Friday 24 August 2012

jam tiga pagi dan....

saya belum bisa tidur, setelah percakapan singkat dengan dokter pribadi saya, Randhy F, ternyata blogging adalah alternatif penyaluran stress bagi Masters student yang jobless seperti saya. Bukan nggak baca jurnal akademik ya untuk mengisi waktu kosong, cuma harga travelling yang menyaingi harga sepatu idaman ini seperti meraung-raung meneror dompet saya. Maklum, perempuan kan, banyak mau.


Mari kita bahas yang berbau mainstream (yeah, been talking about this a lot latetly). Ada tiga hal mainstream yang saya lakukan: listening to good music, liking gorgeous guys and looking fabulous.


Menurut sebagian orang, sebagian jenis musik adalah sampah. Menurut sebagian lainnya, sebagian jenis musik adalah terbaik. Buat saya, musik sampah itu adalah Nicki Minaj. Seriously, I have NEVER hated any kind of music EVER; jazz pop rnb emo punk metal dangdut bollywood folks country, name it. I never hate anything until Nicki Minaj. I don't know her personally, of course, it's just something on her pembawaan yang bikin gua risih. Nope! Not gonna bring up Americanisation di postingan ini, tapi Nicki Minaj beneran produk industri musik yang gagal di mata saya. Lagunya ear-catching, to be honest, tapi pembawaannya di media itu lho, nggak enak! She might be a good person, as a person, but as musician presentation, man... sorry and terribly sorry, I don't like her.



Orang bilang Robert Pattinson itu hot, ada yang bilang Cristiano Ronaldo itu sexy dan beberapa lainnya bilang Leonardo Di Caprio itu cute. Lah buat saya masih James Franco, Jim Parsons dan Mesut Ozil deh yang menang.












Ya kan, kalo ngomongin selera bisa nggak sih disambungin sama mainstream? Saya juga nggak bilang mainstream itu jelek kok, cuma mainstream aja. Kapan deh ya saya bilang kalo 'seragam' itu baik, tapi.... seragam aja. You know what I mean.




Karakter fashion saya fluktuatif, ada kalanya saya super fashionable (dude, you gotta admit this without me showing off the research) dan ada kalanya saya super douche bag! Mungkin kalo ada orang setres yang jalan ke mall paling mewah di Jakarta pake sendal jepit, itu cuma saya. Perkara pede sih ya, kadang terlihat keren itu kan dari mata memandang juga, bukan badan merasa. In this sense, however, looking fabulous is the sense of presenting myself in front of everyone including the mirror. Semua orang kepengen TERLIHAT keren, tapi... apa semua orang ingin MELIHAT yang keren?




Oh crap! I really need to stop consuming coffee before a morning trip. I gotta go to Newcastle in less than 3 hours and I haven't got a decent sleep since last night! I screw myself.

PS: Lega banget abis skype sama mama. She's home!



Monday 20 August 2012

this day last year

nope! not because it's tanggal 20 or something about Lebaran hari ke-dua. It's about being away for almost a year. I might sound berlebihan, but this feeling is terrible, the feeling of comfort being on my own, as well as the feeling of missing home, brothers and parents a lot. I'm imagining going back to Jakarta, smelling the humid air and the rudest traffic in the world, it could be better though compared to the loneliness of dawn when there was no adzan, or the expense of eating simple food. Inasmuch, I don't feel like meeting again with hypocrite people, and the dizziness of Indonesia's atmosphere. Rasanya this day last year saya masih puasa, menghitung-hitung hari menuju Inggris dan menjemput visa yang udah issued. It was really exciting, and up until now I am still grateful of being away, independent and challenged. It is fun exploring some of the best cities in the world, earning one of the best education place in Europe, experiencing the hype of meeting new people in new environment.

oh this day last year. I don't feel like ending things, but I have been missing the best moments back home too.

Monday 13 August 2012

I haven't got any minutes to sleep...

So this breakthrough celebrity has gotten me amazed by how my editor wants her so bad. I managed to interview particular people in her life and got them saying for her.



Mertua (tipikal ibu modern yang tinggal di kota metropolitan)
Oh, menantu metal itu. Saya seneng ngobrol sama dia, seru dan dia pengetahuannya luas, juga sopan sama orang tua meskipun lama-lama saya bisa anggap dia temen kalo lagi belanja.


