Sunday 27 July 2014

Mudik Tahun Ini.

Hujan deras mengguyur pom bensin tempatku berteduh. Aku bangun dari tidurku yang hanya bersandar di kaca swalayan yang belum buka (atau mungkin tidak akan pernah buka karena dari semalam aku lihat tidak ada aktivitas apapun di dalamnya). Pukul 6 pagi, mendung membuat langit terlihat seperti pukul 5 dan sudah genap 12 jam aku menunggu pencerahan dari Tuhan tentang bagaimana caraku pulang. Dingin. Sendirian. Di sekelilingku para pemudik masih terlelap tidak memedulikan hujan, sebagian ada yang mengantri untuk cuci muka di kran air (bukan menggunakan air hujan), tidak lepas dari pandanganku seorang ibu yang mengaduk susu di botol untuk bayinya (menggunakan air termos, bukan air hujan). Motor dan mobil berserakan tidak teratur di pelataran parkir, dan petugas pengisi bahan bakar sudah berganti wajah dari shift semalam. Aku mengingat lagi kejadian semalam sambil menggosok-gosok kedua telapak tanganku yang basah kena hujan.



Pukul 21:00
"Permisi Om, saya baru ditinggal sama bus saya karena buang air besar tadi kelamaan. Tas sama HP saya ada di dalem bus itu. Boleh saya pinjem telpon untuk hubungi keluarga saya Om?" aku sudah meredakan panikku akibat tragedi teriak dan lari sore tadi mengejar bus yang jelas jelas di depan mataku meninggalkanku karena kurang cepat kembali bergabung bersama rombongan. Sekarang Bapak agak tua di hadapanku memandangiku iba dan ia menyerahkan ponselnya untuk kugunakan. Aku menghubungi Ibuku di rumah, tidak ada jawaban. Pasti sudah tidur, ini sudah larut menurut jam biologis Ibuku. Aku lalu menghubungi sahabatku di Jakarta, memintanya mengabari Ibuku pagi nanti kalau kalau aku masih tidak bisa ditemukan. Aku memberitahukan lokasiku seadanya, tanpa memberi tau bagaimana aku akan menyelesaikan masalah ini. Di akhir panggilan, kami berdua diam di ujung telepon masing-masing; bingung hendak apa dan bagaimana.

Pukul 23:40
"Mau mudik kemana mas?" seorang penjual mie instan akhirnya berhasil mengoyak perbekalanku yang tinggal 20 ribu untuk menyantap dagangannya. Sambil menyeduh air panas, ia berbasa basi menanyakan keadaanku. Setelah kuceritakan kisah malangku, ia menyodorkan segelas mie dan menawarkan membuatkan teh manis setelah aku sudah memesang sebotol air putih; membuat 20 ribuku semakin tipis mengingat harga mie tersebut sudah dua kali lipat dari yang ditawarkan di hari selain hari raya. Aku tidak menolak, toh dia berniat baik. Aku tidak menceritakan lebih detail lagi kejadian yang menimpaku, toh ia terlihat tidak bisa membantu dan tidak peduli sejauh itu. Jadi kuputuskan untuk menjalin hubungan antara pembeli dan penjual saja. Benar, ia pun beranjak meninggalkanku setelah gelas teh manisnya kukosongkan dan kukembalikan.

Pukul 01:30
Sebuah mobil patroli polisi parkir di beberapa langkah dari tempatku duduk, terbersit untuk menghampiri dan meminta bantuan. Lalu lenyap seketika mengingat isinya adalah seorang berbadant tegap bersama seorang wanita setengah baya menggendong balita disusul tiga anak lainnya dari jok penumpang di belakang. Polisi juga manusia, bisa mudik. Aku hanya menyayangkan pilihannya menggunakan mobil patroli yang seharusnya dipakai untuk bertugas melayani, mengayomi dan melindungi masyarakat. Umpatan berubah jadi uapan kantuk bagiku, segera aku cari posisi yang tidak menyakitkan untuk bersandar barang sejam dua jam hingga aku dapat ide harus apa.

Pukul 03:15
Sekitarku riuh ramai akan jeritan dan teriakan. Aku pikir kebakaran, maka aku panik bangkit dari tidurku yang hampir nyenyak. Aku terjaga selama beberapa menit, kantukku hilang setelah melihat minuman energi yang terpampang segar di kulkas dekat tempatku tidur, padahal tidak kubeli apalagi aku tenggak, tapi energiku seperti terisi kembali.Setelah kupelajari, ternyata tawuran antar penduduk di kampung belakang pom bensin tersebut.  "Ah, biasa itu warga sini suka ribut masalah perempuan lah, judi lah, gak jelas. Nanti juga bubar sendiri, jarang ada korban atau apa." Aku mencuri dengar petugas pom bensin berbicara pada pemudik di dekat toilet. Ake menghela nafas dan mencoba merasakan kantukku kembali.

