Every day I'm so tired of being an adult and worrying over many things. Adulting is really really exhausting & it makes me wonder when this is all going to end.
Di balik kaca jendela bus, aku melihat bukan hanya jalanan, tapi juga bayangan diriku sendiri — perempuan dengan banyak peran dan warna. Ada hari-hari di mana aku merasa seperti tokoh utama yang kuat. Tapi jauh lebih sering, aku merasa seperti pemeran figuran dalam hidupku sendiri — sibuk memenuhi kebutuhan semua orang, sampai lupa bertanya: “Apa kabarmu hari ini, wahai diriku?” Perempuan sering kali diharapkan jadi segalanya. Ibu yang lembut, istri yang sabar, anak yang berbakti, pekerja yang profesional, guru yang inspiratif, sahabat yang bisa diandalkan. Di antara semua itu, ada tumpukan cucian, tugas anak sekolah, deadline kerjaan, dan tangisan tengah malam. Rasanya seperti nonton pertunjukan sirkus — tapi akulah si pemain akrobat yang berjalan di tali sambil juggling piring, mencoba seimbang tanpa jatuh. Overwhelmed? Tentu. Tapi anehnya, aku juga bersyukur. Karena di balik lelahnya banyak peran, ada cinta yang menguatkan. Ada doa yang tak terdengar. Dan ada kekuat...
Pernah nggak sih, kamu lagi sibuk banget—entah itu kerjaan numpuk, anak-anak ribut, hati lagi nggak karuan—tiba-tiba terdengar suara azan? Dan entah kenapa, dadamu terasa seperti ditarik… pelan, lembut, tapi dalam. Itulah azan. Panggilan mesra dari Allah. Seruan cinta dari langit untuk hati yang sering lelah. Azan itu bukan sekadar tanda waktu salat. Lebih dari itu, ia adalah surat cinta lima kali sehari dari Tuhan yang nggak pernah lelah menunggu kita pulang. Di saat semua hal duniawi membuat kita lupa arah, Allah dengan sabar mengirim azan—mengundang kita kembali ke pangkuan-Nya. “ Hayya ‘ala ash-shalah…” Mari, datang ke shalat. Bukankah itu terdengar seperti, “ Ayo, sini… istirahat dulu. Ceritakan semuanya pada-Ku.”? Dan saat kita dengar: “ Hayya ‘ala al-falah…” Kita diingatkan bahwa kemenangan, kebahagiaan sejati, bukan di notifikasi media sosial atau gaji bulanan. Tapi di sujud yang sunyi, di air mata yang jatuh di sajadah. Bahkan setan pun takut saat azan berkumandang...
— And Why You Should Care About How It’s Stored and Shared Yesterday, I caught up with an old friend over coffee — someone I deeply admire for her work in the field of marketing and communication consultancy. She’s currently handling a crisis case involving a public figure whose academic credentials are being questioned. But the twist is: her client isn’t the public figure — it’s the institution that's now under scrutiny. People are asking: “Is it true this person graduated from your university?” - What makes it tough, she told me, is the absence of a reliable digital trail. “Back then,” she said, “the graduation records were still paper-based. There were no standardised digital archives, no traces and solid online proof of verified diplomas, no university portal like the ones we see today.” In short, the institution can’t provide a verifiable digital proof, even though the person may well have graduated legitimately. And now, they’re paying the price in credibility. That conversa...
Comments
Post a Comment