Wednesday 16 February 2011

be(a)st-friend

Saya baru kembali dari rumah sakit bersalin dimana sahabat saya Angel baru saja melahirkan anak keduanya. Bayinya sehat dan Angel terlihat baik-baik saja dengan Kirun, suaminya. Kami kenal sudah lama, sejak masa kuliah. Saya tau persis Angel adalah tipikal perempuan believer yang selalu terlihat tegar dan sabar. Saya ingat persis kata-katanya saat malam resepsi pernikahan mereka lima tahun lalu.





“Gua udah capek dengan semua target duniawi ini, Lang. Udah saatnya gua mulai fase baru, sebagai istri, sebagai calon ibu, sebagai ibu. Gua jujur nggak yakin sama Kirun waktu kami mulai pacaran. Baru yakin ya setelah kami tunangan, kalo dia serius dan mau konsekuen nikahin gua. Gua sadar akan melewatkan banyak pesta dan senang-senang lagi sama lo dan yang lain, gua sadar gua akan punya kesibukan baru, tapi yang gua yakin, peran baru gua ini pasti adalah pembelajaran baru lagi tentang hidup. Kita udah banyak share soal keluarga ya, orangtualo, adik gua, mimpi kita tentang masa depan. Gua inget itu semua, Lang, dan gua nggak menjadikan itu bahan trauma untuk nggak nikah dan terus seneng-seneng” waktu itu Angel berhenti cukup lama, seperti memilah milih kalimat yang tepat sebelum melanjutkan "gua tau mungkin nanti gua akan mengalami apa yang selama ini kita takutkan dalam berumah tangga, ribut, cerai, poligami, atau bahagia. Itu hal-hal yang belum pernah gua rasakan selama ini, selama sama kalian, sahabat-sahabat gua. Gua harus berani dan harus siap buat itu semua, karena hidup gua nggak akan lengkap tanpa gua lewatin fase ini. Fase jadi seorang ibu yang ngurus anak, yang masak untuk suami, beres-beres rumah dan belajar benahin diri sebagai istri. Gua excited kok, kalo lo khawatir sama gua, maka gua akan buktikan kekhawatiranlo itu nggak beralasan, Lang. satu hal yang lo harus inget: kalo lo mencoba sesuatu, lo MUNGKIN akan gagal, mungkin akan berhasil. Tapi kalo lo NGGAK NYOBA sama sekali, lo NGGAK AKAN PERNAH berhasil. Kita harus terus belajar, Lang, dari berbagai hal dan pilihan yang kita ambil. I love you, all, buddies. Gua akan baik-baik saja dalam pernikahan ini.”







Sekarang saya bersiap menuju ulang tahun seorang sahabat lainnya, Raka. Sama seperti persahabatan dengan Angel, Raka adalah yang paling mudah bergaul dan pikirannya sangat terbuka. Saya senang ngobrol panjang dengan Raka karena kami seperti punya satu visi. Ketika Angel memutuskan untuk menikah, saya dan Raka adalah seksi yang paling sibuk, karena kami ingin pesta terbaik untuk sahabat kami, Angel. Saya nggak nyangka kalo obrolan di ulang tahun ke-30 nya ini, Raka akan ngomong soal yang bikin saya lumayan tercengang.



“Kita udah spent banyak banget tahun di Belanda dan Swiss, lo sekarang jadi manager hotel dan gua adalah supervisor di perusahaan besar. Lo tau kan betapa kita udah sukses, Lang, dan lo pasti tau ini bukan easy achievement. We have been through so much struggling moments out there and we’re sticking together. Sekarang lo bahas hubungan gua sama Raja dan menurut gua: kami baik-baik aja begini. Mengejutkan ya kalo lo tau kami udah setaun lebih pacaran? Yeaa, I have never been this consistent about relationship, yet jangan lo yakin gua akan serius sama Raja seperti Kirun sama Angel. No no no, gua bukan tipe pemimpi seperti itu, oops, atau justru gua terlalu bermimpi untuk hidup ideal?”



Saya sedang tidak ingin memotong filosofinya malam itu, filosofi tentang hidup sendiri dengan sejuta mimpi dan target hidup. Saya menatap gelas bir kami lalu beralih pada tangannya yang menggenggam gelas cantik berisi vodka. Sambil terus mendengar ia bicara.



“Menurut gua akan useless semua yang udah kita dapet kalo akhirnya gua cuma harus berkutat dengan sodet dan microwave. Ayolah, nggak ada prenup agreement trend di Indonesia dan kalopun gua harus adapt itu, gua males banget share darah dan air mata sama orang yang hanya akan nyalahin gua kalo anaknya pacaran terus, atau kalo kerjaan kantornya nggak beres, atau masakan rumah nggak enak dan terlebih kalo seksnya di luar lebih memuaskan daripada sama gua. Lo juga nggak akan rela toh gua disakitin begitu? Because women never win. And I am surely the one who chooses to not being happy at all rather than being happy for a while.” Raka berhenti lagi, mengangkat gelas kosongnya dan mengisyaratkan permintaan vodka tambahan, “gua tau bahwa belum tentu juga gua akan sengsara dalam pernikahan, tapi come on! How many people in OUR life that have shown great image of being married? Your mom? Nah! My mom? Nah! Even Angel? Yeaa, looked happy but let’s see how it last, Kirun doesn’t seem that tough in my sight. Gua masih mau S3 dengan fokus lain, dan tentunya sitting in the front row of managerial conference di Nebraska. I look forward to receiving your enthusiasm about this, your majesty” Raka terbahak bahak setengah mabuk saat sadar semua tamu telah pulang.



Jam menunjukkan angka 5 dan saya menuntun Raka ke mobil lalu mengantarnya pulang. Seperti biasa, mobilnya saya bawa ke rumah saya lalu dia akan ngomel keesokan harinya karena saya nggak nginep di rumahnya. Dan rutinitas persahabatan kami yang seperti biasa setelah Angel tidak lagi bergabung bersama kami. Saya bersyukur Ratih tidak pemarah soal sahabat-sahabat saya ini, karena terakhir kali kami kencan sebelum ia kembali ke Sumatra, ia berpesan “siapapun antara Raka, Angel atau Dwima, atau perempuan manapun boleh nginep disini, tapi jangan ada satupun dari mereka yang nginep di hatimu ya, Gilang. I love you” saya sendiri belum mematangkan rencana saya untuk melamar seorang dokter cantik dan berbakat seperti dia.















No comments:

Post a Comment