Friday 20 May 2022

Sabtu Bertemu Bapak

Sore itu, Bapak menyambut kami dengan riang gembira di teras rumahnya. Kami menyalami Bapak dan langsung menuju ruang makan. Seraya menikmati masakan Ibu yang khas enaknya, Bapak berkelakar tentang sepinya rumah tanpa anak-anaknya yang dulu semasa kecil suka membuat onar. Usai makan, aku dan Bapak ngobrol di teras belakang, suamiku dan ibuku mencuci piring. Entah kenapa bonding mereka memang selalu terjadi di dapur, mungkin karena suamiku koki dan ibuku juga sangat sayang pada menantunya yang pendiam tapi banyak aksi membantu itu.


"Maaf ya pak, kami jarang kumpul disini. Kadang ekskul Kakak itu seharian dan tempatnya jauh." ucapku memulai percakapan sambil menceritakan prestasi dan hobby cucu pertama Bapak.

"Nggakpapa, apa yang jadi pikiranmu, ndhuk?" Bapak malah balik bertanya khawatir karena mungkin rasa raguku terlihat jelas sore itu.

"Kadang aku kangen Pak, pulang kesini, bantu Bapak nyiram tanaman, atau nganter Dimas ke tempat ngajinya" aku mengenang sambil mengungkapkan rinduku pada adikku yang sedang menempuh studi di luar negeri.

"Nggakpapa, tadinya juga Bapak kangen. Kok kayak kehilangan anak? Lha tapi memang benar, menikahkan kamu itu sama dengan mengalihkan pengabdianmu dari orang tuamu ke suamimu. Bapak dan Ibu sudah ndak berhak lagi atas kamu, ngatur, nyuruh atau ngurusi kamu. Tapi, kamu masih mendoakan Bapak dan Ibu kan setiap solat?" Bapak tersenyum seperti menghibur dirinya sendiri, karena aku bukan terhibur malah semakin haru.

"Nggih pak" jawabku singkat takut jika terlalu kepanjangan malah keluar air mataku.

"Ndhuk, walaupun sekarang imam kamu adalah suamimu, semua ibadahmu adalah tanggung jawab suamimu, tapi Bapak dan Ibu tetap dapat pahala dari doamu dan baktimu. Karena kamu sudah jadi perempuan mandiri yang solehah dan taat pada suami. Itu sudah bikin kami merasa yakin bahwa kami sedang disiapkan surganya oleh Gusti Allah karena akhlakmu yang baik"

Aku tidak mampu berkata-kata. Hanya menunduk menahan tangis.

"Namanya pernikahan, ndhuk, kalo capek, sakit atau sebel, disimpen ya ndhuk, diadukan cukup ke Allah." Bapak menyeruput teh hangat bau melati kesukaannya, lalu melanjutkan "yaa kalo mau cerita sama Bapak, insya Allah tak dengarkan dengan objektif, tapi kalo kamu ragu dan takut, ndak usah ya, simpan sendiri untuk Allah. Karena kita semua ini punya Allah, ndhuk"

"Tapi kadang aku kangen banget Pak, kepengen sama Bapak dan Ibu lagi" aku mulai menitikkan air mata. Bapak dengan sigap menjawab, "Ndhuk, rasa kangen, cinta dan memiliki yang menggebu-gebu itu, terhadap hal duniawi, adalah bisikan syetan dan termasuk ujian Allah kepada kita. Cinta kita yang hakiki mustine cuma buat Allah. Tapi kadang manusia khilaf. Dikira cinta sama anak, orang tua, saudara itu adalah abadi."Bapak tertawa kecil, menuang teh ke cangkir kosongku.

Aku hanya menatap tehku nanar, entah harus berkata apa. Entah kenapa Bapak selalu tenang, lembut dan bijaksana dalam suasana apapun.

"Nggih Pak, insya Allah"

"Baktimu pada suamimu, itu Bapak dan Ibu kebagian pahalanya, ndhuk. Nggakpapa ya?"

"Nggih Pak" memang rasanya sore itu aku hanya ingin dengar Bapak berbicara, bernasehat dan mengingatkanku bahwa tidak ada yang abadi, dan kita semua harusnya selalu ingat akhirat.

"Dunia kan sementara, yang kekal akhirat. Ya anak juga sementara, cuma titipan Allah. Bapak seneng banget dapet rahmat berupa kamu sebagai anak Bapak dan Ibu. Semoga nanti kamu dibalas sama Allah lewat kebaikan anakmu ya. Kamu didik dengan penuh cinta, kasih sayang, dan taqwa sama Allah. Ingat, jangan cinta berlebihan, dunia ini sementara ya, ndhuk"


Entah kenapa, setiap nasehat Bapak selalu terkemas dengan nada diskusi dan kesepakatan, bukan perintah atau ancaman. Mungkin karakter itu yang membuatku jadi anak tidak tegas dan nggak enakan sampai sekarang; karena Bapak tidak pernah memaksakan pikiran dan pendapatnya. Entahlah, tapi sore itu aku sungguh kangen Bapak dan Ibu.

"Bapak juga masih banyak salah dan dosanya, masih suka khilaf. Makanya tiap kangen anak-anak, ya tak bawa berdoa, karena Allah sebaik-baiknya penjaga. Kamu juga kalo bisa ya ndhuk, kembalikan semua ke Allah. Yakin, bahwa sabar dan sholat adalah sebaik-baiknya penolong."

Aku berlutut sungkem dan memeluk kaki bapak. Betisnya sudah sangat kendur dan tulangnya terasa di lenganku. Aku menangis pelan dan sedikit terisak, aku minta maaf pada Bapak.

"Pak, maafin aku ya, aku belum bisa bikin Bapak dan Ibu bahagia. Terima kasih sudah menanamkan begitu banyak cinta dan didikan padaku sejak kecil hingga aku jadi istri orang."

"Hush, Bapak ya tetep Bapakmu, sampai kapanpun, tugas Bapak ya mewariskan hal baik dan bekal akhirat buatmu, semampu Bapak ya, hehehe" Bapak mengusap kedua bahuku dan mencium ubun-ubunku. Ciuman yang sangat hangat dan menenangkan.


***

Kami pamitan, Bapak memeluk suamiku sambil berkata "terima kasih ya nak sudah mau main kesini dan ngobatin kangen Bapak"

"Hmm..sama-sama Pak, terima kasih tehnya tadi" suamiku si koki pendiam yang tidak banyak bicara.

***


Sampai ketemu lagi di jannah-Nya ya Pak.

Terima kasih sudah menjadi figur lelaki yang aku jadikan standard dalam mendidik anak laki-lakiku.

No comments:

Post a Comment