Di balik kaca jendela bus, aku melihat bukan hanya jalanan, tapi juga bayangan diriku sendiri — perempuan dengan banyak peran dan warna. Ada hari-hari di mana aku merasa seperti tokoh utama yang kuat. Tapi jauh lebih sering, aku merasa seperti pemeran figuran dalam hidupku sendiri — sibuk memenuhi kebutuhan semua orang, sampai lupa bertanya: “Apa kabarmu hari ini, wahai diriku?” Perempuan sering kali diharapkan jadi segalanya. Ibu yang lembut, istri yang sabar, anak yang berbakti, pekerja yang profesional, guru yang inspiratif, sahabat yang bisa diandalkan. Di antara semua itu, ada tumpukan cucian, tugas anak sekolah, deadline kerjaan, dan tangisan tengah malam. Rasanya seperti nonton pertunjukan sirkus — tapi akulah si pemain akrobat yang berjalan di tali sambil juggling piring, mencoba seimbang tanpa jatuh. Overwhelmed? Tentu. Tapi anehnya, aku juga bersyukur. Karena di balik lelahnya banyak peran, ada cinta yang menguatkan. Ada doa yang tak terdengar. Dan ada kekuat...
— And Why You Should Care About How It’s Stored and Shared Yesterday, I caught up with an old friend over coffee — someone I deeply admire for her work in the field of marketing and communication consultancy. She’s currently handling a crisis case involving a public figure whose academic credentials are being questioned. But the twist is: her client isn’t the public figure — it’s the institution that's now under scrutiny. People are asking: “Is it true this person graduated from your university?” - What makes it tough, she told me, is the absence of a reliable digital trail. “Back then,” she said, “the graduation records were still paper-based. There were no standardised digital archives, no traces and solid online proof of verified diplomas, no university portal like the ones we see today.” In short, the institution can’t provide a verifiable digital proof, even though the person may well have graduated legitimately. And now, they’re paying the price in credibility. That conversa...
Kemarin malam, a friend of mine bercerita — mobilnya nabrak trotoar ditengah hujan deras setelah menghindari pengendara motor. Bukan di jalan sepi, melainkan di jalan padat , dimana semua mobil honking, lampu rem menyala-nyala, dan hujan seolah mempercepat detik-detiknya menjadi semakin panjang. She felt panik. Rasa takut bukan karena hujannya saja, tapi karena kerumunan, karena car horn yang tak berhenti, karena perasaan “I’m stuck, what do I do now?" Winda. The strong girl I admire. Setelah mencoba memanggil towing service, dialing, arguing, dan gak ada yang mau bantu dia. Dia merasa hopeless. Until, tiba-tiba, beberapa strangers muncul. They came over. They didn’t look past her with judgment, they just stopped. They helped her checked the car, they bantu bereskan yang mengganggu jalannya mobil, all while soaking wet, tanpa pamrih. When they're done they just let her go, even the asked her to go karena jalanan udah semakin macet banget perkara mobilnya itu. Mereka pergi be...
Comments
Post a Comment