Tuesday 28 September 2010

beberapa faktor

yang terpikirkan oleh saya tentang kenapa saya tidak percaya pada pernikahan dan lebih suka pacaran. satu di antaranya adalah keadaan orang tua yang tidak harmonis. sepanjang saya hidup bersama mereka, saya tidak pernah, sorry, mau kapital dlu ya.. SAYA TIDAK PERNAH melihat mereka bermesraan. hal yang diperburuk dengan beberapa kali saya melihat gambaran sosial tentang suami istri ideal yang saling berkomunikasi dengan baik. tidak lupa ajaran agama yang diterapkan kepada saya melalui litaratur dan sumberlain bahwa ternyata hubungan suami istri tidaklah seperti yang orang tua saya tunjukkan. bukan salah dari seorang atau keduanya. saya merasa mereka adalah orang tua yang SANGAT BAIK, namun bukan pasangan suami istri yang baik. saya juga pernah dengar percakapan seorang teman:
n: orang tua gua bercerai, tapi gua nggak takut sama pernikahan, justru gua tertantang untuk membentuk pernikahan yang lebih baik.
m: iya, sempit ya pikiran orang-orang yang anti sama pernikahan cuma karena liat satu kasus pernikahan gagal aja.
saya tersenyum miris. mungkin saya termasuk salah satu yang berpikiran sempit tersebut. saya tidak mau membantah kali ini. saya bahas saja faktor selanjutnya.


saya tidak menemukan serunya melayani seseorang sepenuh hati dan dikomplain atas hal hal yang tidak bisa saya atasi tanpa menimbang apa yang mungkin bisa saya lakukan. yaa, another person said: "kalo nggak mau dikritik, ya diem aja, jangan gerak, jangan ngomong, jangan ngapa-ngapain". saya suka dikritik,tetapi bukan atas suatu hal yang saya tidak bisa tanpa saya tidak memprotes juga atas apa yang saya tidak dapat. kenapa komplain? saya sekolah tinggi, bekerja dengan yaaahh,,,lumayan,, tapi saya tidak menemukan esensi melabuhkan semua itu untuk sebuah rumah tangga yang ayolah.....
(asli, ini perasaan angkuhnya nggak bisa dideskripsikan melalu tulisan. damn damn!!!)

saya kira saya baik-baik saja hidup sendirian. bukan saya tidak mau punya anak. saya suka sekali anak kecil, saangaaat suka. tapi itu bisa saya resikokan bukan untuk menikah. nanti mungkin. karena tanpa siapa-siapa, kemungkinan akan terluka adalah lebih kecil daripada hidup dengan siapa saja yang bisa melakukan kontak langsung terhadap hidup saya (suami).

SUATU HARI NANTI, kalau saya harus menikah, itu lantaran agama saja. semata-mata lillahi ta'ala.

Saturday 25 September 2010

same old plot

I've just finished reading the 18th story book of the day. same old plot.
awalnya ada putri raja, kerajaan yang sejahtera, lalu datang penyihir dari negeri lain yang punya dendam pada  sang raja, lalu disihirlah sang putri hingga pangeran menyelamatkannya. yang bervariasi dari cerita ini hanyalah kutukan macam apa dan bagaimana pangeran menyelamatkan sang putri. cerita yang sama.
Yesterday, I read 36 mystery book. I guessed all the endings correctly, 36 of them.
seperti biasa, setting dan latar belakang yang sederhana, lalu tokoh tokoh berkarakter, mulai muncul konflik antar topik. tak lama muncullah sebuah alur teka teki yang misterius. tak lupa tokoh detektif dan pahlawannya. beberapa intrik dan kemudian, terpecahkan. pemeran utamanya jatuh cinta pada sang detektif. dan sebagainya. pembedanya hanya bagaimana mereka jatuh cinta dan bagaimana endingnya akan dimodifikasi tanpa mengubah ide utama. cerita yang sama.

Last week, I read 118 kids story books. same old shit.
yang ini lebih klise lagi. ada tokoh baik dan jahat. si jahat memiliki intrik si baik tulus dan cerdik.
akhirnya si jahat kalah dan yang baik menang. cerita yang sama.

Ya Tuhan, apakah dunia (perceritaan) memang harus selalu begini? sama dan menjenuhkan.