Asisten Rumah Tangga (perempuan setengah baya yang sabar dan setia)
Si Non itu senengnya makan yang nggak sehat, Bibi sampe sayang sama sayuran setiap hari sisa karena Non nggak makan sayuran seperti anggota keluarga lain.


Mantan Pacar (pengacara sukses di kalangannya dan di level seumuran dirinya)
Gua kenapa ya dulu putus sama dia? Yah, pokoknya anaknya bawel sih, posesif ya menurut gua, mungkin antara terlalu sayang apa takut kehilangan.


Manager (bossy, perfectionist and well-planned person)
She is absolutely multitalented, she's a triple thread to everyone in her field; she sings, she dances, she acts. What else?


Sister (beautiful, and I think she is more beautiful than her sister)
She is my frienemy, paling seneng sharing cerita sama dia, tapi saya benci banget sharing gebetan sama dia, every guy would turn to her rather than to me.


Teacher (wise man who studies the character of everyone that he taught)
Anak itu pekerja keras, senang mengerjakan tugas yang saya kasih dari jauh-jauh hari karena memang sebenarnya dia nggak pede kalau harus ngerjain SKS seperti temen-temennya.


Ibu Kantin (tipikal penjual mie ayam dan teh botol di kantin kampus)
Dia mah yang paling sering gegantian menu makanan. Oh, urangna seneng bayar utang tepat waktu; seminggu sekali. Yang lain malah sampai bulanan nteu bayar-bayar. Cena bukan karna kaya, tapi cena memang urangna tenggang rasa.


Stage partner (another triple thread, but man)
She is amazing! I wish I were straight so I could date her. Pikirannya kadang nggak ketebak, tapi kadang jadi orang yang naive banget sama hal-hal sepele. I totally adore her, though.


Teman SD (young mother, one kid and successful husband)
Apa ya? Udah jarang ketemu sih sekarang. Dulu dia nakal banget, dan hobinya bolos sekolah. Tapi sedenger aku sih ketika mulai masuk SMA waktu Ayahnya meninggal ya dia membaik, dan buktinya keterima kuliah di Performing Arts kan sampe sekarang jadi artis.


Adik ipar (tipikal anak SMA yang baru lulus sekolah dan belum kuliah)
Hmm... baik orangnya, bisa diajak gila bareng meskipun beda umur udah tujuh taunan. Kadang bawel sih kayak Mama, tapi baik orangnya, dan seru.




"I wonder what kind of person this girl is. This is so random opinion from people around her." My desk was messy and I was still enthusiast to talk to Charlie about my day






"I am actually more curious why would our boss wants her. She is not interesting at all, just like another celebrity, they are glamorous and look fun" He was upset about missing out the live report from a huge accident that day. We were those reporters who lose our sense of sympathy when it comes to accident, it's like what we eat everyday and we're making the best drama out of it. I know this is wrong, but covering accident is far better than interviewing people in a celebrity's life. Sounds utopia to me.

Wednesday 8 August 2012

I might have written this...

Tertampar oleh twit salah satu rekan asik saya, Astrid, saya jadi kepengen curhat tentang apa yang (seharusnya) saya perjuangkan di disertasi Master saya. Tentang MTV.

"@astridnaya: Pada masanya, bangun pagi jam 9 itu waktunya nonton MTV Land."


Yeah, menurut saya bukan salah siapa-siapa. Lagi-lagi zaman yang sepertinya sudah shifting people through dan menerapkan evolusi dan seleksi alam pada umat manusia. Jaman dimana MTV adalah channel musik 24 jam yang memutarkan lagu-lagu dari masa keemasan nenek saya, hingga apa yang jadi tradisi lokal di Indonesia seperti Dangdut.

Buat saya Amerika cukup lihai dalam menerapkan kapitalisme di negara dunia ketiga seperti Indonesia. Lokalisasi itu sendiri bagian dari effort mereka untuk menjangkau orang-orang seperti si mbak di rumah yang nggak doyan dengerin Westlife atau di kala itu terlalu sulit memahami arti lagu "Ooops I did it again" milik Britney Spears (meskipun nggak lama kemudian salon amatiran ramai dengan para pelanggan yang mau rebonding rambut a la Britney di video klip itu). Dangdut, lewat Dangdut mereka menembus pangsa pasar kelas menengah ke bawah Indonesia. Menjadikan beberapa penjaga warteg dan mandor di pangkalan ojek setia memasang channel MTV di tempat mereka beraktivitas sehari-hari.

