Thursday 6 October 2022

Bekas Luka Perceraian

 Di sela makan malam, Anita dan Afrizal, sepasang suami istri yang baru saja menikah, memulai sebuah obrolan hati ke hati.

"Honey, gimana rasanya menikah dengan orang yang mudah ditindas seperti aku?" Anita tanpa aba-aba dan konteks mendadak menanyakan hal tentang kelemahannya. Afrizal mengernyitkan dahi dan menatap istrinya dengan bingung, "Memang iya kamu mudah ditindas? Kenapa kamu pikir aku akan menindas kamu?" Afrizal bukan tidak mau menjawab pertanyaan absurd istrinya, tapi ia sepenuhnya bingung dengan pertanyaan tersebut. Pertanyaan baliknya tidak direspon. Dihitungnya hingga 3 suapan masing-masing mereka terhadap makanan dan tetap tidak ada jawaban.


Hingga suapan ke-empat, Anita baru meminum sedikit air putih untuk mengosongkan kerongkongan dan memastikan suaranya terdengar jelas oleh suaminya.

"Selepas perceraianku kemarin, aku merasa jadi orang yang paling lemah sedunia. Mungkin lebay ya? Tapi itulah yang kurasa, sepertinya mudah dan enak menikah dengan orang lemah yang tidak pernah marah sepertiku" Anita menahan suaranya, ia tau kalimat berikutnya akan berantakan karena emosinya telah menguasai pikirannya.

"Kata siapa menikah denganmu itu mudah? Kamu tau kan, hal mudah itu tidak menantang untukku. Kamu tau, hal yang tersulit dari menikahimu adalah meyakinkan diriku sendiri bahwa aku sanggup membantumu berjalan lagi dan menerima bahwa hidup ternyata tidak berakhir bersamaan dengan ikatan pernikahan pertamamu? Aku juga berjuang melawan diriku sendiri untuk membuktikan bahwa aku bisa. You see, it's not only about you, it's also about me. It's about us" Afrizal menjawab istrinya dengan filosofis sambil berharap Anita paham ucapannya dan mengerti maksudnya.


Sepasang makhluk egois tersebut melanjutkan makan malam tanpa sepatah katapun. Afrizal yang terakhir menutup pembicaraan dan Anita enggan membalasnya. Berlalulah malam hingga menuju fajar. Anita belum semenitpun menikmati tidurnya. Dilihatnya terus jam dinding di kamar mereka dan punggungnya bertatapan dengan punggung Afrizal. Tepat jam 5 pagi, ia bangun dan meninggalkan kamar tanpa suara.


Anita menuju teras rumahnya dengan secangkir teh hitam tanpa gula, menghirup nafas dalam sambil meluruskan kakinya di sofa teras nyaman tersebut. Tak lama hingga tehnya menyentuh setengah cangkir, Afrizal muncul dari dalam memakai selembar selimut tebal dan berbaring di sisi istrinya sambil memeluk pahanya. Anita spontan meletakkan gelas dan menyambut sang suami dengan hangat sambil melebarkan selimut ke kakinya juga.


Mereka masih terhening. Tarikan dan buangan nafas mereka berbarengan diiringi oleh kicauan burung dari kejauhan. Mata mereka menatap kosong ke sudut berbeda, namun tangan dan kaki mereka saling merangkul dan menghangatkan.

Tak lama gerimis turun membasahi lahan rumput hijau luas di hadapan mereka. Lalu Anita berkata,"Maaf jika aku masih begitu egois dan terlau fokus terhadap lukaku sendiri. Mungkin aku perlu waktu lagi untuk belajar menerima dan melanjutkan hidup bersama kamu."


Afrizal tidak menjawab panjang, ia hanya bilang, "Ya sama-sama, memang itu kan artinya hubungan; saling belajar dan menerima"


---

No comments:

Post a Comment