Wednesday 15 September 2010

we are not talking about this, anymore

Waktu mau makan siang sama pacar saat istirahat kantor, saya papasan dengan teman baik saya, Sisi dari divisi marketing.

Sisi: ayolah, jarang-jarang ada promo untuk HRD jadi bagian dari marketing. Apalagi elo, skill persuasinya tinggi, pasti nggak sampe hitungan taun, lo udah jadi bos marketing di Bali.
Saya: ah, nggak deh, marketing bukan bidang yang gua sukai, apa enaknya kerja di bidang yang bukan minat kita.
Sisi: yah, nggak selamanya karir itu harus di bidang yang lo suka, Na, bisa kok belajar seneng dari hal baru.
Saya: nggak ada poinnya seneng tapi nggak bahagia. Gua ngerasa seneng dan bahagia kok dengan hidup pas pasan kayak sekarang, tanpa ayah ibu, gua bisa hidupin adik-adik gua. Memang kami nggak kaya, tapi kami cukup, nggak kurang, dan gua bahagia.
Sisi: knock knock, really? Is that how you define happiness? You deserve better life, if only you could manage to slide your ego and obsessive passion in such unrealistic things. Ayolah, naik angkot, gaji pas-pasan dan hidup yang luruss ngga ada naik turunnya? Is that what you called happiness?
Saya: (mengeryitkan dahi) Sisi, what you know about happiness? It is something you feel in your heart, it is not always something seen. You feel it. Sering gua liat lo seneng, but then re-ask yourself: are you really happy? Or just happy as happy?


Saya membentuk wajah senyum buatan di bibir saya lalu melangkah pergi. Pacar saya pasti sudah menunggu di tempat makan biasa. Dan benar saja, ia baru saja selesai memesan makan pada pelayan. Setelah menyilahkan saya duduk, dia tersenyum menanyakan hari saya dan mengapa wajah saya kurang menyenangkan. Saya pun sedikit bicara tentang Sisi barusan. Ia menyarankan untuk mengambil kesempatan promosi ke Bali tersebut, namun saya menolak. Alih-alih, saya membuka topik baru.


Saya: I think we should not see each other anymore
Dimmy: what? What is that supposed to mean?
Saya: teori supply-demand kita nggak berhasil
Dimmy: Kita?
Saya: or at least, demand and supply theory in OUR relationship is not working for one of us. I can’t supply what you demand
Dimmy: wow! Is this again about my smoking habit or your inability to have sex with me before we get married?
Saya: (mengangguk) and many other things that crossed my mind
Dimmy: crossed YOUR mind? (saya benci melihatnya mengerutkan kening)
Saya: okay, this ones are MY mind first ya.. you deserve to get a better girl.
Dimmy: or vice versa!
Saya: Hon, I’m just an extremely not-for-you thing. Could you see that and stop bothering with the chemistry we had so far?
Dimmy: you’re getting even more irrational, babe, we are good.
Saya: you could find a better girl who has supply for your demand.
Dimmy: and you think that’s all?
Saya: okay, you gave me my demand; I just can’t give back what you want. I am inadequate.
Dimmy: Listen, I try to quit smoking and reduce flirting to fulfill what you want…or what you NEED. I try to understand things between us and it is not easy, but I STILL try.
Saya: Hon, you know what? I doubt this relationship without balance and equal demand and supply. You could find a girl who’s very attractive, let you smoke and don’t feel bother to see you flirt. You could always find a neat and tidy girl with strong mind of romance.
Dimmy: (berbicara pada pelayan yang mengantar makanan kami) terima kasih pak.
Saya: you could always find a girl who is available for sex, hot, and surely smart and loves to argue with critical mind and..
Dimmy: I doubt that one!! (dia memotong saya sambil mengambil sepasang sendok garpu untuk saya)
Saya: Dimmy, listen up. You could find better girl than me right now.
Dimmy: sorry, I don’t live to only FIND girls. I live and love to ADJUST with the girl that I am into. (ia menyulangkan gelas ke arah saya dan menuangkan sedikit kecap pada nasi goreng pesanan saya)
Saya: I cannot fulfill your NEEDS; I cannot fulfill your demand. That is horrible to be such person, and I feel horrible to be dated by such guys like you.
Dimmy: like me? The one who couldn’t quit smoking yet, the guy who’s being overkind to girls in the office? Like what?
Saya: the one who stop everything in one place and tend to ignore other objective issues about relationship. Aku nggak yakin sama hubungan yang terus menerus didiamkan gini ketidakmampuannya. Sebenernya kamu bisa aja cari cewek yang lebih baik lagi.
Dimmy: vice versa? Are you seeing another person?


