Thursday 31 July 2014

Hari Terakhir Di Bulan Juli


Hari menyeka keringat di dahinya yang bercucuran akibat menunggu kendaraan kantor yang terlambat menjemputnya siang itu di lobby. Perintah terakhir supir adalah menunggu di pinggir jalan saja karena mobil sudah mendekat, jadi sang supir tidak perlu parkir atau masuk ke lobby gedung untuk mengangkut Hari. Ternyata apes hari itu ditandai dengan pemandangan macet tiada ujung di depan gedung kantornya.


Siang itu Hari akan meeting dengan klien lama yang muncul kembali setelah dikecewakan oleh konsultan barunya. Sekembalinya sang klien ke perusahaan Hari untuk berkonsultasi, Hari lah yang mendapat tugas mulia menjalin hubungan baik dengan sang klien tersebut. Kebiasaan klien ini adalah meeting di mall tengah kota yang notabene jauh sekali dari kantor Hari di pinggir kota. Namun karena kalkulasi dan target profit yang telah ditinjau dan dievaluasi dengan seksama, jadilah tetap Hari yang mengikuti permintaan klien tersebut untuk makan siang di hari terakhir di bulan Juli.


Panas. Tidak seperti biasanya, Hari diam begitu duduk di jok penumpang sebelah supir kantor. Pak Supri yang biasanya menyetir sambil tertawa mendengar kisah lucu Hari, kali ini diam membisu bahkan salah tingkah menghadapi kebisuan Hari. Sesampainya di lobby mall, Hari merapikan pakaiannya, memastikan tidak ada bekas keringat di leher, ketiak dan wajahnya, lalu turun tanpa berkata apapun ke Pak Supri. "Ah nanti kalo udah selesai juga gue car call atau gue telpon aja" batin Hari yang tak terdengar mambuat Pak Supri semakin bingung menyaksikan hilangnya etiket dan sopan santun Hari yang selalu menjadi khas pemuda itu.


Memasuki restoran mahal yang disebutkan sang klien, Hari mendapati perwakilan kliennya duduk di teras restoran lantai 10 itu, sambil menghisap rokok, wanita berpakaian rapi dengan rambut tertata cantik itu bangkit dari duduk dan menggeser posisinya supaya gadis kecil di dekatnya terlihat oleh Hari. Di dekatnya, duduk seorang gadis kecil memegang buku gambar dengan pensilnya asik mencorat coret tiada konkrit hasilnya. Anaknya. Anak mereka dari pernikahan yang kandas tahun lalu.


"Hai Har, apa kabar?" Juwita mematikan rokoknya yang masih setengah batang dan menjabat tangan Hari. Hari membalas salaman Bella dengan cepat lalu beralih ke malaikat kecil yang dirindukannya.
"Baik. Hai Bella! Sini anak Papa ulang taun ya hari ini!" Hari mengeluarkan sebuah buku dongeng mungil penuh gambar warna warni dari tas kerjanya. Ia memangku sang gadis kecil berusia 4 tahun dan memainkan pipinya gemas. Bella bersemangat sekali membolak balik halaman buku cerita yang baru diterimanya dari sang Ayah.
"Sorry baru ngabarin lagi, pas banget deh konsultan baruku ternyata nggak komit dan sekarang malah event aku berantakan. Untung ada kamu, bos aku langsung setuju pas aku bilang kantor kamu udah paling oke sepanjang perjalanan kerja sama aku dengan EO lainnya. Kamu mau pesen apa?" Juwita membolak balik buku menu setelah kalimat pertamanya tidak digubris Hari yang asik bermain dengan rambut dan pipi Bella.
"Har, sorry juga aku baru bisa bawa Bella, soalnya aku sibuk nih sama tour acara dan persiapan launching. Email kamu juga masuk ke junk deh, aneh banget. Iya sih Suster cerita kamu telpon dan sempet ngobrol sama Bella ya minggu lalu. Aku lagi nggak di rumah waktu itu ada meeting dadakan sama ambassador baru brand aku" Juwita seakan mengerti kesalahannya dan mencoba menebusnya dengan penjelasan yang justru membuat Hari semakin kesal. Adakalanya Hari lega berpisah dengannya, namun most of the times Hari menyayangkan Bella harus tumbuh di bawah asuhan wanita seperti Juwita.