Yeah, tentu sajaaa argumen Schiller (1992) di-rebuttal habis-habisan oleh Tomlinson (sial lupa tahunnya) dan teori globalisasi Appadurai. Tapi lubuk hati saya yang paling dalam (cuma perlu pembuktian empiris dan argumen super pede aja) tetap berpikiran kapitalisme dan imperialisme di industri media Indonesia bisa dicontohkan oleh MTV.


Regional programme seperti MTV Most Wanted, MTV Land dan MTV Asian Hitlist juga jadi favorit saya dulu, nggak tau saya doang yang norak dan mainstream di kala itu, atau memang mereka memprogram sedemikian menarik acara sehinga bukan hanya VJ Utt dan VJ Gregg yang ganteng dan jago bahasa Inggrisnya, tapi juga lagu-lagu yang mereka putarkan seperti "atas permintaan kalian, anak nongkrong MTV". Hell yeah! My research told me that MTV has 'married' to global recording company to sell music (Banks, Kaplan, et al). Gimana caranya mereka harus bisa jual artis se-asing George Benson, Holly Valance dan AQUA bisa dicintai oleh orang-orang yang bahkan nggak ngerti bahasa Inggris seperti mantan supir pribadi saya. Tentu saja kemasannya!

Makhluk super kocak (IMHO) seperti VJ Arie dan VJ Sarah adalah bagian dari kemasan kece untuk menggiring budaya barat agar acceptable di Indonesia. Tayangan wajah indo-blasteran seperti VJ Cathy dan VJ Rianti juga merupakan sensasi tersendiri buat para remaja yang lagi falling in love di MTV Getar Cinta. Lalu seiring modernisasi dan shifting taste and people dencency, kemasan MTV lalu mengkreasikan kehebohan dan kejenakaan duo Desta-Vincent di acara MTV Bujang dan selanjutnya berevolusi jadi MTV Insomnia, Begadang, dan lain lain yang merefleksikan fenomena dan trend remaja pada masanya.


Semakin kesini, seperti terkikis, merger sana sini antara channel TV, stasiun komersial dan Nickelodeon mengakibatkan hilangnya kreativitas-kreativitas kapitalisme yang mendidik sekaligus merusak remaja bangsa Indonesia (a bit thanks to KPI regardless all the scandalous attitude in between). Jujur, dibalik kritisisme saya terhadap Amerika dan kapitalisme-nya, saya rindu masa dimana para VJ asik bercuap dalam bahasa Inggris dan kelihaian mereka mewawancarai artis luar negeri yang sedang bertandang ke Southeast Asia. Mostly, saya rindu bagian positif dari kapitalisme itu, atau boleh saya ameliorasi jadi 'globalisasi'.




VJ Jamie interviewing Westlife




PS: Disertasi saya memuat bahwa MTV Indonesia bukanlah produk kapitalisme karena dari segi konten, beberapa program representatif memiliki style yang sangat Indonesia tanpa bold influence dari Western culture. Too bad this might as well be proven as the other way.




Saturday 4 August 2012

Degredasi Bangsa?

Dua puluh tahun lalu, saya hidup di lingkungan menyenangkan. Belum kenal nintendo, playstation dan internet. Sekeliling saya masih ramai anak-anak dengan layang-layang, sepeda onthel, patok lele, dan permainan benteng. Kala itu kemewahan gadget bukan hal yang biasa, justru kami (saya dan anak-anak seumuran saya) asik bermain di lapangan, entah dengan kelereng, karet gelang yang dirangkai jadi tambang elastis, atau layang-layang. Berlarian di gang-gang, makan es krim di dekat sekolah, hingga berkelahi memperebutkan layang-layang nyasar yang putus di udara. Seru, sportif dan sehat.



Kami sering dimarahi orang tua masing-masing karena ketidakdisiplinan kami; belum ganti baju sekolah sudah lari ke lapangan dekat rumah, belum kerjain PR sudah jajan dekat pasar.




Sepuluh tahun dari masa itu, adik bungsu saya bermain gamewatch, playstation dan rentang sepuluh tahun berikutnya mereka rajin main game online. Semua gadget yang tidak sanggup dibeli Papa Mama tergantikan oleh rental PS dan warnet sekitar rumah yang menjamur.


