Monday 30 August 2010

dimana kalau saya bilang hijau

maka warnanya berubah jadi warna hijau.
sama seperti jika saya bilang jauh, maka jaraknya jadi jauh.
lalu saya diam, benar benar sunyi.
semuanya terserah saya.

Thursday 19 August 2010

satu desember (part 4-end)

Sandra bangkit namun rusuknya tidak terasa. Mego merogoh saku jaketnya, dibisikkannya ke HT, “Sandra siuman” air mata Mego menetes. Ia memeluk eart tubuh Sandra yang masih lemas dan rapuh. Kaus hijaunya koyak dan masih basah oleh keringat. Mego mengangkat tubuh Sandra lalu seketika pasukan berkostum serba putih menjatuhkan tandu sederhana di sisi Sandra. Mego melepas genggaman tangan Sandra dan mengekor regu putih yang membawa Sandra. Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh pundak kanannya diikuti suara, “ini punyalo, Go!” Yusuf menyerahkan jaket kulit kepada Mego, dengan sedikit kerut di keningnya karena Mego telah mengenakan jaket di tubuhnya. Disambut jaket bukan miliknya itu dengan lemah,lalu Mego beranjak. Gelap malam sudah menyelimuti arena riuh tersebut. Terbayang oleh Mego betapa penat tempatnya tadi berdiri. Kini Mego terpaku, menatap hampa dan perih ke sudut ruangan. Arloji di tangan kirinya pecah berdarah dan masih menunjukkan pukul 3 pagi. Dinyalakan mesin Honda CBRnya.. melesat..
*selesai*

Wednesday 18 August 2010

satu desember (part 3)

“BUKK!!!” untuk kedua kalinya Sandra terhantam dan terjatuh lagi. Pria berhelm terjerembab. Ia melihat sekelilingnya dengan sudut kelopak mata berdarah dan dalam posisi berlutut, ia melihat banyak kaki berduri. Kaki-kaki tersebut menjauh dari tubuhnya dengan gerakan yang makin liar, namun kaki-kaki itu tidak menyakitinya. Sandra terkulai di pangkuan pria berhelm, keringat dingin dari rambut ikalnya menetes ke wajah Sandra. Saat itu ia merindukan sorotan lampu tembak dari belakang. Ia mencar.. Ia berdoa.. Ditolehkannya kepalanyaa ke belakang. Lamput sorot telah padam, menghilang. Segera ia meorogh saku celana Sandra dan mengeluarkan HT yang tak berdaya. “Shit!!” ia mengumpat kesal. Di tengah kebingungannya, Ia merasakan lengan kirinya bergerak.

Matanya yang berdarah mulai terasa perih. Di usapnya dahi Sandra dengan tangan kanannya untuk membersihkan tetesan darah yang mengalir konstan. Lalu tetesan darah itu beralih ke bibir Sandra, “Sandra, if you could hear me, please let me know” suaranya nyaris berbisik, ia mengaharapkan sebuah jawaban dari seseorang yang pingsan. Isak tangisnya mulai terpicu lagi, terlebih ketika sepasang kaki muncul dari depannya, dari pinggl kiri Sandra. Ia mencoba mengenali sepatu besar itu, saat mendongak untuk mengetahui pemiliknya, ia terperanjat menyadari bahwa sepasang sepatu tersebut ternyata sedang menghujamkan mata belati tajam ke perut samping Sandra. Ditariknya tubuh Sandra menjauh dari belati tersebut agar tidak benam terlalu dalam melukai ginjalnya. Ditariknya tubuh Sandra kea rah perutnya dan didekap tubuh mungil itu erat-erat.

