Posts

Ayo Menangis Bersamaku

Image
Kenangan Masa Kecil yang Menikam Kembali Aku teringat satu momen saat SD dulu. Seorang teman bertanya, “Kalau besar nanti mau jadi apa?” Dengan polos aku menjawab, “Aku mau jadi guru.” Spontan ia menjawab, “Ih kok mau jadi guru? Kan guru gajinya kecil.” Waktu itu aku menganggap dia terlalu materialistis. Naif, pikirku, karena menganggap impian jadi guru hanya sebatas angka rupiah. Tapi hari ini, ucapan polos anak 12 tahun itu kembali mengetuk benakku. Kali ini, dengan dimensi yang berbeda. Dengan perih yang nyata. Hari ini aku kehilangan nafsu makan. Aku hanya ingin menangis. Bukan karena persoalan pribadi, tapi karena kabar yang kembali menyeruak: nasib guru honorer di negeri ini masih begitu getir. Sebagai seorang dosen, aku merasa malu. Malu pada diriku sendiri, malu pada bangsa yang seolah menutup mata. Bagaimana mungkin orang-orang yang kita titipi masa depan anak-anak, orang-orang yang menjaga api pengetahuan, justru menerima imbalan yang bahkan tak layak disebut seba...

another night of being a mother

Image
Malam ini, di tengah gelap kamar yang hanya diterangi lampu tidur kecil, aku memutuskan untuk bercerita tentang hubungan ayah dan anak. Ceritanya sederhana, tapi aku sengaja membungkusnya dengan sedikit drama. Ada dialog lirih, jeda yang pas, dan suara yang nyaris bergetar. Hasilnya? Mata mereka mulai berkaca-kaca. Bahkan sebelum cerita selesai, ada yang sudah menyeka pipi. Tapi di sela haru itu, aku selipkan humor kecil — satu kalimat lucu yang membuat mereka tersenyum di antara air mata, tau kan betapa lucunya aku? Itulah seni melatih rasa. Bagi anak-anak, rasa sedih bukan sekadar tentang kehilangan atau air mata. Rasa sedih juga bisa menjadi ruang untuk belajar empati, mengenali kehalusan hati, dan memahami bahwa perasaan datang dalam warna yang berlapis-lapis — bukan hitam putih. Menjadi ibu ternyata juga berarti menjadi sutradara emosi. Aku belajar untuk mengulas ulang perasaanku sendiri, lalu menyalurkannya kepada mereka lewat medium apapun — cerita sebelum tidur, obrolan ringan ...

Rasa Takut yang Begitu Indah

Image
Ada rasa takut yang membuatmu lari. Tapi ada pula rasa takut... yang justru membuatmu kembali. Malam itu hening. Angin menyusup di sela jendela kamar. Lampu redup. Dan di layar ponselku, suara tilawah Al-Qur’an menyusup perlahan ke dalam hatiku. Lalu aku menangis. Bukan karena hidupku sedang berantakan. Bukan karena aku sedang kehilangan siapa-siapa. Tapi karena untuk pertama kalinya, aku sadar: Aku akan mati. Dan setelah itu, semuanya dimulai .  "فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ..." “Barangsiapa yang diberikan kitab catatannya dengan tangan kanannya...” (Qur’an 69:19) Ayat itu tidak menyeramkan. Tapi aku menggigil. Kenapa? Karena di antara segala rasa takut yang pernah aku alami dalam hidup ini — gagal ujian, kehilangan kerja, ditinggalkan manusia — semuanya menjadi kecil di hadapan rasa takut akan hisab. Bukan hanya karena takut masuk neraka. Tapi takut... berdiri di hadapan-Nya, dalam keadaan hina. Takut saat amalku ditimbang dan bumi bersaksi atas s...