Bambu-bambu melapuk begitu cepat, pohon yang kami jadikan benteng ditebang, kelereng kami jadi hiasan, dan karet gelang kembali melingkar di dapur bersama kertas pembungkus nasi. Bola bekel saya tidak lagi membal, biji congklak jadi isi pijakan taman. Saya seperti kehilangan.



Di tengah majunya internet, di jenjang kuliah strata satu dan dua dalam bidang komunikasi dan budaya, saya lalu belajar teori dan aplikasi modernisasi. Bukan (lagi-lagi) menyalahkan Amerika dan antek-anteknya, tapi teknologi dan invensi modernisasi telah menyeret halus kebiasaan sportif dan natural anak-anak menjadi lebih canggih.



Sekarang timbul Twitter, Path, dan Ragnarok. Anak-anak seumuran saya 20 tahun lalu tidak lagi bersua di lapangan dan taman sekolah. Mereka memilih pulang, mendekam seharian di kamar saat akhir pekan dan menjalin persahabatan dengan lingkaran teman yang lebih luas di luar jangkauan. Mereka bertukar ucapan "shit!" dan "mana ammo gua?" dalam Counter Strike. Bilahan bambu tergantikan oleh kasarnya gesekan mouse di tangan kanan mereka. Hembusan angin sore tergantikan dentuman musik dari Spotify di headset dr. Dre mereka. Topeng monyet dan komedi putar tergantikan oleh playlist Youtube dan ga9s jokes.



Saya nggak mau terlalau naif menyalahkan CERN dan Sir Lee yang telah menemukan internet dan www, terlepas dari cyber crime yang terjadi setelahnya (dengan berbagai faktor). Saya juga nggak berhenti salut sama pendiri kaskus apalagi almarhum Steve Jobs yang menurut saya adalah seorang jenius. Saya juga enggan menyalahkan trendsetter dan pencetus istilah 'alay', yang kemudian lebih disanterkan oleh media.



Ya, media, yang katanya 'channel' atau perantara dari komunikator kepada komunikan. Media, yang katanya, informan atau jendela dunia terhadap kejadian di luar sana. Media, yang katanya netral dan bersifat mendidik, sekaligus menghibur. Media, yang katanya ajang kreativitas manusia. Media, yang katanya memberi makan orang banyak.



Pada perspektif saya, justru sejauh ini media yang memberikan gambaran bagaimana seharusnya society ber social, terlepas dampak negatif atau positif. Hanya menurut saya, mayoritas mereka memberi batasan mana yang 'modern' seperti bahasa Inggris, musik aliran trance, reality show dan fashion Amerika, dan sebagian lainnya yang membantu popularitas istilah 'alay' bagi siapa saja yang masih bermain layang-layang di lapangan, masih menggunakan handphone monophonic buatan Finlandia, masih mendengarkan musik dangdut dan masih menyukai jajanan pasar tradisional.




Saya harus jujur, beberapa media juga berusaha membingkai tradisionlisme menjadi suatu hal yang heritage dan tidak kalah seru; wisata kuliner, backpack bersama selebriti, hingga permainan tradisional yang dimainkan oleh artis dan keluarganya. Menarik, suatu usaha pelestarian yang menarik.



Sementara, pikiran saya masih terus mengulik fenomena sosial ini. Sementara hati saya rindu pada 20 tahun lalu, dimana saya berlari bebas, berteman dengan sebaya saya tanpa tau apa itu smack down dan tanpa takut jatuh dari sepeda. Saya rindu masa dimana iPod dan charger bukanlah barang wajib di dalam tas saya, melainkan buku atau novel yang menemani perjalanan saya. Saya rindu dimana televisi tidak hadir di antara pertemuan keluarga sehingga kami leluasa mendalami karakter setiap anggota. Saya rindu masa di saat follow-memfollow Twitter bukan kewajiban pertemanan dan simbol popularitas semata. Ya, masa dimana pertemanan terjadi di taman permainan, dan perkelahian selesai di depan mata, bukan di dunia maya.



Ah, saya yang sudah terlalu tua.

