Monday 31 August 2020

Parenting Antar Generasi

 Beberapa waktu lalu, orang tuaku sempat kesal dan berkata "punya anak tiga, kok ngga ada yang perhatian sama orang tuanya?" kepadaku mewakili adik-adikku.


Di situ aku bingung harus bereaksi apa selain akhirnya bibir ini hanya bisa minta "maaf belum bisa jadi anak baik buat papa mama"




Kalo boleh mengingat hal baik yang sudah kami lakukan, terlepas dari tidak akan imbangnya kebaikan sebanyak dan sebesar apapun itu dibanding kebaikan mereka, sepertinya kami merasa tidak berada di jalur yang salah. I mean, setiap anak pasti punya dan membuat kesalahan masing-masing, dengan karakter dan sikap mereka masing-masing, termasuk aku dan adik-adikku. Kami punya karakter berbeda tapi perasaan yang sama terhadap orang tua kami: sayang dan hormat.


Mungkin yang berbeda adalah bahasa cinta kami untuk mereka. Mereka ingin kedekatan, kontrol yang menyeluruh dan kuat terhadap setiap keputusan dan tindakan hidup kamu, mereka ingin yang terbaik. Sesimpel itu. Sesimpel apa yang mereka inginkan kami turuti, termasuk dimana kami tinggal, apa yang kami makan, bagaimana kami berpakaian, dan pilihan hidup apa yang kami buat. Semuanya sesimpel harus mengikuti yang mereka mau dan arahkan. Simpel kan? Toh mereka ingin yang terbaik untuk anak-anaknya, mana ada orang tua mau lihat anaknya susah, sedih dan menderita?


Sedangkan bahasa cinta kami adalah tiga anak yang sudah dewasa, yang bisa mengambil keputusan hidup sendiri dan siap (atau tidak siap) dengan konsekuensinya. Kami ingin pendapat dan pandangan kami didengar, kami ingin dianggap bisa bertindak dan berpikir sendiri dan dihargai atas setiap keputusan dan pilihan kami. Kami sebagai anak berterima kasihsudah dibimbing, dinafkahi, difasilitasi pendidikan, dicurahkan kasih sayang sampai hari ini, dan kami ingin diberi kesempatan membahagiakan orang tua kami dengan semua yang sudah diajarkan pada kami: pendidikan dan pergaulan. Sesimpel itu.


Perbedaan bahasa cinta kami kerap menimbulkan perselisihan, salah paham dan akhirnya saling protes atau tersinggung. Parahnya, mamaku orangnya sensitif dan ekspresif, sedangkan papaku orangnya pasif dan impulsif. Sepertinya memang terlalu banyak masalah kompleks antara mereka berdua yang akhirnya berdampak pada kami, anak-anaknya. Baik itu berupa cerita, sudut pandang korban yang terluka atas pasangannya, hingga lampiasan emosi dan hormon yang kadang ikut membuat kami kelimpungan mengangani mereka. Tanpa sadar, mereka menjadi anak kecilnya, dan kami adalah tiga orang tua yang bertanggung jawab atas kewarasan dan kebahagiaan mereka. Tanpa sadar, waktu dan usia membuat kami bertukar posisi dan beralih tekanan jadi si penanggung jawab, sedang orang tuan kami jadi korban ketidakdewasaan kami.


Dengan sadar, aku dan adik-adikku sering bertukar pikiran atau sekedar membahas betapa konyol dan menyedihkannya orang tua kami. Mungkin buatku pribadi, aku jadi belajar itulah akibat hubungan pernikahan yang tidak dibina baik, dan dengan alasan anak (atau gono gini) mereka jadi mengorbankan kebahagiaan pribadi mereka demi keutuhan keluarga. Tapi yang mungkin mereka tidak sadar, justru dengan mereka 'bertahan' dengen ego mereka, anak-anak yang jadi korbannya. Dalam arti korban adalah mental kami dan pandangan kami terhadap hidup jadi terpengaruh. Kami tidak punya teladan suami istri yang harmonis, kami tidak punya teladan orang tua yang saling kompak mendidika anak. Kami hanya punya sosok mama papa yang sama keras kepala, otoriter dan egois hanya ingin didengar. Selebihnya, kami otodidak soal hidup, berkeluarga, danbersikap dalam sosial.


Kendatipun, perasaan kami terhadap mereka sama: hormat dan sayang. Mereka pun tidak bergeming dengan perasaan original mereka: sayang dan melindungi.


Setelah kupelajari polanya, sepertinya karena mereka berasal dari keluarga yang tidak bisa mengarahkan anak dan cenderung membiarkan anak dengan pilihannya sendiri. Papaku dididik keras oleh kakek nenek dan cenderung berjuang sendiri dari kecil untuk mendapat pengakuan dan hidup layak, Ia melewati banyak hal menyakitkan semasa kecil hingga dewasanya. Ia bekerja keras dan dihina untuk bangkit dari bukan siapa-siapa menjadi segalanya. Sedangkan mamaku adalah anak kepala desa yang serba ada, semua yang dimau didapatkannya. Sekolah dan pilihan hidup adalah kebebasannya tanpa ada pengarahan atau kontrol dari orang tua, alhasil sekarang jadi mental tidak bisa hidup susah dan tidak boleh ada yang mengatur dia. Lalu kombinasi mereka? Sama sama keras kepala, berkemauan tinggi dan harus selalu diikuti. Oh, jangan lupa: gengsi yang tinggi.


Belajar dari orang tua mereka, mungkin terhadap kami, mereka tidak ingin mengulang sejarah. Mereka mau memastikan bahwa anak-anaknya harus berhasil, tidak boleh menderita (menurut standard mereka) dan tidak boleh kekurangan apapun. Sempurna. Cinta orang tua memang sempurna dan tidak ada bandingannya. Aku hanya menghela nafas jika mengingat apa yang membuat mereka segitu mengekangnya terhadap anak, lucu ya.

PR aku sekarang adalah bagaimana aku mendidik anak-anakku.

Bagaimana caranya mendampingi dan mendukung mereka tanpa membuat mereka manja.

Bagaimana caranya membebaskan dengan kontrol tepat, tanpa membuat mereka merasa dikekang dan tanpa melepaskan mereka tanpa arah.

PR.