Setelah puas bermain dengan Bella, sekitar 10 menit, Hari mendongakkan kepalanya kepada pelayan dan memesan segelas kopi dingin karena rasa kesalnya berkali kali ditanya mau pesan apa oleh sang pelayan. Seperginya pelayan, dengn sigap Hari mengeluarkan proposal program kerja yang sudah disusunnya dari sehari sebelum meeting itu berlangsung.
"Ini proposalnya udah gue bikin lengkap dengan itungan anggaran dan plan cadangan. Semestinya cukup sih buat satu periode promosi dan dua event. Kalo mau sekalian masukin ambassador baru ke program ini, tinggal disesuaiin di budget aja, rundown udah diantisipasi kok." Juwita kaget dan dengan tidak kalah sigap menerima sebundel dokumen dari mantan suaminya. Ia puas membaca halaman depan dan beberapa bagian awalnya, lalu meletakkan proposal itu di kursi kosong sebelah Bella yang masih seru dengan kado ulang tahunnya.


Juwita menghela nafas dalam memandang Hari yang sedang memandang Bella lekat lekat.
"Aku sincere lho minta maaf. Memang aku sibuk, bukan males ketemu kamu atau ketemuin Bella dengan kamu.. tapi emang gini nih contohnya ya..." Juwita baru akan membuka agenda kerjanya untuk justifikasi kelalaiannya sebagai Ibu, namun Hari dengan tidak sabar memotongnya,
"Oiya, bulan depan review pertama sama Anis ya, bukan sama gue. Bulan berikutnya, pas selesai event pertama itu mungkin ketemu bos lo juga sama Anis aja, kita bikin event report presentation aja masing-masing terus kita discuss. Selebihnya, korespondensi sama Anis aja soal field sama eksekusinya" Hari masih berusaha memperjelas pertemuannya kali ini hanya membahas pekerjaan dan yang kebetulan Bella ikut serta dengan Ibunya akibat rasa bersalah dari Juwita sendiri sehingga ia harus repot membawa Bella bertemu Hari kali ini.
"Oke, thanks. Now, kita nggak bisa ngobrol as Bella's parents nih hari ini?" bertepatan balasan Juwita, datanglah minuman pesanan Hari. Hari langsung meminumnya tanpa sedikitpun melihat ke arah Juwita, seperti muak, atau segan, bercampur. Alih alih, ia malah memandang Bella sambil sesekali bercanda dan tertawa melihat tingkah laku anak lucu itu.



"Bella, papa pamit yaa. Kita ketemu lagi secepatnya nanti" Bella hanya tertawa riang mendengar ucapan pamit Ayahnya. Ia lalu diam dan memeluk erat lutut sang Ayah dari tempatnya duduk di lantai. Hari berusaha sekuat tenaga menahan air matanya supaya tidak jatuh, dan lagi lagi ia berhasil. Diangkatnya Bella dan diciumnya berkali kali wajah sang balita dengan penuh rindu dan sayang. Ia tau mungkin akan sekian lama lagi baru dapat berjumpa dengan kesayangannya itu. Tanpa pamitan dengan Juwita, Hari langsung keluar dari restoran karena takut tangisan Bella akan membuatnya semakin lemah dan tidak sanggup untuk tidak mengangkut Bella bersamanya.
"Papa.." Bella memanggil dari balik ruang kaca teras, namun Hari tidak mendengarnya. Dalam hitungan detik, Bella menangis keras dan mengundang pandangan setiap pasang mata di restoran tersebut untuk menoleh padanya. Juwita menggendong Bella dan mengusap usap punggung anaknya dengan pasrah dan tiada daya. Andai bisa diulang waktu, ia ingin memperbaiki semuanya.


Hari itu adalah yang terakhir di bulan Juli, hingga setahun lagi Hari bisa berjumpa Bella. Hari itu, terik matahari serasa dengan sengit memusuhinya, ikut serta sang kenyataan yang seperti tidak cukup menyiksa batinnya. Hari itu, hari terakhir di bulan Juli, Hari dengan gontai mengikhlaskan Bella ikut wanita yang tidak pernah disayanginya sebagai Ibu dari anaknya.