Helmnya telah benar-benar hancur dan kini kepalanya telanjang tanpa penutup sama sekali. Rambut ikalnya berpeluh hingga ke dahi dan mengaliri mata berdarahnya lebih deras. Ayahnya menarik kedua kaki tajamnya. Ia menatap pria berhelm seperti Ayah yang rindu pada anaknya. Rambut ikal yang terurai itu mengingatkan sang Ayah pada mendiang isterinya. “Enggankah kau pulang, nak? Memilih bersama wanita ini di tempat ini?” Ia berjongkok menatap pria berhelm yang masih memeluk Sandra. Pisau belati di ujung sepatunya telah lepas. “inikah putrid pujaanmu, nak?” Ia bertanya lebih dalam sambil mendekatkan wajahnya ke wajah pria berhelm. Sandra merasakan tubuhnya didekap lebih erat lalu terbangun. Dari pandangan matanya, ia menyaksikan dua dagu lancip berhadapan. Dagu di kanannya mengalirkan darah. Dagu di kirinya meneteskan keringat asin. Lalu Sandra terpejam lagi.

Panggung senyap seketika. Sandra memincingkan mata karena silau tertembak lampu sorot di hadapannya. “Mego!!”
*bersambung*

Tuesday 17 August 2010

satu desember (part 2)

BUKK!!!
Sandra tergeletak tak sadarkan diri. Seorang berhelm mematikan Honda CBR-nya lalu mengangkat tubuh mungil Sandra tinggi-tinggi. Tiga lampu sorot mengikuti langkah pria tersebut. Suara gegap gempita teredam oleh isak tangisnya. Lampu sorot terus mengikuti gerakan tubuhnya. Ia bergerak membawa Sandta dalam pelukannya. Diiringi kedipan lampu sorot di sudut matanya, seketika ia mengeluarkan HT tanpa menjatuhkan Sandra, “anjing!! Dia pingsan!” HT-nya bergemerisi, “keluar lewat 70, Don!! Yusuf baru bubaran masih nunggu!” Pria berhelm mengededarkan pandangan di antara ribuan orang yang bergerak bebas di ruang pengap itu. Siang yang penat itu menambah erat kuncian helm di kepalanya. Ia menitikkna pandangan pada suatu sudut yang penuh asap. Ia menuju sudut tersebut. Sambil mempercepat langkahnya, ia masih mendekap Sandra kuat-kuat di dadanya. Di tengah kesusahpayahannya melewati kerumunan orang ke arah sudut berasap itu, HT-nya menjerit di pinggangnya,”Doni pingsan di pintu masuk!” Pria berhelm terhenyak. Ia mempercepat langkahnya dan memeluk tubuh Sandra lebih kuat lagi lalu mengubah haluan.

Sekilas dilihatnya samar-samar kaos hijau di sudut ruangan berasap tadi. Tak tergoyahkan pindahan haluannya, ia terus menuju ke arah panggung lalu lagi-lagi sebelah tangannya mengangkat HT seraya berseru “LIGHTS OFF!! Backflip!” Pria berhelm menunggu balasan dari regu belakang. Sementara langkahnya semakin cepat menangkis ribuan tangan yang melambai dan menghalau tak beraturan, tiba-tiba sebuah botol berukuran ratusan millimeter menghantam helmnya. Kemudia puluhan botol beling serupa ikut menghajar habis helm yang dikenakannya. Kini rambut ikalnya terlihat, mencuat dari kepala yang terbungkus helm rapuh. “Pos depan jebol, main entry, please secure!!” suara seseorang dari pinggangnya. Ia mengurungkan niat untuk membalas pesan tersebut. Mata dan kepalanya berusaha menyingkronkan suasana dan langkahnya ke arah panggung. Ia merasa lelah menuju panggung tersebut. Beban dipelukannya bertambah lunglai dan semakin berat seraya terhimpit oleh massa yang semakin ricuh.

