Ayo Menangis Bersamaku
Kenangan Masa Kecil yang Menikam Kembali Aku teringat satu momen saat SD dulu. Seorang teman bertanya, “Kalau besar nanti mau jadi apa?” Dengan polos aku menjawab, “Aku mau jadi guru.” Spontan ia menjawab, “Ih kok mau jadi guru? Kan guru gajinya kecil.” Waktu itu aku menganggap dia terlalu materialistis. Naif, pikirku, karena menganggap impian jadi guru hanya sebatas angka rupiah. Tapi hari ini, ucapan polos anak 12 tahun itu kembali mengetuk benakku. Kali ini, dengan dimensi yang berbeda. Dengan perih yang nyata. Hari ini aku kehilangan nafsu makan. Aku hanya ingin menangis. Bukan karena persoalan pribadi, tapi karena kabar yang kembali menyeruak: nasib guru honorer di negeri ini masih begitu getir. Sebagai seorang dosen, aku merasa malu. Malu pada diriku sendiri, malu pada bangsa yang seolah menutup mata. Bagaimana mungkin orang-orang yang kita titipi masa depan anak-anak, orang-orang yang menjaga api pengetahuan, justru menerima imbalan yang bahkan tak layak disebut seba...