Friday 3 August 2012

What Lasts on Summer (part 2)

Sore itu kami berjumpa di taman dekat tempat saya kerja. Andreas terlihat banyak PR dengan beberapa rangkaian kasar dan design rangkaian bunga di tangannya. Saya sendiri memangku tas kerja saya berisikan laporan-laporan yang harus saya analisis malam ini di rumah. Sekian detik pertama kami bertukar kabar tentang pekerjaan kami belakangan ini. Tidak jauh dengan nasib saya, Andreas sedang menerima banyak pesanan untuk acara Natal akhir tahun nanti. Saya sendiri nggak sabar mengambil cuti dan berlibur sendiri ke Dili.



"Apa kita seharusnya nggak ketemu lagi? Atau justru menjalin hubungan seperti abang dan adik?" Andreas akhirnya melontarkan pertanyaan di akhir tukar-cerita kami tentang sosok orang tua kami masing-masing. Saya diam cukup lama, menimang apa yang sepantasnya jadi jawaban terhadap pertanyaan ini. Ah, seandainya pertanyaan itu seperti 'Kamu mau nggak jadi pacar aku?' maka saya tidak perlu waktu bahkan sedetik untuk menjawab 'iya', sayangnya Andreas adalah saudara tiri saya. Ayah pilot kami mewariskan sifat pemberani dan pantang menyerah, penuh rasa ingin tau dan selalu menuntut kebenaran. Rasanya justru sulit sekarang untuk tidak menyerah pada kenyataan bahwa Andreas adalah sedarah dengan saya, dan mengelak dari kenyataan bahwa kami tidak bisa bersama sebagai pasangan.

"Aku nggak tau apa kita bisa saudaraan. Aku pikir ini bakal beda ceritanya dari kenyataan sekarang" jujur detik itu saya ingin menangis deras merasakan batin saya yang naksir pada Andreas dan desir darah saya yang juga mengalir di tubuh dia. Andreas mengerti maksud saya, dan dia ikutan terdiam. Kami pulang tanpa sepatah kata, bahkan tanpa 'sampai jumpa'. Sore itu seperti gravitasi yang menarik kami ke rumah masing-masing tanpa harus memberikan tanda berupa kata.



Saya menemukan Ibu menyiapkan makan malam untuk kami, lalu saya luluh. Kami ngobrol lagi malam ini, masih dalam keadaan canggung sampai telepon genggam saya menampilkan cuplikan pesan singkat dari Andreas, "aku baikan sama Mama, dia kangen aku, dan dia bilang mau ketemu kamu." Layar telepon genggam saya terbaca jelas oleh Ibu. Ibu lalu tersenyum, saya sulit mendefinisikan arti senyuman kali ini; lega, senang atau.... miris. Saya mengabaikan pesan itu.



Delapan hari kemudian, saya menemukan Andreas duduk manis di lobby kantor saya, dengan setangkai bunga mawar. "Selamat ulang taun! Aku tadi ketemu sama Ibumu. Dia cantik ya, mirip kamu" Saya tersipu dan gagal melancarkan raut marah pada kejutan itu. Andreas memaksa makan malam dan mengantar saya pulang. Saya banyak diam, berpikir kenapa cuma saya yang belum bisa terima bahwa Andreas dan saya (mungkin) seharusnya hidup sebagai saudara. Saya juga mengasihani bagian dari diri saya yang masih marah dan tidak terima bahwa Ayah harus dibagi dua.


Akhir pekan di minggu ulang tahun saya, nisan Ayah menjadi saksi bisu luapan emosi saya. Saya bilang sama batu nisan Ayah kalau saya marah dan rindu sama Ayah. Berharap Ayah meninggalkan surat atau pesan lain yang menjelaskan kebingungan ini. Tapi pupus. Yang saya ingat cuma pesan Ayah bahwa ada hal-hal yang harus kita abaikan saja, karena relevansinya dengan hidup kita tidak akan sebanding dengan kerasnya usaha untuk mencari tau fakta-fakta di luar kepala dan tak kasat mata. Lalu saya pulang, memutuskan untuk berdamai dengan kenyataan dan berusaha keras untuk menjalankan persaudaraan. Saya pikir Andreas bisa jadi Abang yang baik untuk Adik yang manja seperti saya.