Di ufuk barat, tepat di belakanganya, matahari mulai terbenam. Ia baru menyadari, atap ruangan raksasa itu telah bergeser membuka diri. Arloji Sandra memantulkan cahaya matahari ke tengkuknya. Rasa panas matahari sore berganti-gantian dengan panas tubuh Sandra yang semakin berkeringat. Giyangan oanggung tak kunjung reda seiring dengan goyangan manusia-manusia di sekelilingnya. Pria berhelm tidak menghiraukan kekacauan di sekitarnya dan ia terus melangkah ke arah panggung. Semakin sesak, Sandra terbangun. Disadarinya lengannya terbalut jaket kulit hitam. Matanya mengerjap lemah. Saat ingin dibukanya, “Mego..” ia berbisik dan “BUKK!!!”
*bersambung*

Monday 16 August 2010

satu desember (part 1)

Satu Desember

Seperti layaknya rasa lelah, takut adalah pilihan. Sandra menghadapi rasa takutnya siang itu. Panggung raksasa di hadapannya terlihat bergoyang. Goyangannya makin kuat. Sandra nyaris menjerit di HT-nya. Teriakannya seperti larut dalam ricuh dan riuhnya massa di sekeliling Sandra. Untuk yang terakhir kalinya Sandra berteriak dengan sisa tenaganya “45, 46, MUNDUR!!!” Ia mencabut kabel handsfree di telinganya dan dengan gesit menyelinap di antara kerumunan manusia yang dipertanyakan kemanusiaannya. Terus bergerak cepat menuju pintu utama. Sesekali ia terjerat di antara orang-orang yang bergoyang tak beraturan. Langkahnya pun sudah sekuan kali terhimpit ratusan sepatu besar yang menendang, menginjak dan menjagal kaki mungilnya. Keringat benar-benar telah mencuci habis kaos hijaunya. Sandra terus berlari, menghindar dan menunduk sambil terus mencuri pandang kea rah panggung raksasa itu.

“Sandra! Sandra!! Sandra, ini Mego! Jawab Sandra!” suara kekasihnya bergemrisik di genggamannya. Ia mencabut kabel handsfree dan bicara langsung dan merekatkan bibirnya yang bergetar di microphone tersebut, “Mego, copy!! 70, 80, 90 mundur… biar petugas shift! Sekarang!!” Sandra bersusah payah menahan genggaman HT-nya dari sikutan remaja 20 tahun yang terus bergerak bebas mengeksploitasi persediaan oksigen yang tinggal sedikit. “70, 80 udah mundur. 90 nggak kedengeran San! Copy!” Mego kembali berteriak di HT Sandra. Sekuat tenaga Sandra mengangkat tengannya untul menjawab pesan Mego. “Mego..kamu…” bip!! HT-nya mati. Baterainya habis dan kini Sandra benar-benar sendirian di tengah para penari dingin di ruangan pekat dan pengap. Satu-satunya alat komunikasi Sandra telah mati. Harapannya kini hanya baju hijaunya yang mungkin dapat menarik perhatian regu atas untuk melihatnya dan mencoba menyelamatkannya.

Sekali lagi ia melihat panggung raksasa dengan kengerian yang makin menjadi-jadi, dan saat itu pula.. BUKK!!!

*bersambung*

Wednesday 11 August 2010

sepuluh menit menjelang sidang pengasuhan anak

saya.
sejak perceraian kedua orang tua saya, saya sedang diperebutkan dari sudut hukum dan kejiwaan.
katanya umur saya ini adalah umur pertumbuhan dimana saya harus diasuh oleh ibu saya. namun secara hukum, ibu saya tidak bisa mengasuh saya karena beliau sudah tidak bekerja lagi. saya sendiri sebenarnya tidak menyukai keduanya.

ibu saya sering memukul saya tengah malam tiap saya terbangun. saya meminta susu dan digantikan popok yang basah. sayangnya ibu terlalu lelah setelah memasak dan mencuci baju tetangga kami. kata nenek saya, seharusnya ibu tidak menikah muda dengan duda kaya. saya sendiri tertawa terbahak-bahak mendengar ocehan nenek. ibu hanya ngedumel dan mengerutkan keningnya seraya meracik biskuit untuk saya. ibu bilang saya ini anak haram, namun saya kembali tertawa mendengarnya. orang yang disebut ayah oleh ibu itu adalah seorang yang tinggi besar dan menyeramkan. entah kenapa, setiap sebulan sekali saat ayah berkunjung, matanya yang bijak itu selalu menatap saya dengan lembut dan penuh kasih sayang.

