Monday 17 October 2022

Ulang Tahun dalam Gelap, Anti Perayaan dan Juara Gestur

Buat kamu yang jarang mengungkapkan perasaan dengan wajar, ini buat kamu yang jarang kudengar keluh kesahnya sebutuh apapun aku terhadap keluh kesahmu.

Tenang.
Dalam diamku dan diammu, aku otomatis memaafkan. Aku otomatis melupakan, dan aku otomatis membiarkan. Tenang, tidak akan ada keluhan berarti dan bertubi, karena diam adalah jalan kita. Tenang, tak butuh banyak kata dan ucap karena aku bersistem sendiri dengan semua asumsi dan pemahamanku.

Doaku.
Yang aku langitkan melalui bisikan kepada bumi setiap sujudku, biarlah menjadi rahasiaku dengan Tuhanku. Karena pada akhirnya yang mendekapku adalah doaku, maka kubisikkan setiap katanya ke pada tanah, dan ia memanjat menuju langit dengan sendirinya tanpa dilihat atau didengar manusia. 

Doaku.
Adalah doa standard paling dasar, paling umum dan tidak spesifik. Karena detailnya, adalah rahasiaku dengan Tuhanku.

Sabar.
Setiap kita adalah refleksi diri kita di masa lalu, masa kini dan masa datang. Maka cukuplah hatiku berlapang membaca dan meniti setiap suratan atau tulisan yang diaturkan Tuhan. Dan cukuplah hatiku menyaksikan setiap berkembangnya kita, setiap bersamanya kita, dan setiap berasanya kita.

Lelap.
Dalam lelap, aku simpan banyak harapan dan kemungkinan. Lagi lagi, yang menjadi rahasiaku dengan Tuhan. Karena sekali dua kali kusampaikan, bukan kepahaman yang kita dapatkan. Melainkan penerimaan dan percobaan.

Mencoba terus.
Seperti terus dipantik tanpa kehabisan bahan bakar, setiap perjalananku, dengan diriku dan dampinganku, hari demi minggu demi bulan adalah terus perjuangan. Dan seolah menikmatinya, aku mulai menerima dan terus bergantung padanya. Menjadikannya andalan.


Buat kamu, yang jarang berkata-kata dan memenuhi hidupku dengan gestur semata. Sekali lagi aku panjatkan doa yang biasa, yaitu agar kamu bahagia. Apapun artinya bahagia untukmu yang selalu menerima.

Selamat ulang tahun, belahan jiwa.


Saturday 15 October 2022

Belajar #samaHafiz

Setahun pernikahan dengan Hafiz adalah setahun pertama aku terbuka mata, hati dan pikirannya karena banyak sekali hal. Runtuh semua rasa 'berpengalaman', 'sudah tua', 'sudah tau rasanya' dan berbagai rasa lainnya sisa luka lama dan kenangan yang pernah ada.

Runtuh.
Jadi kepingan yang lebih kecil, lalu seolah Allah rakit lagi jadi bongkahan besar yang lebih kokoh dan berbentuk.

Runtuh.
Rasanya begitu lapang dengan serakan serakan kepingan yang Allah rencanakan dan tuliskan.

Pernikahan sama Hafiz adalah bongkahan baru yang diciptakan Tuhan supaya aku tau dan paham kenapa serpihan lama dibuat sehancur-hancurnya; supaya Allah bisa bangunkan yang lebih kuat lagi. Supaya bentukku makin terlihat dan bermakna.

Aku seperti bongkahan batu atau cerita baru lagi, dengan berbagai karakter, berkotak-kotak ruang untuk bertumbuh, dan bersela sela celah untuk membentuk lagi cerita baru.

Dan tekadku adalah terus memahat bongkahan itu bersama Allah, bersama Hafiz dan keluarga kecilku yang begitu berharga.

Thursday 6 October 2022

Bekas Luka Perceraian

 Di sela makan malam, Anita dan Afrizal, sepasang suami istri yang baru saja menikah, memulai sebuah obrolan hati ke hati.

"Honey, gimana rasanya menikah dengan orang yang mudah ditindas seperti aku?" Anita tanpa aba-aba dan konteks mendadak menanyakan hal tentang kelemahannya. Afrizal mengernyitkan dahi dan menatap istrinya dengan bingung, "Memang iya kamu mudah ditindas? Kenapa kamu pikir aku akan menindas kamu?" Afrizal bukan tidak mau menjawab pertanyaan absurd istrinya, tapi ia sepenuhnya bingung dengan pertanyaan tersebut. Pertanyaan baliknya tidak direspon. Dihitungnya hingga 3 suapan masing-masing mereka terhadap makanan dan tetap tidak ada jawaban.


Hingga suapan ke-empat, Anita baru meminum sedikit air putih untuk mengosongkan kerongkongan dan memastikan suaranya terdengar jelas oleh suaminya.

"Selepas perceraianku kemarin, aku merasa jadi orang yang paling lemah sedunia. Mungkin lebay ya? Tapi itulah yang kurasa, sepertinya mudah dan enak menikah dengan orang lemah yang tidak pernah marah sepertiku" Anita menahan suaranya, ia tau kalimat berikutnya akan berantakan karena emosinya telah menguasai pikirannya.

"Kata siapa menikah denganmu itu mudah? Kamu tau kan, hal mudah itu tidak menantang untukku. Kamu tau, hal yang tersulit dari menikahimu adalah meyakinkan diriku sendiri bahwa aku sanggup membantumu berjalan lagi dan menerima bahwa hidup ternyata tidak berakhir bersamaan dengan ikatan pernikahan pertamamu? Aku juga berjuang melawan diriku sendiri untuk membuktikan bahwa aku bisa. You see, it's not only about you, it's also about me. It's about us" Afrizal menjawab istrinya dengan filosofis sambil berharap Anita paham ucapannya dan mengerti maksudnya.


Sepasang makhluk egois tersebut melanjutkan makan malam tanpa sepatah katapun. Afrizal yang terakhir menutup pembicaraan dan Anita enggan membalasnya. Berlalulah malam hingga menuju fajar. Anita belum semenitpun menikmati tidurnya. Dilihatnya terus jam dinding di kamar mereka dan punggungnya bertatapan dengan punggung Afrizal. Tepat jam 5 pagi, ia bangun dan meninggalkan kamar tanpa suara.


Anita menuju teras rumahnya dengan secangkir teh hitam tanpa gula, menghirup nafas dalam sambil meluruskan kakinya di sofa teras nyaman tersebut. Tak lama hingga tehnya menyentuh setengah cangkir, Afrizal muncul dari dalam memakai selembar selimut tebal dan berbaring di sisi istrinya sambil memeluk pahanya. Anita spontan meletakkan gelas dan menyambut sang suami dengan hangat sambil melebarkan selimut ke kakinya juga.


Mereka masih terhening. Tarikan dan buangan nafas mereka berbarengan diiringi oleh kicauan burung dari kejauhan. Mata mereka menatap kosong ke sudut berbeda, namun tangan dan kaki mereka saling merangkul dan menghangatkan.

Tak lama gerimis turun membasahi lahan rumput hijau luas di hadapan mereka. Lalu Anita berkata,"Maaf jika aku masih begitu egois dan terlau fokus terhadap lukaku sendiri. Mungkin aku perlu waktu lagi untuk belajar menerima dan melanjutkan hidup bersama kamu."


Afrizal tidak menjawab panjang, ia hanya bilang, "Ya sama-sama, memang itu kan artinya hubungan; saling belajar dan menerima"


---