Kami terdiam sejenak. Saya menatap Dimmy yang sedang asik merapikan serbet dan memasukkan ponselnya ke kantong, merapikan porsi makanan saya dan menyampirkan tas tangan saya di sandaran kursi saya. Saya memegang tangan kirinya dan meneruskan tanpa peduli arah tatapan matanya.


Saya: that is not the thing!! I am not looking for anyone and you know I have been falling for you since a very long time, Hon.. quit it! Quit accusing.
Dimmy: you accused me first, you even tried to break up with me.

Kali ini dia menatap saya tajam dan berbicara dengan artikulasi yang terdengar “after what we’ve been through?”

Saya: because I think you deserve better one. You will find girls, many of them out there…
Dimmy: once again, I don’t live to find girls. I live to adjust with the one that I have. If you could not supply my demand, then screw with that! I am trying to supply what you demand. That is what matters.
Saya: it is unfair, Dimmy. Unfair for both of us. Harusnya ada keseimbangan yang adil.
Dimmy: you think it’s fair when you keep thinking I deserve better girl and I have to give up on you just because you can’t fulfill my demand?
Saya: (mengerutkan kening) then what is?
Dimmy: listen, now you shut up. Kita nggak akan bahas masalah ini, ANYMORE. I’m not giving you up and now let’s eat. Ini sambelnya, jangan banyak-banyak. Nanti pulangnya aku jemput, kita beli toilet papers sama obat pel dulu ya.

Tuesday 7 September 2010

let's move on!

Surat ini saya temukan di laci paling bawah sebuah rak buku using di kamar saya. Rak buku mini ini memang terletak di sudut kamar lama saya, dan secara tidak sengaja laci bawahnya tergeser saat saya mengangkat kardus pakaian bekas saya.

Timika, 20 April 1996

Dear Dimmy,
Aku baru saja memecahkan gelas kopi keramik yang aku cari susah payah di pasar jaya Timika. Gelas ini udah aku cat dengan warna ungu kesukaanmu dengan tulisan super keren “I am a faithful man” untuk perayaan tiga tahun jadian kita sekaligus peresmianku atas kamu yang kukira sudah berubah untuk lebih serius berkomitmen. Kalo kamu tanya kenapa aku pecahin, sama aja kamu tanya kenapa aku mutusin kamu. Same old reason, malam dimana gelas ini pecah adalah malam kesekian aku dapet laporan bahwa kamu nganter pulang Diana dan Holga ke kost-an mereka di persimpangan Freeport. Same old shit yang kamu anggep hal kecil dan aku anggep sebuah bentuk komitmen. Hal yang kamu bilang "someday I'll stop being too kind" dan aku terlalu naif untuk percaya akan hal itu.

Aku nggak pernah capek berargumentasi sama kamu tentang makna setia dan tentang bagaimana kesan orang terhadap hubungan kita. Kamu selalu bilang bahwa image itu penting, sekaligus kamu selalu tunjukkan image bahwa kamu adalah gentleman single yang bebas berterbangan anter perempuan sana sini tanpa peduli perasaan aku. Kamu tau, waktu aku bilang kamu boleh anter Utami, itu semata-mata karena aku tau perasaan kamu yang nggak enak sama bos kamu itu, ditambah alasan kamu untuk dapat bonus dari beliau supaya kita bisa pulang ke Medan dengan pesawat kelas bisnis. Aku terharu, mengerti dan coba menerima. Tapi setiap aku mau bahas perasaanku, kamu selalu bilang aku egois dan nggak bisa kompromi.

Sama halnya ketika aku kesal atau sedih, kamu gampang sekali merajuk dan akhirnya perkelahian kita hanya berakhir di atas ranjang dimana seulas senyum dapat menggantikan sehelai kain. Iya, setiap pagi dimana kamu buka matamu dan liat aku lagi menatap kamu, kamu akan selalu bilang antara “I can’t believe what I see every morning with you beside me” atau “I love you, with or without sex” atau “I wish I could see your smile each time I wake up in the morning”. Menyenangkan, karena aku tipikal perempuan bersahaja yang mudah lemah hatinya, tapi, kamu tetap memanggil aku “hardheaded dan uncompromised hot girlfriend on earth” dan tentu saja amazement yang selalu bikin aku rindu disayang sama kamu.