Sunday 27 July 2014

Mudik Tahun Ini.

Hujan deras mengguyur pom bensin tempatku berteduh. Aku bangun dari tidurku yang hanya bersandar di kaca swalayan yang belum buka (atau mungkin tidak akan pernah buka karena dari semalam aku lihat tidak ada aktivitas apapun di dalamnya). Pukul 6 pagi, mendung membuat langit terlihat seperti pukul 5 dan sudah genap 12 jam aku menunggu pencerahan dari Tuhan tentang bagaimana caraku pulang. Dingin. Sendirian. Di sekelilingku para pemudik masih terlelap tidak memedulikan hujan, sebagian ada yang mengantri untuk cuci muka di kran air (bukan menggunakan air hujan), tidak lepas dari pandanganku seorang ibu yang mengaduk susu di botol untuk bayinya (menggunakan air termos, bukan air hujan). Motor dan mobil berserakan tidak teratur di pelataran parkir, dan petugas pengisi bahan bakar sudah berganti wajah dari shift semalam. Aku mengingat lagi kejadian semalam sambil menggosok-gosok kedua telapak tanganku yang basah kena hujan.



Pukul 21:00
"Permisi Om, saya baru ditinggal sama bus saya karena buang air besar tadi kelamaan. Tas sama HP saya ada di dalem bus itu. Boleh saya pinjem telpon untuk hubungi keluarga saya Om?" aku sudah meredakan panikku akibat tragedi teriak dan lari sore tadi mengejar bus yang jelas jelas di depan mataku meninggalkanku karena kurang cepat kembali bergabung bersama rombongan. Sekarang Bapak agak tua di hadapanku memandangiku iba dan ia menyerahkan ponselnya untuk kugunakan. Aku menghubungi Ibuku di rumah, tidak ada jawaban. Pasti sudah tidur, ini sudah larut menurut jam biologis Ibuku. Aku lalu menghubungi sahabatku di Jakarta, memintanya mengabari Ibuku pagi nanti kalau kalau aku masih tidak bisa ditemukan. Aku memberitahukan lokasiku seadanya, tanpa memberi tau bagaimana aku akan menyelesaikan masalah ini. Di akhir panggilan, kami berdua diam di ujung telepon masing-masing; bingung hendak apa dan bagaimana.

Pukul 23:40
"Mau mudik kemana mas?" seorang penjual mie instan akhirnya berhasil mengoyak perbekalanku yang tinggal 20 ribu untuk menyantap dagangannya. Sambil menyeduh air panas, ia berbasa basi menanyakan keadaanku. Setelah kuceritakan kisah malangku, ia menyodorkan segelas mie dan menawarkan membuatkan teh manis setelah aku sudah memesang sebotol air putih; membuat 20 ribuku semakin tipis mengingat harga mie tersebut sudah dua kali lipat dari yang ditawarkan di hari selain hari raya. Aku tidak menolak, toh dia berniat baik. Aku tidak menceritakan lebih detail lagi kejadian yang menimpaku, toh ia terlihat tidak bisa membantu dan tidak peduli sejauh itu. Jadi kuputuskan untuk menjalin hubungan antara pembeli dan penjual saja. Benar, ia pun beranjak meninggalkanku setelah gelas teh manisnya kukosongkan dan kukembalikan.

Pukul 01:30
Sebuah mobil patroli polisi parkir di beberapa langkah dari tempatku duduk, terbersit untuk menghampiri dan meminta bantuan. Lalu lenyap seketika mengingat isinya adalah seorang berbadant tegap bersama seorang wanita setengah baya menggendong balita disusul tiga anak lainnya dari jok penumpang di belakang. Polisi juga manusia, bisa mudik. Aku hanya menyayangkan pilihannya menggunakan mobil patroli yang seharusnya dipakai untuk bertugas melayani, mengayomi dan melindungi masyarakat. Umpatan berubah jadi uapan kantuk bagiku, segera aku cari posisi yang tidak menyakitkan untuk bersandar barang sejam dua jam hingga aku dapat ide harus apa.

