Thursday 28 May 2020

Mencintaimu Setengah Jam Sehari

Aku habis ribut dengan ibuku. Katanya, aku kalau mencintai orang kok nggak bisa dalam keadaan tenang. Kali ketiga putus cinta, bukan peluk kudapat dari ibu, tapi omelan. Katanya, aku harus belajar santai dalam mencintai orang.

Okay, mungkin saatnya ini menekan tombol "pelan" di hati dan otakku. Tumben, keduanya bisa akur dan berdampingan. Padahal seringnya mereka bertentangan dan saling melawan. Sini, duduk sebentar, biar aku ceritakan.


Abdul.
Dia kakak kelasku di sekolah dulu. Karena hobinya main volley, menurutku Abdul bukan kakak kelas biasa. Lewat sahabatku, aku dapat nomer HPnya dan kami mulai berkirim pesan singkat selama dua minggu hingga akhirnya dia nembak aku untuk jadi pacarnya.

Senormalnya siswa SMA yang jatuh cinta (monyet), tentu aku bahagia rasanya punya pacar pertama. Semuanya begitu cepat, aku belajar memahami hobinya, menghafalkan jadwal kelasnya, mengunjungi rumahnya saat orang tuanya tak ada, dan hal 'pacaran' lainnya.

Suatu hari dia minta putus. Aku sih nggak kaget, karena memang komunikasi kami sudah mulai berkurang banyak. Aku pun mulai dekat dengan orang lain dari lomba Saman yang baru kumenangkan dengan timku di SMA lain. Setahun pacaran, akhirnya kami sepakat putus. Aku merasa hubungan kami akhirnya begitu-begitu saja.

Sedih nggak? Sedih. Aku jadi membiasakan diri lagi tidak SMS siapapun di pagi hari. Aku menjalani hari tanpa diakhiri dengan pesan "love you" dari pacarku. Tapi sedihnya hanya tiga minggu, karena ujian akhir telah menyita waktuku.


Dimitri.
Jadi anak BEM memang keren ya; terkenal di kampus, diundang ke acara bagus, hingga dekat dengan seorang baik hati yang namanya Agus. Sahabatku, Agus, adalah ketua BEM, sekaligus orang yang pertama kali mencium bibirku. Kejadiannya nggak romantis, jangan seneng dulu! Ceritanya kami sedang mencoba suatu makanan asing di kota Salatiga. Saat sedang lahap makan, ada serangga menempel di bibirku. Kedua tanganku dan Agus penuh dengan sambal super pedas, dan saking paniknya, Agus mencium bibirku untuk mengusir serangga tersebut.

Sejak itu, kami berhenti jadi sahabat. Kami jadi awkward. Agus pindah lingkaran teman, sementara aku sibuk dengan keorganisasian. Hingga datang Dimitri, anak band yang urakan tapi menyenangkan. Entah darimana Dimitri dengar atau menduga, dia bilang Agus ternyata menyimpan rasa padaku. Aku enggan membahas hal itu, alih-alih malah kuminta Dimitri jadi pacarku.

Sekian lama menjomblo dengan Agus di sisiku, ternyata membuat Abdul kembali lagi di hidupku. Hubungan kami hangat dan menyenangkan. Label 'pacarnya Dimi' melekat erat di diriku, dan di leherku karena ada name tag untuk setiap gig yang dibintangi band-nya Dimitri dimana aku stand by di backstage dengan handuk kecil dan air minumnya.

Dua tahun pacaran, Dimitri memutuskan pindah ke luar kota begitu kami lulus bareng. Katanya ia mau melanjutkan bermusik di tempat yang lebih baik. Sementara aku hancur hatinya karena berharap Dimitri punya mimpi yang sama; lanjut S2. Aku tidak bisa mempertahankan kami, karena Dimitri ternyata ingin sendiri, sementara aku ingin berdua.


Airlangga.
Kerja sambil kuliah itu melelahkan. Tapi juga menyenangkan. Aku dapat pelarian tiga tahun sejak putus cinta dengan kehidupan yang luar biasa. Lulus dengan nilai hampir sempurna, dapat kerja di perusahaan ternama. Rasanya bahagia.

Sampai Airlangga datang, hidupku penuh dinamika. Aku dikelilingi teman-teman brilian, keluarga yang hangat, dan ya, terkadang boss menyebalkan tapi cerdasnya luar biasa. Sampai Airlangga datang dengan kekacauannya. Super kacau. Ia hobi minum, begadang & main video games di komputernya.

Sampai kami putus, aku bingung apa yang aku suka dari dirinya. Tapi tunggu ya, aku kisahkan dulu bagaimana aku jadi pacarnya.

Ia punya kedai kopi, dan sejumlah harta warisan dari orang tuanya. Dia mencari konsultan untuk mengembangkan usahanya dan dia menemukanku. Pelan-pelan sambil proyek kami jalan, ia berubah merapikan hidupnya. Pelan tapi pasti, dia menaruh banyak perhatian, harapan, dan uang padaku. Hingga suatu malam saat kontrak kerja kami hampir selesai, ia mengajakku jadi istrinya.

I know, kamu mengernyitkan dahimu kan? Aku juga, sampai cerita ini aku tuliskan, aku masih merasakan heran yang sama. Selepas kujawab dengan "kita pacaran dulu, gimana? Kalo nggak sering berantemnya dibanding bercintanya, baru kita nikah!" Lalu Airlangga sepakat.

Tau apa sedihnya? Kami tidak pernah bercinta. Setiap hari selepas proyek kerja, kami adalah pasangan yang penuh problematika. Dari budaya Jawa dan Sumatera kami yang berbeda, dari kebiasaan makan pagi yang jamnya bersebrangan, hingga ritual komunikasi yang tidak pernah sepakat. Hingga suatu hari, Airlangga meminta untuk mencintaiku setengah jam sehari.


Ibu
Ibuku bertanya, apa maksudnya mencintai setengah jam sehari? Aku jawab simpel "jadi kami baru boleh berkomunikasi setiap jam 3 sore, Bu. Menjelang Ashar, Air akan telepon aku. Menanyakan hariku, bertukar kabar dan selebihnya, kami nggak ketemu atau ngobrol"
"Tapi masih chatting kan?"
"Enggak, bu"
"Terus maksudnya gimana pacaran tapi komunikasi hanya setengah jam setiap hari?"


Airlangga mau menikahiku, dengan cara pacaran begitu. Selepas post ini, aku akan ceritakan pada kalian surat yang ditulis Airlangga dan mematahkan hatiku. Jangan kemana-mana ya.


***Bersambung***

No comments:

Post a Comment