ayah saya sering menginap di rumah kami dan terkadang membantu ibu menyuapi saya. saat sore itu ayah menyanyikan beberapa lagu dewasa yang tidak saya mengerti saat mengajak saya jalan-jalan menuju pasar malam. ayah menceritakan makna lagu yang dinyanyikannya. katanya ia ingin saya menjadi seorang yang tangguh dan tak terkalahkan. "perempuan yang senantiasa membunuh dengan senyumnya" kutipan itu sering disebut-sebut ayah. saya hanya tertawa dan sesekali mendahak-dahak mendengarnya. bukan karena saya tidak mengerti, tapi karena saya geli melihat kumisnya bergerak-gerak seirama dengan nyanyiannya. saya tidak menyangka, harta berlimpah yang dimilikinya tidak digunakan untuk mencukur kumis. atau saya terlalu muda untuk mengerti arti kumis baginya.

siang ini, saya terduduk di sudut ruangan besar dan ramai. banyak lampu kilat di ruang belakang saya dan suara-suara lantang mulai terdengar. ada seorang yang disebut hakim dan pembela. saya lihat ibu saya menangis. dan saya tau suara tangisannya "apa tidak ada yang tertinggal untuk saya supaya saya punya alasan untuk hidup?" lalu wajah tertunduk ayah tidak meneteskan air mata namun tetap berkata "dia harus jadi milikku, pewaris kekayaanku" saya kembali ke fase tidak mengerti, mengambil botol susu saya dan mulai menghisap dot-nya.

seseorang yang disebut hakim memukul palu setelah saya tertidur kurang lebih dua jam. perempuan di sebelah saya adalah sesosok cantik berseragam ungu. mungkin orang suruhan ayah, atau mungkin kerabat jauh ibu. saya kurang peduli, karena saya fokus pada ayah dan ibu saya yang sedang mendekati meja hakim, berbicara sesuatu yang saya tidak dengar. keduanya berwajah keras dan hakim menutup mulut mereka dengan teriakan "TENANG!!"
saya melempar dot dan pengasuh berbaju ungu itu membawa saya dan keranjang saya keluar ruangan.

Monday 9 August 2010

satu waktu di bulan agustus

sekarang saya sedang mengetik pada keyboard yang sangat tidak nyaman hanya untuk menceritakan rencana saya di bulan agustus ini.

oke, penduduk kantor sudah heboh membicarakan tunjangan hari raya yang kabarnya akan jatuh sebanyak dua kali selama agutus ini dan september yang akan datang. di sudut kanan ruang kerja saya, adalah divisi iklan dan promosi yang heboh merencanakan mengambil cuti bersama untuk berlibur ke lombok dan nusa tenggara. mereka adalah sekumpulan remaja kreatif berusia 20 sampai 25 tahun. hampir semuanya belum menikah dan kepala divisinya adalah seorang jenius kreator logo dan slogan perusahaan kami. namanya Dwi, ia berusia 23 tahun, sungguh bukan usia "kepala" namun ternyata ia membekuk habis kesombongan Listy, 30 tahun di rapat pertamanya sewaktu baru tanda tangan kontrak kerja. saya ingat betul bagaimana pertanyaan sulit Listy dijawab dengan senyum dan beberapa patah kata seperti "terlalu banyak pengalaman buruk yang kita lewati seharusnya menjadikan kita banyak belajar dari kesalahan, bukan menghindar dari kemungkinan adanya kegagalan lagi di masa depan. kenapa kita takut gagal?" Dua bulan kemudian Listy dimutasi ke Surabaya, perusahaan lain, divisi lain pastinya (baca: dipecat). Dwi kontan jadi kepala divisi di tahun pertamanya di kantor kami. sekarang, ia kembali berkelakar tentang rencana liburan dengan teman-teman prianya. tak lupa menasehati rekan wanitanya untuk selalu waspada bila ingin liburan bersama sang pria di kelompok mereka. tak jarang tawa mereka memicu tawa saya juga. menurut saya, mereka adalah grup sosialita yang asik dan profesional dalam bekerja. hingga akhirnya, saya dengar keputusan mereka untuk naik bus dan backpack ke lombok setelah hari raya.

