas. Robot yang akan dipamerkan memang semacam alat deteksi kesehatan modern yang mampu mendeteksi penyakit seseorang melalui kandungan karbondioksida yang keluar melalui uap mulutnya. Saya sendiri tidak menemukan korelasi isu kesehatan di Inggris Raya dan izin pengadaan acara kedokteran dan teknologi di New Southampton. Hanya sebuah kota kecil, berpenduduk tidak begitu ramai namun tetap modern. Bahkan tidak sesibuk London ataupun Manchester. Apa karena beliau tau bahwa kami adalah konsultan dari Korea dan bos kami adalah sanak keluarga dari Duke of Wales.


Saya sempat mendengar perseteruan mereka, tentang harta dan tahta. Bos kami adalah Welsh sejati yang pekerja keras, menginvasi dunia PR hingga ke Asia dan rekan militernya, Andrew Trigg memilih untuk menjabat sebagai Secretary of Defense di Inggris. Ah, terlalu rumit untuk saya pikirkan sejauh itu. Saya hanya sangat optimis event kami akan baik-baik saja, dan meskipun sulit, legalisasi dari kerajaan bukanlah suatu langkah mustahil. Apalagi kami dibantu dengan perizinan dari PBB, tentunya bukan hal yang terlalu sulit. Biasa saja tingkat kesulitannya.


“What’d you like to say to our client tonight?” Matt mengingatkan pada script presentasi kami kepada Indonesia untuk konferensi malam nanti. Hari Kamis adalah hari dimana kami selalu melakukan tele-konferens dengan klien kami sang pembuat robot dari Indonesia. Pak Anwar, bukan tipe ilmuwan kaku yang tidak bisa kompromi. Beliau selalu senang member masukan dan menanggapi ide-ide kami untuk pamerannya. Dia mendapat dukungan penuh dari PBB untuk pameran ini. Saya sendiri sebagai warga negara Indonesia cukup bangga atas penemuan ini, bangga juga pada keberanian PBB untuk mengangkat Pak Anwar mengadakan pameran hingga ke Eropa.

“Don’t worry Matt, I know Mr Anwar quite well, with or without being honest about this problem, he’ll be just okay” Saya terus berusaha membungkam kekhawatiran Matt, dan gelas Scotch keduanya memicu pernyataan yang tidak bisa saya rem sama sekali “you know what? I guess we just have to tell him about this situation, it is necessary for him to prepare for the worst also. It is not that I want to bother him with his invention, but the possibility of being cancelled is still there. We are expected to be honest yet comforting to our clients” Matt memulai SBSM-nya, Saya Bertanya Saya Menjawab. Saya memilih mengangguk mendengarkannya. Rasanya ingin tertidur sampai di depan kantor.


Waktu menunjukkan pukul 3 sore, saya mempersilahkan supir pergi setelah memberikan tip yang sesuai padanya. Matt menggiring saya ke ruang meeting dan mereview persiapan kami. Saat melewati meja sekretaris, saya menemukan catatan kecil namun bertumpuk di layar komputernya.
“Ms. Fisher mengkonfirmasi ruang konferensi untuk nanti malam” tampaknya kerjaan sekretaris saya membaik karena mengingat untuk mengonfirmasi hal sekecil ini.
“Penerbangan Mr and Mrs Hopkins sampai besok pagi” jadi besok saya harus bangun pagi-pagi buta sebelum starbucks buka
“Matt menelpon 8 kali” ini harus segera dicabut dan ditempel di kening Matt
“Mrs Brown meninggalkan sereal dan buket bunga di apartemen, tolong re-heat spaghetti” Mama selalu begini setiap saya bilang saya sedang hectic
“Matt mendapat pesanan Black Orchid untuk ulang tahun Sarah Sarapova, tahun depan” ini juga harus dicabut untuk ditempel di kalender saya.


“Mr Trigg meminta laporan terakhir masalah dekorasi dan perizinan dari deputi setempat” oke, ini yang harus saya lakukan sekarang. Saya menuju ruang konferensi, mereview semua dokumen dan segera mengirimnya ke mr Trigg. Beliau tidak suka keterlambatan dalam merespon pesan dan beliau benci dengan ketidaksempurnaan atas tugas yang diberikannya. Selesai mengirim dokumen, saya beralih ke penerbangan Mr and Mrs Hopkins. Mereka adalah sepasang suami istri yang menjadi surveyor untuk pameran kami. Besok mereka akan menilai dan mengevaluasi persiapan kami dan robot yang akan dipamerkan. Menarik, saya selalu suka mengimpresi orang lain. Memicu saya untuk melakukan yang terbaik.


“We’re probably gonna spend a bit longer this night, I would like to hear what Mr Anwar says about the obligation from the Defense” suara Matt membuyarkan saya dan schedule untuk besok pagi. Saya mengundur minum teh bersama Mrs Street dan menjamu pasangan elegan itu di siang harinya. Mrs Street masih akan di apartemen hingga seminggu paling tidak. “Matt, are you seriously taking this order of Ms Sarapova for next year?” Matt tersenyum senang. Dan seperti biasa, kami akan merencanakan hal-hal gila untuk para konglomerat dan pesta ulang tahun anaknya. Perbincangan kami berlanjut setelah tele konferens berakhir.


Seperti biasa, kami supper di Chinese Restaurant dekat apartemen saya. Menu kamipun seperti biasa, shrimp and crab dumplings. Semangkuk mie Cina hangat dan sebotol bir berdua. Matt dan saya sudah lama berteman, setiap kami selalu memahami yang lainnya. Kami berbagi pikiran tentang banyak hal, dan saling mengejek tentang banyak hal pula.