Menyalakan Obor Nostalgia

Image
Iya, OBOR. Bukan cuma api biasa. Obor itu edisi api gede yang dwifungsi - memperindah atau menghanguskan. Ini catatan weekend ku yang rollercoaster. Siap? --- Awalnya cuma iseng. Gue nyalain lagi grup WhatsApp SMA yang udah lama sepi. Grup ini isinya temen-temen satu angkatan, plus beberapa adik kelas dan senior—termasuk dua orang mantan gue (yes, dua 😅). Bukan, bukan karena pengen balikan. Gak ada unfinished business, gak ada perasaan yang bersisa. Gue cuma... pengen bernostalgia. Pengen ngobrol seru lagi kayak dulu. Kadang kita tuh kangen masa-masa lugu dan polos, ketawa karena hal sepele, atau bahas momen-momen absurd pas SMA. Dan ternyata, berhasil. Grup mulai hidup. Satu dua orang mulai nimbrung. Obrolan ngalir ke arah yang menyenangkan—tentang siapa yang masih sering ketemu siapa, tentang guru yang dulu killer sekarang jadi pejabat negara, sampai soal siapa yang dulu sering kena hukuman atau ikut organisasi. Gue ikut nimbrung juga dong. Ikut mention temen-temen, termasuk satu ...

Kelas Realita, Cinta dan Anak Bahasa

Image
Tadi siang gue baru aja balik ke SMA gue. Bukan cuma sekadar nongkrong atau nostalgia, tapi kali ini gue diundang jadi pembicara di acara OSIS & MPK. Dan jujur, sih, rasanya campur aduk. Gila, gue yang dulu cuma anak polos kelas X yang bingung mau ngapain, sekarang bisa berdiri di depan adik-adik kelas yang lagi penuh semangat dan ambisi. Begitu gue masuk ke area sekolah, gue langsung disambut sama banyak tempat yang penuh cerita. Pemandangan ini bener-bener ngingetin gue betapa banyak yang udah gue lewatin di sini. Dulu gue merasa canggung, bingung, bahkan kadang merasa gak percaya diri. Tapi ternyata, semua itu berawal dari momen-momen yang ada di sekolah ini. 1. Kelas X: Dari Kelas yang Gelap ke Panggung Kehidupan Kelas gue dulu berada di sudut gedung yang agak jauh, jadi jarang kena sinar matahari. Tapi entah kenapa, di ruang itu banyak banget momen yang akhirnya bikin gue mulai belajar lebih banyak tentang diri gue sendiri. Waktu itu, gue masih belum tahu apa yang harus dilaku...

TEMENIN AKU YUK!

Image
 Berikut ini LIMA alasan dasar kenapa ikut kajian itu tetap penting buat kamu—iya, kamu —meskipun: cuma bisa datang sekali-sekali , niatnya masih naik turun , dan ilmu agama kamu masih terasa “culun” dibanding yang lain. ---- Ini catatan pribadiku, kamu sih mungkin beda perspektif ya. Tapi boleh dong kamu baca dulu pendapat dan pengalamanku (sok-sok) ikut kajian :) ---- 1. Karena hidayah itu harus dijemput, bukan ditunggu Kadang kita mikir, “Aku belum pantes, masih banyak dosa.” Tapi justru dengan datang ke tempat yang baik, kamu sedang membuka pintu buat hidayah masuk. Bukan soal seberapa alim kamu sekarang, tapi seberapa mau kamu mendekat. Allah itu Maha Menuntun, asal kamu bergerak walau satu langkah. "Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim) 2. Lingkungan itu ngaruh banget Kita nggak bisa terus-terusan berharap iman kita stabil kalau lingkungannya isinya cuma hiburan, gosip, dan scroll...

Renungan Transjakarta Sore Ini

Image
Di balik kaca jendela bus, aku melihat bukan hanya jalanan, tapi juga bayangan diriku sendiri — perempuan dengan banyak peran dan warna. Ada hari-hari di mana aku merasa seperti tokoh utama yang kuat. Tapi jauh lebih sering, aku merasa seperti pemeran figuran dalam hidupku sendiri — sibuk memenuhi kebutuhan semua orang, sampai lupa bertanya:  “Apa kabarmu hari ini, wahai diriku?” Perempuan sering kali diharapkan jadi segalanya. Ibu yang lembut, istri yang sabar, anak yang berbakti, pekerja yang profesional, guru yang inspiratif, sahabat yang bisa diandalkan. Di antara semua itu, ada tumpukan cucian, tugas anak sekolah, deadline kerjaan, dan tangisan tengah malam. Rasanya seperti nonton pertunjukan sirkus — tapi akulah si pemain akrobat yang berjalan di tali sambil juggling piring, mencoba seimbang tanpa jatuh. Overwhelmed? Tentu. Tapi anehnya, aku juga bersyukur. Karena di balik lelahnya banyak peran, ada cinta yang menguatkan. Ada doa yang tak terdengar. Dan ada kekuat...