Saturday 21 October 2017

Setiap Malam Angkasa

"Yah, coba ceritakan lagi, seperti apa wajah anak kita?" Sekar berkata lembut setelah aku meletakkan Angkasa di tempat tidurnya di sebelah ranjang kami. Sambil menahan isakan tangis, aku menjawab, "oh, sebentar ya, aku ambil dulu anaknya biar kamu gendong sambil aku cerita" sambil beranjak ke arah pintu kamar dan meneteskan air dari mataku tanpa suara.

Ingatanku kembali ke dini hari saat Angkasa hendak keluar dari tempat bersemayamnya di rahim istriku. Dokter sudah mengingatkanku berbagai resikonya jika Sekar tetap melahirkan dengan proses normal. Aku sendiri ragu, dan sempat berpikir mau menerima pinjaman uang Pamanku untuk operasi caesar. Namun Sekar meyakinkanku lagi, bahwasanya jika Bumi bisa lahir dengan normal dan sempurna, maka adiknya pun pasti bisa. Dengan bekal keyakinan berpasangan, akhirnya Angkasa lahir pukul 7 pagi, dan meninggalkan tangisannya mengiringi terpejamnya mata ibunya.

Selama beberapa jam Sekar tidak sadarkan diri, dan saat ia buka lagi matanya, hanya tiga kata yang terdengar olehku, yang dengan lirih dia keluhkan "Sayang kok gelap?" Hatiku bercampur aduk. Kalimat berikutnya adalah racauan, amarah, rasa rindu pada anak keduanya, hingga dalam 24 jam akhirnya ia baru menerima dan paham bahwa ia kehilangan penglihatannya. Tiga hari di rumah sakit, setelah semua administrasi dan kondisi yang dinyatakan aman untuk pulang bagi Sekar dan Angkasa, kami kembali ke rumah.

Sekar memeluk Bumi erat, meminta maaf karena meninggalkannya beberapa hari, dan menceritakan tentang Angkasa, adik perempuannya yang mungil dan cantik. Bumi begitu bersemangat mendengar dan melihat Angkasa, hingga akhirnya ia tersadar "Ibu, lihat deh ini hasil prakarya dari kulit jeruk yang diajarkan di sekolah. Bagus kan?" Sekar meneteskan air mata tanpa mengubah arah pandang matanya yang memang kosong. Bumi lalu menunduk dan meminta maaf, "maaf Ibu.." ia sendiri seperti patah hati setiap mengingat ibunya tidak bisa melihat. Aku pun berkali lipat patah hatinya.

Angkasa sekarang sudah 6 bulan. Tangisannya tiap malam sudah berkurang jauh, seolah tau bahwa ibunya punya keterbatasan melayani manjanya bayi. Dan Angkasa seperti paham bahwa Ayahnya butuh istirahat juga.

"Sayang" kataku sambil meletakkan kepala Angkasa di lengan kirinya. Kepalanya mendekat menyambut tangannya yang mengankat wajah Angkasa untuk diciumnya. "matanya besar, alisnya tebal seperti alismu. Hidungnya...." aku berhenti sejenak sambil menarik tangannya menyentuh hidung Andkasa. Ruas telunjuknya aku selusuri ke atas hingga bawa hidung Angkasa "hidungnya persis Bumi waktu bayi dulu" aku berhasil menguasai air mataku sambil meneruskan "kamu tau? dia punya tanda lahir juga di leher belakangnya, seperti aku". Aku membiarkan Sekar mengelus kaki Angkasa. Dia tersenyum.

"Untung aku cuma kehilangan penglihatan ya Yah.."
"Hmm?" pikiran Jawa-nya yang hobby bersyukur dan ber-untung itu kadang membuatku geli
"Coba kalo aku kehilangan senyumku... kasian Angkasa ngga bisa liat ibunya yang manis ini" ia menjawab sambil menunjuk lesung pipitnya sendiri. Tawaku mau meledak namun kutahan.
"Ya, untung juga kamu nggak jadi bisu.. Jadi dia tau bahwa ibunya suka melucu" Aku mencium kening istriku penuh sayang dan hormat.

Setelah ibuku, Sekar adalah perempuan terkuat dan terhebat yang pernah kutemui. Setiap tangisnya membuat dia semakin kuat dan setiap tawanya membuat dia semakin cantik. Aku lupa kapan terakhir dia mengeluh. Aku hanya ingat saat Angkasa dan Bumi sama-sama batuk bulan lalu, dan kami berdua harus begadang 3 malam demi menjaga mereka. Aku yang penuh desah desuh kelelahan hanya dibalas dengannya "sabar Ayah, masih untung hanya 2 yang batuk. Kalo aku ikut batuk, siapa yang gendong aku ya?" sementara aku tau dia jauh lebih lelah dari aku. Kelakarnya menutupi semua kesedihan dan kelelahannya, dan hanya aku yang tau itu.

Sungguh, nikmat Tuhan yang mana yang bisa aku ingkari.

No comments:

Post a Comment