Wednesday 27 March 2013

di sudut ruangan ber-AC dan sepuntung rokok.

"Ibu ndak nyangka kalo itu anakmu Nggar. Mbak Putri belum sampai nikah, kamu udah mau punya anak"
"Maafin Langgar, Bu. Langgar khilaf. Kita tunggu sampe resepsi Mbak Putri selesai ya, nanti kita bahas lagi"
"Panggil Bram ke kamar Ibu ya, nak"
"Iya Bu" Langgar menuju selasar gedung pertemuan, matanya mencari sesosok tinggi adiknya sambil menyulut rokoknya menjauhi ruang rias Ibunya. Pikirannya menerawang melewati kelibatan tamu-tamu asing di sekitarnya. Sebagian besar adalah tamu dari mempelai pria; kakak iparnya.



------12 jam sebelumnya....
"Aku cuma mau bilang, Mas Edi beruntung bisa nikahin Mbak Putri. Dia itu bener-bener berharga buat keluargaku Mas. Dia teladanku dan selalu njagain aku sama Mas Langgar dari kecil. Mudah-mudahan Mas Edi tau apa yang akan kalian segera temui setelah pernikahan ini. Aku titip mbakyu ku ya Mas, tolong dijaga dan dilindungi."
"Pasti Bram. Aku sadar bahwa Putri wis akih berkorban demi hubungan kami, sing mustine aku banyak bersyukur dan berterimakasih sama Putri. Insya Allah kami akan baik-baik saja, doanya ya Dik"
Putri sudah dipinang dan pernikahannya akan berlangsung kurang dari 10 jam lagi. Bram dan Edi masih asik berbincang di taman belakang rumah Bapak. Puntung demi puntung rokok memenuhi asbak di antara mereka, hingga larut malam.



"Dik, Ibu manggil kamu di ruangannya" Langgar menemukan Bram berdiri mematung menghadap tembok dengan sebatang rokok di jarinya. Ia meniupkan asap dari mulutnya menjauhi wajah kakaknya.
"Mas udah bilang soal Delia ke Ibu tho? Ibu percaya kalo itu anakmu, Mas?"
"Bram, aku ndak tau mau sampe kapan kamu begini. Mas ndak mau anak itu digugurkan. Harus sampai Delia melahirkan baru kita tau itu anakmu atau anakku" Langgar menatap adiknya serius
"Kenapa Ibu manggil aku, Mas?" Bram mematikan rokoknya ke sudut kanan bawah dinding tempatnya menatap kosong.
"Embuh, Delia mungkin. Sana temui dulu" Langgar menatap arah keramaian di balik punggung Bram




-----24 jam sebelumnya......
"Bram! Mbak Putri ndak paham sama kamu dan mas mu. Kalian wis podo dewasa tapi koyok bocah! Mbak mau acara ini baik-baik aja. Kamu sama Langgar mestine bantu aku dong, Dik. Jangan malah berpolah tingkah begini"
"Maafin aku Mbak, aku sama Mas Langgar udah janji akan behave paling ndak sampe resepsi selesai" Putri meringis membersihkan luka memar dan darah di sekitar bibir dan hidung adik bungsunya. Mereka terlibat baku hantam beberapa saat lalu perkara kehamilan Delia. Delia mengaku itu adalah anak perselingkuhannya dengan Langgar, sementara Bram tercampur aduk hatinya antara kesal dan kecewa serta sedih.
"Sudah tak kasih obat ini yang memar, nanti malem juga baikan. Jangan bilang Mas Edi ya, takut kepikiran. Jangan bilang Ibu juga soal ribut ini, Mbak ndak seneng bikin Ibu sedih lagi"



"Ibu manggil Bram?" Sang Ibu menoleh cepat dan menepuk kasur empuk di sebelah kursinya untuk menandai Bram segera duduk di sampingnya.
"Kamu kenapa sama Mas mu, nak?"
"Ndak apa-apa Bu. Kenapa kok Ibu tanya begitu?" suara Bram lembut meyakinkan dirinya sendiri bahwa luka dan perasaannya tidak muncul ke permukaan.
"Ibu cuma punya kalian berdua sekarang, Mbak Putri sudah dibawa Mas Edi. Minta tolong yang akur ya nak sama Mas Langgar. Siapa yang urus Ibu Bapak kalo kalian isih ribut terus soal apa-apa. Dari awal Ibu wis ndak seneng karo Delia itu. Ndak sopan anaknya, eh, ndelalahe bener toh malah mecah belah anak-anak Ibu....."
"Ibu..." Bram memotong lembut ocehan Ibunya, "Ibu, ini bukan soal Delia kok. Bram kemarin jatuh, justru Mas Langgar yang nolongin dan Mbak Putri yang ngobatin. Bukan apa-apa Bu. Delia memang dari awal seneng sama Mas Langgar, bukan sama Bram. Ndak ada yang salah. Ibu tenang ya, Bram sama Mas Langgar akan selalu jagain Ibu kok."
Ibunya tersenyum getir, mengangguk dan mempersilahkan Bram keluar kamarnya.




------2 hari sebelumnya....
"Ini anakmu, Nggar, not Bram's! Aku selingkuh dari Bram waktu dia Bandung malem itu. Dan aku sama-sama unconscious, aku lagi stress sama tugas kuliah dan kamu bantu aku waktu itu"
"Del, aku udah bilang kan kalo Bram yang akan tanggung jawab! Dan aku nggak yakin itu anakku, kita harus tes DNA"
Bukan semata-mata ingin buah hatinya, tapi ia tau perasaan Bram yang tidak ingin kehilangan Delia, terlebih karena kakaknya sendiri. Mereka terdiam sepanjang perjalanan pulang di mobil, mendengarkan alunan musik instrumental dari CD di mobil Langgar. Lagu kesukaan Delia; musik klasik.
"Aku udah bilang, kalo dari dulu aku naksirnya sama kamu, bukan sama Bram"
"Kenapa akhirnya kamu mau pacaran sama dia?" Langgar membuka jendela sambil mematikan AC di dalam mobilnya, menyulut rokoknya
"Aku cuma mau bikin kamu cemburu. Dan Bram belum tau soal anak ini, nanti aku yang kasih tau dia." Delia membuang wajahnya keluar jendela. Tangannya ingin meraih rokok yang sama, namun ia teringat pada apa yang sedang dikandungnya; calon bayi.
"Nggak usah, aku aja yang ngomong sama dia" seperti biasa, percakapan dimenangkan dan diakhiri oleh keputusan Langgar.