Ngobrol Sama Malam


Malam selalu datang dengan cara yang sama: pelan, diam, tapi menekan.
Lampu-lampu menyala, suara mulai mengecil, dan dunia seperti memberi ruang—bukan untuk istirahat, tapi untuk merasa.

Aku sering ngobrol sama malam.
Bukan karena kesepian ingin ditemani, tapi karena malam satu-satunya waktu di mana aku boleh jujur tanpa harus kuat.

Tentang rindu.
Rindu yang aneh.
Bukan rindu yang bisa dituntaskan dengan pesan singkat, atau pertemuan singkat.
Rindu yang bahkan kalau ditanya, “kangen sejauh apa?”
aku nggak punya satuan ukur yang pantas.

Ada rindu yang harus disimpan.
Bukan karena tak ingin, tapi karena tak bisa.
Bukan karena tak berani, tapi karena tak ada jalan yang benar untuk menujunya.

Malam mendengarkan semuanya tanpa menghakimi.
Ia tahu, ada rasa yang kalau dipaksa keluar justru akan merusak banyak hal.
Ia paham, bahwa tidak semua rindu perlu dicari ujungnya.
Sebagian cukup diakui keberadaannya, lalu dipeluk dalam diam.

Kadang aku bertanya ke malam:
“Kalau rindu ini aku biarkan saja, apa nanti akan habis sendiri?”

Malam tidak menjawab.
Ia hanya membuat dadaku terasa lebih penuh—
seolah ingin bilang,
beberapa rindu memang tidak untuk diselesaikan, hanya untuk diterima.

Sedihnya bukan karena kehilangan.
Tapi karena tahu:
ada yang terasa dekat di hati,
namun tetap jauh di kenyataan.

Malam mengajarkanku satu hal yang berat tapi jujur:
tidak semua perasaan harus punya akhir bahagia.
Sebagian cukup menjadi bagian dari siapa kita hari ini—
lebih sunyi, lebih dewasa, lebih hati-hati.

Dan saat malam semakin larut,
aku menutup obrolan ini tanpa kesimpulan.
Karena rindu yang tak bisa dituntaskan
memang tidak datang untuk dijelaskan.

Ia datang
untuk dirasakan.

Comments

Popular posts from this blog

Renungan Transjakarta Sore Ini

Why Making Everything Digital Is Important

Romantisme Allah Lewat Azan: Panggilan Mesra dari Langit