Friday 29 May 2020

Mencintaimu Setengah Jam Sehari (Part. 2)

Pacarku Udarana,

Masih ingat jelas aku minta kamu jadi istriku saat acara utama kita akhirnya akan selesai dan cabang kedai baruku segera dibuka. Kamu bilang pacaran dulu, dalam hatiku tertawa, "apa sih pacaran?". Menurutku itu hanya buang waktu dan membuka aibku sebagai calon suamimu. Aku mau kita pacaran setelah menikah, karena aku yakin kamu adalah calon istri dan ibu yang baik untuk masa depanku kelak.

Iya, aku tau, kamu yang nggak yakin sama aku. Aku juga nggak yakin sama diriku sendiri. Maka hari demi hari kita lalui dengan pertengkaran tidak berarti. Apa sih maknanya perbedaan budaya dan kebiasaan kita kalau akhirnya kita harus menyesuaikan dan banyak kompromi sebagai suami-istri? Maka dengan ini, aku putuskan untuk mencintaimu setengah jam sehari.

Aku yang akan telpon kamu, setiap jam 3 sore, setiap hari. Kita cerita hari itu, setiap harinya. Kenapa? Karena setengah jam adalah waktu yang paling tepat untuk saling mengikat tanpa rasa takut kehilangan. Karena setengah jam adalah hak kita sebagai pasangan yang belum terikat tapi ingin selalu dekat. Karena setengah jam adalah jangka yang singkat tapi penuh makna.

Jadi istriku, Dara, aku cinta kamu. Aku yakin kita bisa berjuang bersama.

Pacarmu,
Airlangga.

***

Bulan kedua sejak Airlangga mengirimkan surat itu, aku menemuinya di kedai kopi cabang barunya. Ia sedang meeting dengan rekannya, dan aku menunggu dengan sabar sampai akhirnya ia duduk di depanku sambil ngomel, "kenapa datang? Kan kita sepakat untuk saling mencintai setengah jam setiap hari!"
"Aku kangen"
Airlangga diam. Dua kata yang selalu aku ucapkan di setengah jam setiap hari saat kami bertukar cerita, tapi kali ini kukatakan langsung ke depan wajahnya. Anehnya, ia hanya diam.
"Aku mau kita pacaran normal aja, bisa? Aku nggak sanggup nahan kangen ketemu. Aku nggak bisa cuma telponan setengah jam setiap hari sama pacarku. Aku kepengen jalan bareng, kepengen ngopi, kepengen bawa kamu ke Ibuku"
Airlangga masih diam.

Aku ikutan diam, berpikir keras apa yang salah dengan delapan bulan sebelumnya saat kami masih pacaran 'normal'. Aku teringat, ya kami sering ribut, beda pendapat, kami sering adu mulut dan jarang ciuman. Kurang lebih setengah jam, Airlangga akhirnya buka mulutnya.

"Dara, aku rasa hubungan kita sampai sini saja. Aku nggak bisa lanjut sama kamu. Maaf ya"
Darahku mendidih dan otakku memanas. Aku bingung, campur sedih dan marah. Apa yang salah.
"Apa yang salah, Air?"


***

Udarana,

Maaf aku harus minta putus. Aku udah bilang, kan, aku mau kamu jadi istriku. Lalu kucoba kamu dengan komitmen sederhana, setengah jam setiap hari, sambil membuktikan bahwa kita bisa. Dalam dua bulan kamu hancurkan semua keyakinanku tentang kita. Alasanmu sederhana; kamu kangen dan ingin seperti pasangan pada umumnya.

Maaf ya Dara, aku kira kamu berbeda. Ternyata kita belum bisa bersama. Semoga kamu menemukan yang terbaik di luar sana. Mungkin bukan dengan orang aneh yang banyak mau seperti aku, atau sosok filosofis yang sulit diterka.

Selalu menyesal tidak mendapatkanmu,
Airlangga.


***

Padahal Ibu sudah mengingatkan bahwa pelan itu bukan berarti sedikit. Ibu belum pernah ketemu Airlangga, tapi Ibu yakin sepertinya Airlangga anak baik dan serius padaku. Kali ini, patah hatiku bersambut omelan kecewa karena menurut Ibu aku tidak bisa mempertahankan lelaki yang baik hatinya. Aku sendiri tidak mau marah, mungkin memang aku salah. Mungkin aku yang kurang mengalah, mungkin aku yang memilih untuk mempertahankan apa yang menurutku menyenangkan.

Mungkin aku yang kurang paham, mungkin aku yang perlu banyak belajar lagi tentang hubungan. Pada akhirnya, mencintai seseorang selama setengah jam setiap hari adalah hal yang tidak masuk akal. Walau ternyata, hal yang tidak masuk akal itu meninggalkan rasa sakit di hatiku.

Aku patah hati lagi.

No comments:

Post a Comment