Malam dimana gelas ini pecah, aku memutuskan untuk nggak meneruskan apa yang aku yakini selama ini terhadap kamu. Aku kira tiga tahun bukan waktu yang sebentar, meskipun semua rekan kantormu bilang “baru tiga tahun bro! Jajaki dulu sampe lima tahun, biar keluar semua sifat aslinya”. Aku selalu inget senyum wise kamu tiap menanggapi ocehan mereka tentang hubungan kita. Malam dimana gelas ini pecah, aku terlalu cemburu sama Diana yang jelas-jelas menaruh harapan sama kamu akibat kebaikan kamu. Lalu kamu cuma melenguh kesal tiap aku bilang bahwa hal-hal seperti Diana ini bisa berakibat besar sama masa depan kita. Kamu selalu balas dengan “satu orang macam Diana nggak akan ngaruh, sayang. I love you anyway.”

Seperti yang kamu mungkin ingat, aku cuma diam dan masuk kamar tanpa komentar. Bukan capek debat sama kamu, tap dada ini terlalu sesak meyakinkan bahwa bahkan setengah Diana pun tetap bikin aku cemburu, sebuah perasaan yang kalo kamu tau, rasanya sebenernya lebih sakit daripada kamu inget bagaimana kita berdua berkisah tentang keyatimpiatuan kita sejak muda. Rasa cemburu yang nggak kamu ngerti, khawatir yang selalu kamu anulir, dan harapan yang hancurnya nggak akan kamu teliti. Dan aku, selalu tahan, karena bagaimanapun, aku selalu tau, kamu sayang aku. Dan sayangmu itu, nggak terukur dengan belasan perempuan yang harus kamu antar pulang.

Dimmy, sudah saatnya kamu bergerak, atau kalau kamu mau; sedikit mengingat. Dua minggu sebelum malam ini, kamu diramalkan akan menyesal oleh seorang rekan kantormu yang mau pensiun itu, aku lupa namanya, Edwin bukan? Whatever, the point is, mungkin bukan kamu yang menyesal, mungkin aku. Menyesal for not giving any second chance for you and for myself. Tapi siapa peduli? kamu akan baik-baik aja toh, dengan atau tanpa aku. Take care, you.

Aku, bukan siapa-siapa


Tiana

Sudah dua tahun saat saya pertama kali baca surat ini, saya mengernyitkan dahi dan melipat surat itu untuk dimasukkan kembali ke amplopnya. Saya kembali mengangkat kardus pakaian dan menggumam pada foto Tiana di balik selimut usang saya “kamu salah kalo kamu kira aku menyesal atas kehilangan kamu. Aku sukses sekarang, rasanya bahkan kalo aku masih sama kamu, aku nggak akan sesukses sekarang. Aku sih nggak doain kamu nggak sukses, tapi aku tau, aku nggak akan kenapa-kenapa tanpamu”. Saya kemudian keluar dari rumah saya untuk yang ke sekian kalinya, memindahkan sendiri barang-barang saya untuk dibawa ke rumah baru saya, yang lebih besar dan lebih nyaman dari rumah saya dan Tiana ini.

Sudah dua tahun saya tinggal disini tanpa Tiana. Sepi memang, tapi sungguh, saya tidak menyesal. Tiana memang terlalu angkuh dan egois untuk bertahan bersama saya. Bukan salah siapa-siapa, saya hanya merasa selama ini dia banyak menuntut dan tidak sabaran dalam menghadapi saya.

Monday 6 September 2010

Wake Me Up When September Ends

Lebaran selalu memberikan kesan tersendiri di hati dan hari saya. mudik, bingkisan lebaran yang harus dirangkai dan diantar, kartu yang harus distempel dan dikirim ke relasi dan beberapa teman. Termasuk janji makan malam, buka bersama dan reuni bersama geng-geng yang pernah saya cumbui. Termasuk juga sahur demi sahur yang sedap dan perkumpulan keluarga yang makin kesini makin sepi. setiap orang duduk di kursinya masing-masing, namun hati dan pikiran mereka seperti melayang, pergi menjauh dari sarang yang disebut "keluarga".