Pukul 03:15
Sekitarku riuh ramai akan jeritan dan teriakan. Aku pikir kebakaran, maka aku panik bangkit dari tidurku yang hampir nyenyak. Aku terjaga selama beberapa menit, kantukku hilang setelah melihat minuman energi yang terpampang segar di kulkas dekat tempatku tidur, padahal tidak kubeli apalagi aku tenggak, tapi energiku seperti terisi kembali.Setelah kupelajari, ternyata tawuran antar penduduk di kampung belakang pom bensin tersebut.  "Ah, biasa itu warga sini suka ribut masalah perempuan lah, judi lah, gak jelas. Nanti juga bubar sendiri, jarang ada korban atau apa." Aku mencuri dengar petugas pom bensin berbicara pada pemudik di dekat toilet. Ake menghela nafas dan mencoba merasakan kantukku kembali.

Pukul 05:00
Kali ini alarm di arlojiku bergetar pelan membangunkanku untuk solat subuh. Segera aku langkahkan kakiku menuju musholla, tidak lupa diakhiri doa dan diam panjang setelah solat meminta petunjuk dan pencerahan dari Tuhan tentang nasibku yang tidak tertolong ini. Aku memutar otak mencoba menghubungi beberapa kerabat namun hanya mampu meninggalkan sebuah pesan singkat kepada Ibuku lagi tentang lokasiku. Sangat sulit mencari bantuan di tengah suasana mudik hari raya seperti ini. Jalanan dipenuhi keluarga kerepotan, keluarga terlalu bersemangat, dan barusan yang akhirnya meminjamkanku ponselnya adalah keluarga yang paranoid. Kuketahui tidak lama saat kukembalikan ponsel milik si gadis cantik, di layarnya adalah halaman berita belum ditutup tentang modus kejahatan pada saat mudik. Lagi lagi aku menghela napas penuh maklum atas kesinisan dan kecurigaannya dari awal.

Pukul 06:00
Aku tertidur sebentar tadi dan kini hujan melengkapi kedinginan dan kesendirianku. Anginnya lumayan kencang berhembus dan aku merasakan kemeja longgarku basah sedikit demi sedikit karena tempatkku berteduh tidak sepenuhnya melindungiku dari langit yang terus mencurahkan air. Aku memejamkan mata sambil berdiri bersandar, seluruh sendi di badanku sakit seperti baru saja berpartisipasi dalam tawuran dini hari tadi. Saat kubuka lagi mataku, aku lihat sebuah mobil memarkir di hadapanku persis. Keluar darinya sekelompok orang yang aku kenal. Tuhan! Apa ini mimpi? Aku lompat menerjang hujan memanggil (hampir berteriak) salah satu dari mereka "ALLE!!!"

Pukul 09:00
Setelah menghabiskan soto yang (akibat kelaparan dan kedinginan jad) nikmat di warung pinggir jalan raya, aku meminjam ponsel Alle, teman sekelasku di bangku kuliah dulu untuk mengabari Ibuku yang ternyata sudah panik dan menelpon polisi serta perusahaan penyedia perjalanan yang membawaku (dan meninggalkanku) dengan busnya. Aku beritahu ibu bahwa aku sudah berjumpa kawan kuliahku dan mereka bersedia mengantarku sampai ke kampung halaman. Tidak lupa memberikan nomer rekening Alle supaya Ibu bisa transfer uang ke rekeningnya dan aku cairkan untuk bekal hidupku tiga hari.



Perjalanan masih sekitar belasan jam lagi menilai dari panjangnya antrian mudik di hampir setiap kota yang kami masuki. Salah satu dari yang bermudik dengan Alle adalah Citra, sepupunya yang cantik dan jomblo. Tanpa menaruh harapan yang berlebihan (tapi tetap diusahakan) karena mengingat tampilanku yang hanya 10% dari ketampananku yang sesungguhnya, aku mengajak Citra ngobrol, paling sering tentang Alle semasa kuliah. Allan, adiknya Alle seperti merasakan upayaku menarik perhatian Citra malah membuyarkan semua usahaku dengan membuka aibku semasa kuliah dan sering menginap di rumah mereka. Citra hanya tertawa renyah (dan cantik) di setiap wajah tersipuku. Istri Alle, Nadia, terlihat sangat bijak dan dewasa. Meskipun pengantin baru, Alle dan Nadia terlihat sangat kalem dan menghadapi kekonyolan Allan dengan sangat keren. Aku beralih menanyakan kisah mereka karena sudah lama sekali tidak berjumpa dengan Alle.