“Hey Al, do you believe when people said that two friends in opposite sex are rarely end up as friends” Matt menuangkan bir ke gelas saya
“Are you saying that they are mostly end up as enemies?” Saya melirik penuh makna
“No, lovers, you idiot! As lovers, because they can’t stand the chemistry”
“Na’ah, I just think that they’re uncommitted and inconsistent about their friendship” pikiran sarkastik saya mulai meraja
“What do you know about feeling and falling in love, Pathetic Allison?”
“Hello Professor Love, tell me about them!” saya bersiap mendengar ceramahnya lagi.
“No, I just don’t think that friendship should be mixed up with that kinda thing. I can’t imagine you falling in love with me”
“Matt, give me that bottle, you’re drunk enough to say that. Otherwise, I am drunk enough to feel so”


Kami tertawa lepas dan terus bicara ngalor-ngidul hingga pukul tiga pagi. Matt mengantar saya yang sempoyongan setelah kami mendiskusikan rencana kami untuk ulang tahun keluarga Sarapova. Kami selalu berakhir dengan tawa dan imajinasi tingkat tinggi. Malam itu Matt tidak menginap, saya hanya membawakannya spaghetti dari mama dan sebotol coke untuk sarapannya besok. Sementara saya, menghangatkan segelas susu dan pergi tidur untuk tiga jam saja. Saya cukup sadar saat melihat Matt melangkah keluar apartemen dari jendela kamar saya. Dia terlihat sempoyongan juga, saya hanya tersenyum tipis memandangnya.


Lagipula, saya akan melihatnya lagi dalam tiga jam, di bandara, di kantor, di town car, di ruang konferensi, di museum, di manapun.

Saturday 9 October 2010

sekedar laporan pandangan mata

Sore ini aku makan es krim di gang sempit dekat sekolahku. Sengaja aku mampir karena sepulang nanti, aku harus menyelesaikan PR kimia dan biologi sebanyak 5 lembar. Aku terbiasa dengan rumus-rumus dan anatomi tubuh makhluk hidup. Selain itu, es krim ini selalu mengantarkanku pada perasaan senang dan tenang karena pilihan rasanya banyak; kesukaanku adalah vanilla keju. Yang selalu aku pertahankan adalah cone-nya berbentuk asli dan akan kubawa utuh ke rumah. Aku mengoleksi cone es krim tanpa rasa. Bentuknya kerucut pasti, tidak bergerigi dan baunya harum. Supaya tidak melembek, aku selalu masukkan ke kulkas begitu sampai rumah.

Sore ini es krim pilihanku adalah rasa strawberry pisang. Aku mencoba rasa baru, karena teman sebangku di kelas matematikaku bilang bahwa rasanya enak dan mengandung sedikit pisang. Aku penasaran dan ingin mencicipinya tanpa melukai cone-nya. Benar, rasanya enak. Hanya saja, mint yang tercicip ke lidahku terasa terlalu dingin. Rasanya gigiku dipukul rata di bagian geraham atas bawah. Sakit sekali. Rasa manis dari strawberry tidak mengurangi sakit itu sama sekali.

Aku terus memakan es krim itu hingga habis. Tanpa kusadari, bagian atas cone tergigit olehku. Mungkin refleks dari gigi dan lidahku yang tak tahan dengan mint. Aku membelalak menyadari kecerobohanku. Ada rasa menyesal yang cukup dalam di batinku; aku baru saja melanggar kebiasaanku menjaga keutuhan cone es krim ini. Cukup lama aku menatap kosong es krim itu, sambil merasakan sakit di gigi, batinku marah dan kecewa.

Tak lama aku termenung, pemilik warung menyapaku dan menanyakan pendapatku tentang rasa es krim itu. Aku bilang enak, cone-nya juga enak. Aku menjawab sekedarnya sambil memutar-mutar es krim itu di genggaman tangan kananku. Cone ini memang enak, tidak seperti cone yang biasa kubawa pulang. Lidahku kelu dan merasa hambar pada cone es krim vanilla cheese yang sering kumakan setiap hari. Kali ini cone es krim begitu enak. Sejenak lagi aku diam menikmati manisnya cone strawberry pisang yang sedikit mengurangi ngilu pada gerahamku.

Dengan ragu-ragu, aku menggigit lagi sedikit bagian dari cone itu. Rasanya tidak berubah!! Benar-benar manis dan lembut sekali di mulutku. Aku perlahan mulai melupakan kebiasaan membawa pulang utuh cone es krim. Dan benar saja, kali ini aku melumat habis es krim strawberry pisang hingga cone-nya. Aku mulai terbawa nikmatnya cone rasa strawberry itu. Habis.

Dingin menusuk tenggorokanku, ngilu di gigi sudah hilang. Pindah rasa dingin yang benar-benar menusuk tenggorokanku. Kendati demikian, lembut dan manisnya cone masih terasa di mulutku. Tak sedikitpun mengobati tusukan di tenggorokanku.
Manisnya tidak turun ke kerongkonganku, ia bertahan di dalam mulutku, memberikan kenikmatan pada bagian mulut saja.

Tanganku sudah kosong dari menggenggam es krim, sekarang ia menggenggam tenggorokanku yang semakin sakit dan dingin. Aku terus berharap dingin itu akan segera hilang dan pulih dari rasa menusuk di tenggorokan. Aku salah. Sakitnya bertahan. Dan aku merasa mati perlahan.