bagian tengah ruang kerja saya diisi oleh sekelompok remaja humas dan media relations. mereka senang sekali menyebut diri mereka "orang PR" dan merekalah yang selalu up to date dalam berbusana ke kantor. saya jarang sekali melihat mereka mengulang pakaian yang sama dalam rentang waktu dua minggu bahkan sebulan. kepala divisi mereka adalah Ana, 27 tahun, single dan sangat stylish. telepon genggamnya hanya berhenti berdering saat ia menjawab telepon masuk dan saat rapat. saya selalu melambaikan tangan 10 menit sebelum bicara dengan dia untuk memberikan kode "saya mau bicara sama Anda, Bu Ana" dan ia selalu menjentikkan jari untuk menandakan saya bisa mulai bicara padanya. sering kali pembicaraan kami tersela oleh lima jari kirinya yang terangkat menandakan "shut up for a while or I'm not gonna get what you're talking about" karena ia menjawab telepon masuk di handsfree-nya. siang ini tanpa Bu Ana, sang anggota PR-media relations membahas rencana pagelaran fashion show di Jakarta pada akhir tahun sesudah hari raya. saya sih yakin tunjangan hari raya mereka cukup sekali untuk digunakan terbang PP jogja-surabaya selama seminggu penuh. dan rencana mereka, sudah bisa dipastikan akan membawa keuntungan tersendiri bagi kantor kami karena mereka akan menyetor ratusan nama calon klien potensial dari ibu kota. keren sekali anak buah Bu Ana.

di dekat saya, sebelah pojok kiri dekat dispenser, adalah staf administrasi perusahaan. mereka memegang peran terpenting dalam aktivitas sehari-hari kantor ini. yang membuat saya tersentak adalah saat mendengarkan obrolan sore mereka. kebiasaan obrolan sore ini menginspirasi saya untuk memanfaatkan waktu kerja dengan baik dan memilih jam pulang kantor untuk ngerumpi. saya salut pada tim dedikatif ini. jadi obrolan sore mereka adalah rencana berapa persen yang akan mereka kumpulkan untuk membantu pembangunan mushola di gang belakang kantor kami. rasanya saya mau tertawa sekaligus menangis mendengar rencana mereka. tertawa karena mereka akan mengumpulkan uang yang dimaksud dari sisa mudik ke kampung halaman masing-masing dan memberikan salam tempel pada kerabat mereka disana. itu berarti akan habis banyak dan hanya menyisakan sedikit untuk dikumpulkan. lalu seketika itu juga saya mau menangis karena setelah mereka kalkulasi, sisa uang minimal yang bisa mereka kumpulka ternyata cukup untuk melengkapi sound system mushola dan menyelesaikan tempat penurasan sekaligus. iri sekali saya pada niat baik mereka. Iman, 32 tahun, ayah dari 2 anak, kepala divisi administrasi adalah orang tegas dan penuh perhitungan, tapi saya nggak nyangka dia membawahi belasan orang yang berhati mulia.

saya?
rencana bulan agustus saya hanya satu: membeli beberapa barang. tunjangan hari raya saya hanya akan saya pakai untuk membeli sepasang sarung untuk adik dan ayah saya. tak lupa saya beli mukena untuk ibu dan saya sendiri, akan membeli sebuah keyboard baru untuk komputer ini.


--aduh, masih banyak yang ingin saya tulis, namun saya harus segera pergi. mbak Widi, staf keuangan akan segera kembali dari toilet untuk kembali mengetik disini setelah tadi kami sepakat untuk mengizinkan saya main Facebook di komputer dia ini asal saya belikan keyboard baru untuknya. Lagipula saya harus membersihkan ruang kerja Pak Bayu--

sekian.
Bimo, office boy.