Monday 15 June 2020

Kapan Kita Cerita Tentang Tengah Bulan Juni

Kira-kira apa yang terlintas di pikiranmu saat aku sebut bulan Juni?
Musim panas? Apa kamu familiar dengan musim panas, terutama jika kamu tinggal di negara yang hanya punya dua musim? Atau mungkin Juni adalah akhir tahun ajaran di dunia pendidikan di negaramu? Mungkin. Beberapa kulihat rekan dan kerabatku mengikuti ritual wisuda di tempat mereka belajar. Menandakan mereka siap menyongsong tahap baru dalam hidup mereka; jenjang pendidikan lebih tinggi, atau ranah kehidupan baru bagi seseorang.

Kurang lebih itulah tengah bulan Juni untukku tahun ini. Aku seperti wisuda rasanya, selesai dari suatu tahapan pendidikan dan pelajaran baru dalam hidupku.

Seperti wisuda pada umumnya, hidupku mengibaratkan aku harus segera bersiap menyambut tahapan baru di depan. Biasanya sebelum wisuda, sudah umum setiap individu bersiap atau dipersiapkan. Aku? Ah, sudah beberapa tahun ke belakang aku hidup dalam ketidaksiapan, dalam hal apapun. Hasilnya? Ya selalu ada pelajaran terlepas berapapun nilainya atau rankingnya, jika ada.

Tengah bulan Juni tahun ini, aku lulus dari sebuah ujian tahapan kehidupan lagi; menjauhkan hatiku dari hal-hal yang akan menyakitinya. Aku belajar melepaskan dan melihat apa yang bertahan.

Sahabatku; anak-anakku; saudara-saudara lelakiku; orang tuaku; kewarasan mentalku.

Paling tidak mungkin selepas wisuda ini, tahapan hidupku yang baru adalah mempertahankan apa yang membuatku tetap waras, dan membiarkan yang harus terlepas, terlepas. Sebuah tahapan baru yang, lagi-lagi, tidak ada buku manualnya. Tidak ada lagi tutor yang bisa kuajak diskusi, apalagi kelas tempatku mengobservasi dan menyimak pelajaran baru. Sebuah tahapan hidup berikutnya yang, lagi-lagi, aku tidak tau bagaimana mempersiapkannya, dan aku tidak tau kemana ia akan berakhir; apakah dengan nilai atau dengan rasa.

Aku bahkan enggan memiliki ekspektasi atau mimpi. Sepertinya kali ini tahapannya hanya akan kujalani dengan setengah hati. Setengahnya lagi biar nalar yang belajar, bahwa tidak selamanya perasaan dan emosi adalah hal valid untuk diperjuangkan. Biar sekali saja dalam sekian tahun belakangan, amygdala dan seluruh bagian otakku yang lainnya bekerja. Tidak hanya memberikan stimilus berlebihan pada hati dan akhirnya mempengaruhi psikologi, tapi biar otak ini berfungsi menerjemahkan hal secara logika.

Makanya, dipake otaknya.


No comments:

Post a Comment