Monday 9 June 2014

the first snow: Wakefield.

"Abang, itu salju!" mungkin teriakanku tidak terdengar juga oleh subjek tujuanku, ia terlalu sibuk menenggak birnya sambil memandangi panggung yang performa artisnya tidak terlalu dia pahami. Aku masih terpaku pada salju di luar jendela bar lantai dua itu. Tidak terlalu lebat dan terlihat seperti abu jatuh dari langit, hanya saja serpihannya besar.

Dalam hitungan detik, aku kembali melihat panggung yang kini artisnya sudah berganti menjadi band idolaku, The Wave Pictures. Lagu pertama mereka adalah My Kiss.


Band indie asal Inggris ini memang punya jenis musik yang tidak umum, aku sendiri mulai suka sejak teman baikku di bangku kuliah, Tyo mengenalkanku padanya. Begitu kudengar mereka akan tampil di kota dekat aku studi, aku langsung mengajak karib rantauanku, Abang, untuk menemaniku menonton. Perkaranya mereka akan tampil di sebuah pub kecil di kota kecil dekat kotaku, dan di malam hari pastinya. Aku tidak ingin mengambil resiko nekat pergi sendiri, dan untungnya Abang mau.

"Abang ini lagu kesukaaanku!!!!" aku menenggak habis minumanku, yang hanya Pepsi, bukan bir seperti Abang, lalu menyelinap di antara kerumunan penonton di depanku supaya aku bisa melihan trio yang sudah mabuk ini memainkan lagu I Love You Like A Madman lebih jelas dan bisa bernyanyi bersama mereka.

Aku mengabaikan salju, seperti terlupa sejenak. Justru aku melihat Abang berdiri di dekat meja kami, menjaga tasku dan memegang gelas bir raksasanya. Aku kembali fokus pada band kesukaanku sampai lagunya selesai. Mereka menarik sang drummer untuk solo dengan microphone. Sepertinya aku berdiri begitu dekat dengan panggung sehingga bau alkohol sang drummer tercium olehku. Ia sudah setengah mabuk dan nyanyiannya terdengar sangat lucu. Aku sangat menikmatinya.

Sang vokalis menanyakan "Does anyone know what time should we stop?" lalu seseorang dari belakang berteriak "NEVER!" dan kami semua bersorak kompak. Mereka lanjut membawakan lagu lainnya, beberapa aku hapal liriknya, beberapa aku hanya menggumamkan nadanya sambil menghentakkan kakiku mengikuti ketukan drum. Sesekali aku tertawa mendengar lirik lagu mereka yang lucu, ditambah tingkah panggung mereka saat terpengaruh alkohol. Aku lega aku tidak mabuk.


Seusai pertunjukan, kami melangkah keluar dari pub. Aku bersyukur Abang tidak mabuk dan masih bisa memapahku keluar dari pub karena aku kelelahan. Di perjalanan ke stasiun kereta, salju sudah tidak turun, tapi aku bisa melihat serpihannya di trotoar tempatku berjalan. Mungkin aku terlalu pegal untuk berjalan lurus atau jalanannya memang terlalu basah untuk sepatuku, namun aku tergelincir. Abang melepasku meluncur sedikit keluar dari trotoar pejalan kaki. Kaki kananku mendarat cantik di aspal dan tak urung kakiku terkilir.

Sepertinya perjuangan Abang memapahku masih panjang. Di kereta yang sepi, aku duduk di sebelah jendela dan Abang di bagian dalam. Aku menatap keluar dan aku lihat lagi salju kedua turun malam itu. Kali ini agak lama, sampai aku menyadari bahwa ini adalah malam pertamaku melihat salju. Indahnya, menyaksikan band kesayangan tampil dan melihat salju turun dari langit di malam bulan Desember.