Tahun ini keluhan saya pada Tuhan lebih banyak, selain persediaan energi yang dimakan usia, waktu dan jarak nampaknya jadi satu, no, I mean dua hal yang harus saya adjust gila-gilaan. Yah, tentu saja financial recovery adalah topik utama yang selalu bisa jadi nomer dua tujuan perbaikan ibadah. Dan lebaran tahun ini saya semakin careless dengan diary dan buku tabungan. Mungkin memang saya paling cocok hidup berantakan tanpa aturan.

Dan lebaran tahun ini, saya meraih dua pencapaian; sarjana dan karyawan salah satu TV swasta. Menyenangkan ya, kedengarannnya? Saya sendiri tersenyum kecut. Bukan karena tidak senang, ini lebih kepada pilihan hidup dan fase yang menantang sekaligus membuat saya mengernyitkan dahi lebih intens dari biasanya. Lalu setelah dua itu, apa lagi achievement saya? Kita lihat nanti ya.

Rasanya inigin rebonding dengan teman-teman SMA saya dimana kami tidak perlu gusar kecuali saat membahas UAN dan universitas incaran. Ah, tentu saja gusar jika kakak kelas yang kami taksir sedang main ke sekolah atau saat ada acara yang harus kami panitia-i. Masa SMA memang selalu begitu, menyenangkan dan melalukan.

Setiap menghela nafas, ada yang selalu protes dan bertanya :"kenapa sih kamu?" seru ya punya significant other yang selalu aware dan sensible tentang apapun dalam diri saya. selalu menyenangkan bahkan ketika kami sedang beradu argumen tentang hal-hal yang kurang begitu bermanfaat bagi nusa dan bangsa. Menyenangkan sekali berbagi tawa dengannya, dengan orang semacam dia. *staring*

Ah, masih ada pekerjaan rumah berupa terusan cerita Hearty dan Senseless, entah masih ada yang baca atau tidak. Namun saya selalu tau, Babang selalu menunggu cerita itu diteruskan. Dia bahkan berimajinasi untuk memfilmkan cerita sampah yang abstrak itu. *LOL* jadu mau peluuuk babaaang :D

Sudah ya, saya mau mengulas senyum dan kembali mengerjakan parcel yang belum terbungkus semua sedangkan lebaran sudah H-4 dan saya harus pula mengantar bingkisan-bingkisan tersebut ke alamat yang dituju. Jangan ditanaya kemana, karena mama saya bisa nangis kalo tau saya mengantar parcel sampai ke luar kota. caw!

Thursday 2 September 2010

then it falls

Saat semuanya muncul ke permukaan, orang-orang akan segera lupa esensi dari suatu hal. Seolah apa yang telah muncul ke permukaan akan merepresentasikan apa yang terkandung di dalamnya. Lalu subjektivitas akan menjadi Tuhan yang membutakan logika dan perasaan. Bukan salah siapa-siapa, hanya saja tindakan antisipatif dalam memunculkan sesuatu adalah langkah yang representative juga yang mengakibatkan mata dan perhatian manusia teralih. Kesempurnaan pengalihan merupakan andil yang besar untuk menutupi semua atau sebagian dari esensi suatu hal. Tekniknya tentu saja ada. Salah satunya adalah menyiapkan sampul terbaik yang serupa atau sama sekali tak sama. Sedikit polesan dan oplosan dari campuran bahan lain akan menjadikan suatu hal menjadi sampul yang baik. Lalu lain caranya adalah dengan bermain dengan persepsi tujuan. Sedikit memanipulasi rekaman atau rekor di masa lalu bisa menutupi permukaan dalam dari suatu hal. Biasanya langkah ini dilakukan dengan mendekati target persepsi. Mudah atau tidaknya memang tidak pasti, namun tidak pernah tidak bias.




Otak manusia yang bekerja cepat mengakibatkan permukaan buatan itu harus dibuat lebih cepat, masalah kualitas, adalah sepenuhnya peran dari efek dan faktor pendukung terlihatnya permukaan tersebut. Masalah hasil dan tanggapan, adalah dua hal di kemudian hari yang terkonjugasi dengan berbagai hal pengaruh lainnya dari sisi permukaan dan dari sisi target persepsi.




