Tuesday 25 November 2014

You may desire me, but I do not think you value me.

Last night you asked me to pick up your laundry next to your flat. I refused. You also once asked me if I want to double the key set to your flat. I refused.

You texted me about wanting to see me and going out for a movie. I said yes. We talked all night long about stupid things, serious world problem, and absurd imaginations. We shared the same bowl of instant noodles when watching football on telly. I put away the garbage from your flat after our movie night. I think I had the best relationship ever.


Until


You asked me why I laughed so hard on your jokes and only agreeing to only minor things you ask me, I said "why would I do everything for you? you're not going to marry me anyway, let's have fun while we can and save the serious things for later"

Sunday 16 November 2014

Antara Interstellar dan Kebesaran Tuhan

Jarang jarang kan gue bahas soal agama dan mengekspos sisi religius gue yang setipis kumis Iis Dahlia. Interstellar, Alquran dan kekuatan waktu.

Interstellar bilang, 1 tahun lamanya di luar angkasa sana, let's say wormhole, atau Jupiter, 12 tahun lamanya. Selanjutnya ada perbedaan 23 tahun lagi di cakupan angkasa berikutnya. Wow, I was like, lama amat yah berarti waktu berjalan di sana. Sekilas kepikiran masuk akal di otak gue, karena perbedaan 12 jam dari Indonesia dan Amerika aja benar adanya kok, jadi kenapa perbedaan waktu dari bumi dan lapisan luar Bimasakti fiktif adanya? Simple logic sejauh ini, karena otak gue emang gak sampe kalo logikanya ketinggian.

Dari Al Qur'an yang gue tau, 1 tahun di bumi itu bertahun tahun lamanya di akhirat. Makanya serem kan kalo kita sampe masuk neraka dimana siksaan kita nanti akan sesuai dengan kesalahan kita selama di bumi dikali sekian kalinya. Durasi siksaan kita di neraka juga akan berkali lipat dibanding waktu di bumi. Seinget gue nggak di akhirat aja, bahkan di alam kubur pun demikian.

Kalo dibandingin dengan teori teori sains terutama yang ditekankan di film Interstellar karya Christopher Nolan, berarti angkasa di luar sana, relativitas waktunya adalah lebih lama lagi dibanding relativitas waktu di akhirat.

Mengutip Surat ArRahman ayat 33 dimana Allah mewahyukan:
"Wahai seluruh jin dan manusia, tidaklah kalian sanggup melampaui semesta, surga dan bumi kecuali atas izin Allah. 
Jelas dituliskan secara literal bahwa Allah yang sanggup mengizinkan manusia (dan jin) mengeksplor semesta alam dan seisinya, dengan teknologi, kemampuan berpikir dan temuan temuan manusia lainnya.

Sayang manusia banyak yang melupakan atau mengesampingkan faktor keimanan, ketuhanan dan keilahian, dan justru malah membanggakan kemampuan mereka dalam menjelaskan fenomena alam dengan pengetahuan scientific mereka. Manusia bahkan simply sering merasa bangga atas diri mereka dan merasa unggul dibanding makhluk lainnya. Bahkan sesama manusia-nya pun mereka saling menyombongkan dan menjatuhkan. 

Masih dari film Interstellar, kebesaran Tuhan yang lainnya adalah perasaan dan sensitivitas manusia terhadap rasa cinta dan perasaan kemanusiaan lainnya; rindu (Murphy kepada Cooper dan sebaliknya), benci (Tom kepada kawan Murphy yang ingin menolong anak dan istri Tom), takut (Murphy saat ayahnya akan pergi), protektif (Professor Brand kepada teorinya), terlalu mencintai (Mann kepada dirinya sendiri), terlalu percaya diri (TARS, well I know he's not human, but he's arrogant), terlalu naif (Amelia yang malah membuat Doyle mati), egois (Cooper saat melihat possibility dirinya menjadi hero untuk bumi dan mengabaikan peringatan Murphy) serta sekian banyak perasaan manusia yang bahkan penjelasan psikologis-pun justru akan menguatkan adanya kekuasaan Tuhan dalam segala aspek kehidupan.

Again, masih mengutip dari wahyu Allah di Quran surat Al An'am ayat 59:

"......tidak sehelaipun daun jatuh kecuali Allah mengetahuinya."