"Kami ketemu mudik taun lalu! Soalnya kampung Mamanya Alle sekampung sama Mamaku. Malah katanya mereka sempet sekolah bareng waktu kecil" Nadia bercerita singkat kisah indah mereka
"Bohong! Kita dijodohin tau! Mereka sok sok ketemu padahal emang udah merencakanan untuk menjodohkan kita dari kecil!" kelakar Alle membuat seisi mobil tertawa lepas dan aku sedikit demi sedikit sembuh dari trauma dan lelahku semalaman.

Selesai melewati total tujuh jam dan rotasi menyetir hingga tiga kali antara aku (di daerah kampung karena takut razia polisi), Allan dan Alle, akhirnya kami sampai di kampung halamanku. Mereka duduk sebentar dan mengobrol dengan kakekku yang meskipun tua masih segar sambil menikmati jahe hangat di sore hari sehabis hujan panjang. Kakek berterima kasih pada mereka dan membawakan mereka bekal khas dari kampungku. Yang tidak kusangka adalah, di balik struk pembelian bensin mobil Alle, Citra menuiskan nomer teleponnya dan menyerahkannya padaku sambil berkata "kalo udah baikan dan punya hp lagi, telpon aku ya" diiringi senyuman super cantik mengalahkan kecantikan mantan pacarku yang meninggalkanku demi pria lain. Aku membalas tersenyum tanpa mengontrol merahnya wajahku karena malu bercampur senang.



Tuesday 22 July 2014

Top Ten Footballers Say About Moving To Another Club

1. It has been a dream come true 

2. I cannot wait to help this team win the title

3. This club is one amongst the best in the world

4. The team is very strong and I am confident of contributing myself to it.

5. When I was a kid, I have always wanted to play for this team.

6. It is sad to move from the previous great team, but I will do better here.

7. The fans are amazing and I want to make them proud by winning.

8. After the long story and struggle, I finally made this transfer and I am glad about it.

9. Great armosphere, great welcome and I look forward to the new season to begin

10. Thank you to my fans and I hope you continue to stand by your beloved team.

The Life Concept.

This one person came into my life with this person's life concept where this person is never wrong, always prioritising comfort and self-assurance. This person rarely thinks of anything else or anyone else that does not matter to this person, this person is ignorant sometimes and this person barely understands the concept of social life, so hard to consistently loving and unable to keep the passion if this person is no longer interested nor challenged. This person is a slave of intellectualism and this person would not bother giving any shit about stupid things. Funny things are what this person thinks as funny, even the funniest comedian in the whole universe will not succeed to make this person laugh if the joke is below this person's standard. This person is so hard to please but at some point this person is so silly and lovely and adorable. This person is what makes me up all night thinking about this person and talk to God about this person. Good thing is, I talk to God quite often than before since this person happened in my life, I am so grateful. I learn to become more patient, determined and calm. This person is the most selfish-naive creature ever and I love this person. Like so much. When we are in a fight, this person rarely realises this person's mistake hence I will always be the one who is brave and mature enough to "symphatise" and "emphatised" our situation. I will always be the one who tells things and initiate ideas, teach this person things without sounding like a teacher, giving understanding without acting like the truest person. I know people tell me that it's not my responsibility to raise this person and nothing can force me to make this person mature, but somehow I want to stay. I want to hold on because the life concept of me is this person's opposite, and my heart tells me to be strong, stronger than ever, because I believe that nothing great comes easily. I need to hold my demand down, wipe away my requests, set aside my ego, and put up a little bit with this person so I will not lose this person. Strangely, I enjoy doing all this, I enjoy being with this person. Out of the reciprocity, this person sort of makes me happy just by this person's presence. I do not mind how much I have to struggle or give anything in when I am with this person. I will stay strong and moving forward although sometimes I feel pain. And if this is what I have to go through, no matter if people call me indecisive and too devoted, I will go through.