Thursday 2 August 2012

What Lasts on Summer (part 1)

Selamat ulang tahun Ayah.
It's the third year I have lost my dad. Saya selalu heran beberapa bulan terakhir ini, menjelang ulang tahun papa tanggal 1 Agustus dimana saya sengaja ziarah ke makam beliau, saya selalu menemukan sepaket bunga mawar import di dekat nisannya. Jauh pikiran dari hal-hal berbau mistis atau apapun sejenisnya, karena saya yakin benar ini perbuatan manusia. Satu-satunya yang jadi clue bagi saya cuma nama florist yang tertera di tali dekat buket bunga tersebut, "Tania Florist". Tidak ada alamat, hanya nomer telepon, dan bukan jalan buntu tentu saja.


Setelah 15 menit bernegosiasi lewat telepon, Tania Florist baru saya ketahui berposisi tidak jauh dari lokasi saya kerja. Esoknya, ketika hari Minggu, saya mampir ke Tania Florist untuk mengambil pesanan saya. Sengaja berskenario ulang taun boss besar, bunga yang saya pesan memang agak rumit dan butuh 'ketemu' untuk ilustrasi. Sesampainya di sana, benar saja, saya disuguhi berbagai konsep rangkaian bunga dan dekorasinya untuk berbagai suasana dan acara.


Namanya Andreas, dan kesan pertama saya jujur berpikir bahwa dia gay. Perawakannya tinggi kurus, tangannya selalu memegang gunting daun kalau tidak semprotan air mini untuk tanaman. Ia mengembangkan sendiri bisnis florist ini semenjak duduk di kursi kuliah dan saya kagum, dari obrolan kami, bahwa almarhum Ayahnya ternyata adalah inspirasi baginya dan Ibunya untuk terus menjalankan bisnis ini. Berlanjut dari obrolan pesanan bunga dan bisnis, kami ngobrol lagi tentang ke-anak tunggal-an dan ke-yatim-an kami.



Merasa nyambung dan semakin dekat, saya lalu teringat lagi pada misi utama saya datanya ke Tania Florist; siapa si pengirim bunga untuk makam Ayah? Agak susah mencari tahu tentang ini, karena kebanyakan tamu dari florist Andreas tidak meninggalkan data diri mereka selain nama dan nomor telepon bagi pemesan bunga khusus. Paket bunga yang saya temukan di makam Ayah memang spesial, tapi ternyata bukan kategori pemesanan yang butuh detail customer. Hampir buntu.



"Kalo ada waktu, mungkin kamu bisa nemenin aku ikut ke makam Ayah biar kamu bisa liat bunga impor yang aku maksud?" Akhirnya aku meminta pada Andreas di suatu ajang makan siang dekat tempat kami bekerja.
"Nggak masalah, kapan kamu mau ziarah lagi?"
"Kebetulan aku penganut mitos dan adat berziarah sebelum Ramadan, gimana kalo minggu depan? Weekend?"
"Hmm, kayaknya sih bisa. Nanti aku liat pesenan dulu ya, kalo nggak rame aku ikut kamu." Setelah sepakat, kami kemudian semakin intens berhubungan dari sebelumnya. Saya punya banyak kesamaan dengan Andreas, dan menurut saya Andreas menarik, terlebih setelah saya tau bahwa dia tidak gay sama sekali. Ibunya dekat dengan dia, dan sebagai anak tunggal, tentu saja ia dimanja semasa kecilnya. Sama seperti saya, Ayah kami masing-masing mendidik kami untuk mandiri dan memiliki kemampuan tertentu. Kebetulan saya di bidang komputer, dan Andreas di bidang cocok tanam bunga.