Jadi,

nggak usah sejauh nalar ilmiah untuk memahami Interstellar, gue sih yakin Allah itu besar dengan segala kekuasaannya. Dan rugilah manusia yang merasa dirinya tidak berpenguasa, paling berdaya dan paling benar adanya.


Wednesday 12 November 2014

Free Idiom

Everything's coming up roses.
something that you say when a situation is successful in every way
Everything's coming up roses for George at the moment 
he's been promoted at work and he's just got engaged.


Everything's coming up roses.
Fig. Everything is really just excellent.
Life is prosperous.
Life is wonderful. Everything is coming up roses.
Q: How arethings going? A: Everything's coming up roses.

Saturday 8 November 2014

Refleksi

Bulan ke 23 pacaran sama Abel. Refleksinya banyak banget, lebih banyak dari refleksi apapun yang pernah gue sadari.

Setiap mau ngeluh, inget lagi bahwa lebih penting bertahan dan berjuang daripada being weak.
Setiap mau ngomel, inget lagi bahwa emosi nggak menyelesaikan masalah, justru memperkeruh.
Setiap mau manja, inget lagi bahwa being vulnerable malah akan bikin capeknya makin kerasa.
Setiap mau komplain, inget lagi Abel has done so much too in his limit to make me happy.

Sebenernya bukan seberapa sayang Abel sama gue, jelas beda level dibanding waktu kami baru pacaran dulu. Kali ini lebih ke seberapa kuat kami bisa bareng dan bertahan dengan semua ke-nggak cocok-an kami.

Gue rasa Abel selalu punya pilihan untuk sendiri, ngapain buang waktu dan tenaga pacaran sama gue. But then, enggak. He stays. He keeps trying and we keep trying. I think so far we survived the relationship phases. I don't know for how long. I used to know, I just don't know now.

Tadinya kepikiran sedikit untuk give up. Terus somehow something always hold me back; too much that we have been through together. And I am keen to learn. Gue rasa bukan "udah umur segini males main-main lagi" atau "males move on dan kenal sama orang lain trus mulai dari 0 lagi" atau "ah susah cari yang kayak dia lagi". Gue rasa lebih ke "gue sayang sama dia" dan gue selalu inget kenapa dulu gue mulai.

Ya paling enggak itu alasan gue bertahan. Kalo ada yang tanya seneng gak sih ngejalanin ini? Gue bilang seneng. Bedanya, sekarang gue lagi kurang-kurangin ekspresi seneng, sedih, sebel atau apapun yang sifatnya emosional. Bukan karena nggak ngerasa, tapi sekedar reminder ke diri sendiri bahwa terlalu emosional juga nggak baik. Happy life is private life.

Gue berhenti berpikir negatif dan mulai cuek kalo emang nggak bisa mikir positif. Nggak semuanya harus dipakein hati dan perasaan kok. Kalo ada sensitivitas dan sentimen, bisa ditahan. Atau dialihkan.

Mungkin ini dia momentum paling sempurna buat gue menghargai "pertemanan" dengan beberapa orang terdekat gue, yang setia banget dengerin apa yang nggak bisa gue ungkapkan ke Abel. Bukan nggak nyaman, cuma menghindari konflik dan bias aja. Toh nggak mengubah perasaan gue ke Abel, jsutru menambah nilai refleksi gue terhadap diri sendiri.

Selebihnya, gue semacam pasrah. Tuhan udah ngatur semua kan, gue cuma tinggal doa dan usaha. Iya, usaha. Yang namanya usaha pasti ada capek dan pengorbanan, tapi ada hasilnya juga. Lagian temen gue pernah bilang, "kalo elo mau baik, baik aja tulus, Gak usah mengharap apapun in return, not even hoping dia notice bahwa elo baik. Sincere aja" ya kan? Satu pelajaran lagi.

Udah bukan waktunya lagi ngukur atau menilai. Sekarang saatnya gue menikmati dan terus jalan buat hal yang gue yakini. Mau susah, mau seneng, mau sedih, mau ngagetin, mau sakit, mau apapun itu, ya gue jalanin. Sambil terus refleksi; apa yang bisa gue perbaiki, apa yang harus gue hindari, apa yang boleh gue teruskan dan apa yang sebaiknya gue kurangi.

Memang begitu kan hidup? Belajar.
Selamat tanggal 7, kesayangan, It's funny how my feelings for you never change since the day 1 that you asked me "would you be mine?"

:)