Pukul 05:00
Kali ini alarm di arlojiku bergetar pelan membangunkanku untuk solat subuh. Segera aku langkahkan kakiku menuju musholla, tidak lupa diakhiri doa dan diam panjang setelah solat meminta petunjuk dan pencerahan dari Tuhan tentang nasibku yang tidak tertolong ini. Aku memutar otak mencoba menghubungi beberapa kerabat namun hanya mampu meninggalkan sebuah pesan singkat kepada Ibuku lagi tentang lokasiku. Sangat sulit mencari bantuan di tengah suasana mudik hari raya seperti ini. Jalanan dipenuhi keluarga kerepotan, keluarga terlalu bersemangat, dan barusan yang akhirnya meminjamkanku ponselnya adalah keluarga yang paranoid. Kuketahui tidak lama saat kukembalikan ponsel milik si gadis cantik, di layarnya adalah halaman berita belum ditutup tentang modus kejahatan pada saat mudik. Lagi lagi aku menghela napas penuh maklum atas kesinisan dan kecurigaannya dari awal.

Pukul 06:00
Aku tertidur sebentar tadi dan kini hujan melengkapi kedinginan dan kesendirianku. Anginnya lumayan kencang berhembus dan aku merasakan kemeja longgarku basah sedikit demi sedikit karena tempatkku berteduh tidak sepenuhnya melindungiku dari langit yang terus mencurahkan air. Aku memejamkan mata sambil berdiri bersandar, seluruh sendi di badanku sakit seperti baru saja berpartisipasi dalam tawuran dini hari tadi. Saat kubuka lagi mataku, aku lihat sebuah mobil memarkir di hadapanku persis. Keluar darinya sekelompok orang yang aku kenal. Tuhan! Apa ini mimpi? Aku lompat menerjang hujan memanggil (hampir berteriak) salah satu dari mereka "ALLE!!!"

Pukul 09:00
Setelah menghabiskan soto yang (akibat kelaparan dan kedinginan jad) nikmat di warung pinggir jalan raya, aku meminjam ponsel Alle, teman sekelasku di bangku kuliah dulu untuk mengabari Ibuku yang ternyata sudah panik dan menelpon polisi serta perusahaan penyedia perjalanan yang membawaku (dan meninggalkanku) dengan busnya. Aku beritahu ibu bahwa aku sudah berjumpa kawan kuliahku dan mereka bersedia mengantarku sampai ke kampung halaman. Tidak lupa memberikan nomer rekening Alle supaya Ibu bisa transfer uang ke rekeningnya dan aku cairkan untuk bekal hidupku tiga hari.



Perjalanan masih sekitar belasan jam lagi menilai dari panjangnya antrian mudik di hampir setiap kota yang kami masuki. Salah satu dari yang bermudik dengan Alle adalah Citra, sepupunya yang cantik dan jomblo. Tanpa menaruh harapan yang berlebihan (tapi tetap diusahakan) karena mengingat tampilanku yang hanya 10% dari ketampananku yang sesungguhnya, aku mengajak Citra ngobrol, paling sering tentang Alle semasa kuliah. Allan, adiknya Alle seperti merasakan upayaku menarik perhatian Citra malah membuyarkan semua usahaku dengan membuka aibku semasa kuliah dan sering menginap di rumah mereka. Citra hanya tertawa renyah (dan cantik) di setiap wajah tersipuku. Istri Alle, Nadia, terlihat sangat bijak dan dewasa. Meskipun pengantin baru, Alle dan Nadia terlihat sangat kalem dan menghadapi kekonyolan Allan dengan sangat keren. Aku beralih menanyakan kisah mereka karena sudah lama sekali tidak berjumpa dengan Alle.

"Kami ketemu mudik taun lalu! Soalnya kampung Mamanya Alle sekampung sama Mamaku. Malah katanya mereka sempet sekolah bareng waktu kecil" Nadia bercerita singkat kisah indah mereka
"Bohong! Kita dijodohin tau! Mereka sok sok ketemu padahal emang udah merencakanan untuk menjodohkan kita dari kecil!" kelakar Alle membuat seisi mobil tertawa lepas dan aku sedikit demi sedikit sembuh dari trauma dan lelahku semalaman.

Selesai melewati total tujuh jam dan rotasi menyetir hingga tiga kali antara aku (di daerah kampung karena takut razia polisi), Allan dan Alle, akhirnya kami sampai di kampung halamanku. Mereka duduk sebentar dan mengobrol dengan kakekku yang meskipun tua masih segar sambil menikmati jahe hangat di sore hari sehabis hujan panjang. Kakek berterima kasih pada mereka dan membawakan mereka bekal khas dari kampungku. Yang tidak kusangka adalah, di balik struk pembelian bensin mobil Alle, Citra menuiskan nomer teleponnya dan menyerahkannya padaku sambil berkata "kalo udah baikan dan punya hp lagi, telpon aku ya" diiringi senyuman super cantik mengalahkan kecantikan mantan pacarku yang meninggalkanku demi pria lain. Aku membalas tersenyum tanpa mengontrol merahnya wajahku karena malu bercampur senang.