Semua yang muncul ke permukaan adalah jalan setengah sampai pelihat menemukan esensi yang mereka anggap betul. Asumsi lalu berubah jadi asas yang diyakini dan ditindaklanjuti oleh setiap individu. Satu yang selalu terjadi dan tidak dapat dipungkiri: setiap jiwa dan logika akan terbutakan dengan mudah melalui apa yang diperlihatkan dipermukaan.

Wednesday 1 September 2010

saat siang saat santai

Satu satunya tetangga saya di deretan kontrakan ini ada yang merupakan pasutri beranak satu. Pak Gimin dan istrinya Bu Tini. Mereka beranak putri usia 6 tahun bernama Diana. Pak Gimin adalah supir pabrik yang berlokasi beberapa ratus meter dari tempat kami mengontrak. Istrinya adalah pembantu rumah tangga di tempat pemilik pabrik dimana Pak Gimin bekerja. Mereka sudah menikah selama delapan tahun dan ingin anak kedua setelah Diana genap berusia lima tahun. Satu tahun sudah mereka menanti kehamilan kedua dari rahim Bu Tini.


Sekali saya dengar Bu Tini cerita tentang kegugurannya saat Diana berusia tiga tahun. Namun mereka tidak putus asa, karena mereka yakin, akan ada jabang bayi berikutnya dalam rumah tangga mereka. Bicara soal rumah tangga, tempat tinggal kami adalah kotak kotak berukuran dua kali dua meter tanpa kamar mandi. Sulit buat saya yang tinggal jauh dari orang tua saya, namun ternyata lebih sulit lagi bagi mereka yang sudah berumah tangga. Satu petak kamar disekat menjadi dapur mini dan ruang tidur untuk ukuran keluarga Pak Gimin, sungguh miris buat saya. Mereka harus mengalokasikan spasi ruang untuk ranjang mini bertiga, rak buku dan baju serta televisi dan meja mungil dalam petak tersebut.


Jangan bandingkan dengan saya, yang hanya harus menampung dua rak buku dan beberapa kardus pakaian untuk kuliah. Pak Gimin bergaji Rp. 700,000 tiap bulannya dan uang makan mingguannya hanya mencapai Rp. 150,000. Istrinya bergaji Rp. 600,000 dengan uang makan mingguan sama seperti suaminya. Saya sendiri heran bagaimana mereka menyekolahkan Diana hingga ke bangku SD seperti sekarang dengan keadaan ekonomi seperti itu. Nampaknya harus benar-benar hemat dan hati-hati sekali dalam mengambil keputusan hidup di keluarga mereka.


Satu hal yang baru saya sadari belakangan ini tentang mereka. Tentang keputusan makan siang di rumah pakai lauk masakan istri, Pak Gimin ternyata bersiasat lain. Saya salut dengan pemikiran ini. Setiap istirahat siang, Pak Gimin SELALU pulang ke kontrakan, menemui istrinya, makan siang lalu kembali lagi ke pabrik. Minggu lalu saya memergoki kebiasaan ini terlihat aneh. Pak Gimin keluar kamar begrganti celana. Saya mengernyitkan dahi hingga mengetahui bahwa ternyata mereka bercinta setiap istirahat makan siang.


Logikanya masuk. Kalau malam hari mereka harus berbagi kasur dengan Diana, si putri cilik. Tentunya suara mereka bercinta akan terdengar, sepulas apapun Diana tidur. Akhirnya keputusan bercinta di siang hari diambil karena Diana sedang bersekolah dan rata-rata penghuni kontrakan juga sibuk bekerja. Kecuali mereka berdua yang setiap siang mendapat jeda cukup panjang untuk pulang ke kontrakan dan kembali ke tempat kerja dalam waktu singkat. Hebat! Mereka menyisihkan waktu dan tenaga untuk bercinta di siang hari di saat kepenatan, panas matahari, sisa energi dan jatah makan siang bergabung menjadi satu di dalam lambung. Hebat!

there are unexplainable things

yes, there are SO MANY unexplainable things.
funny, because I am usually the person who asks for any details in almost everything. I usually work out things that I am not necessarily have to. Funny, because I think of many ways to define many things. Some of those things may have more than one definition, according to the situational condition which I preferably think of. So subjective right? Well, this life is unfair, yet, it is fun.