"Aku nggak tau Bu, menurut aku Andreas baik. Sejauh ini kalo kami ketemuan atau jalan bareng, dia nggak nunjukin kalo dia punya pacar atau lagi deket sama cewek manapun" Ibu melirik saya penuh arti sambil senyum.
"Iya deh, Ibu tau kamu paling paham soal gelagat cowok yang single atau taken." Senyumnya bermakna buat saya. Sejak Ayah meninggal tiga tahun lalu, Ibu merangkap tugas Ayah jadi penasehat sekaligus pelindung buat saya. Menurut Ibu, kepergian Ayah bukan hal yang harus diratapi, tapi adalah tantangan untuk tetap hidup dan menjalani nilai-nilai yang diajarkan Ayah; kerja keras, berani dan tulus. Yes, Dad is that kind of person who'd kill for anything he believes, and I think that personality suits me and Mom. Selain jadi anak manja, saya berhasil menjabat posisi tertentu pada perusahaan telekomunikasi dimana saya dituntut untuk bertanggung jawab terhadap sebagian besar bawahan saya dan hasil kerja mereka.
"Mungkin sudah pertanda kamu harus segera nikah" ucapan Ibu membuyarkan senyuman saya. Akhirnya pernyataan itu keluar dari mulut Ibu. Baru berapa bulan saya kenal dengan Andreas, Ibu seperti sudah mencium aroma berbeda dari kedekatan kami. Saya hanya tersenyum mendengar lanjutan ucapan Ibu "Ibu doain, kalo memang Andreas jodohmu, kamu bahagia sama dia dan dia bisa mendampingi kamu sampe hayat memisahkan kalian." Begitu positif dan begitu tulus, Ibu sepertinya cinta mati sama Ayah. Dan menurut saya itu romantis.



"Ini makam papaku!" Seperti tertampar anggota angkatan bersenjata tanpa melecehkan negara, saya tersentak sejadi-jadinya mendengar ucapan Andreas di makam Ayah. Selama ini saya pikir kesamaan kami adalah kebetulan belaka, cerita tentang Ayah yang begitu serupa dan sampai saya tidak terpikir menanyakan siapa Ayahnya Andreas.



Ayah menikah dengan Ibu ketika Andreas berusia 2 tahun. Saya seperti berkeping-keping dan berharap Tuhan mengirimkan bah agar kepingan diri saya hanyut dan tidak merasakan apa-apa lagi. Kenyataan yang selama ini disembunyikan oleh Ibu dari saya. She didn't even bother to asked about Dad's another family, she chose not to know Andreas at all. Sungguh, saya tak bergeming mendengar cerita Ibu tentang pernikahannya dengan Ayah, rumah tangganya, pekerjaan Ayah sebagai pilot dan keseharian Ayah saat tidak di rumah. Air mata jelas tak terbendung dan Ibu ikutan menangis menahan sakit atas penolakan saya terhadap pelukannya. Berkali-kali Ibu minta maaf dan saya hanya diam sambil sesekali menolak raihan tangannya.




Tiga minggu tanpa berhubungan dengan Andreas, kami tidak sengaja papasan di kantin tempat biasa kami makan siang. Sungguh hari naas buat saya sampai bisa ketemu dia, padahal jam makan siang saya sudah berubah drastis agar tidak ada kesempatan bersamaan dengan makan siang dia. Rupanya siang itu dia sedang ketemu dengan supplier untuk buket bunganya. Saya menahan refleks senyum saya, meskipun ada sebersit rasa rindu dengan candaan dan cerita dia di dunia florist. Dia melihat saya dan menatap lama sampai saya kikuk sendiri. Setengah jam kemudian, seusai semua urusan dia dengan suppliernya dan saya dengan mangkok bakso saya, dia menghampiri meja tempat saya duduk. Saya sendiri enggan menghindar dan mencoba untuk berani menghadapi dia lagi, sebagai saudara tiri.



"Aku belum ngomong sama Mama sejak tiga minggu lalu" dia memulai cerita dengan satu kalimat langsung tanpa pembuka dan aba-aba. Mengambil posisi di hadapan saya, ia melanjutkan ceritanya tentang bagaimana Mamanya menjelaskan hubungan antara kami, Ayah kami dan kehidupan kami selama ini. Saya yang hanya menunduk diam melihat minuman saya dalam hati mengiyakan beberapa pernyataan perasaannya sebagai seorang anak; tertipu, rindu, bingung sekaligus kehilangan.
"Aku nggak ngerti kenapa harus nunggu selama 27 tahun dan setelah Papa meninggal untuk cerita siapa kita sebenarnya. Seandainya kita nggak ke makam hari itu, seandainya kamu nggak cari tau siapa pengirim buket bunga di makam Papa. Seandainya kamu nggak nekat nyamperin Tania Florist. Apa selamanya kita nggak tau tentang Papa?" Penggunaan kata 'kita' oleh Andreas memancing saya untuk merespon dengan emosi yang sama. Lalu tersengat oleh detikan jam di tangan kiri kami masing-masing, kami sepakat jalan-jalan sore seusai kerja hari itu.




*bersambung*