Ayo Menangis Bersamaku

Kenangan Masa Kecil yang Menikam Kembali

Aku teringat satu momen saat SD dulu. Seorang teman bertanya, “Kalau besar nanti mau jadi apa?” Dengan polos aku menjawab, “Aku mau jadi guru.”

Spontan ia menjawab, “Ih kok mau jadi guru? Kan guru gajinya kecil.”

Waktu itu aku menganggap dia terlalu materialistis. Naif, pikirku, karena menganggap impian jadi guru hanya sebatas angka rupiah. Tapi hari ini, ucapan polos anak 12 tahun itu kembali mengetuk benakku. Kali ini, dengan dimensi yang berbeda. Dengan perih yang nyata. Hari ini aku kehilangan nafsu makan. Aku hanya ingin menangis. Bukan karena persoalan pribadi, tapi karena kabar yang kembali menyeruak: nasib guru honorer di negeri ini masih begitu getir.

Sebagai seorang dosen, aku merasa malu. Malu pada diriku sendiri, malu pada bangsa yang seolah menutup mata. Bagaimana mungkin orang-orang yang kita titipi masa depan anak-anak, orang-orang yang menjaga api pengetahuan, justru menerima imbalan yang bahkan tak layak disebut sebagai “gaji”?

---

Fakta yang Mengiris Hati

Data terbaru tahun 2025 menunjukkan bahwa:
74% guru honorer di Indonesia masih bergaji di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
20,5% bahkan hanya menerima kurang dari Rp 500 ribu per bulan.
Ada guru PAUD nonformal yang digaji Rp 250 ribu—bahkan ada yang hanya Rp 95 ribu per bulan.
Beberapa kisah lebih miris lagi: guru honorer yang setiap hari berjalan kaki 6 km pulang-pergi ke sekolah hanya untuk mengantarkan ilmu, dengan bayaran sekitar Rp 300 ribu.

Bayangkan. Di negeri yang katanya kaya raya, guru yang seharusnya mendapat penghormatan justru dihargai lebih rendah dari biaya parkir bulanan di kota besar.


---

Janji yang Belum Menyembuhkan

Memang ada kabar pemerintah akan menaikkan insentif bagi guru honorer yang lulus sertifikasi, hingga Rp 2 juta per bulan. Ada pula janji pengangkatan 176 ribu guru honorer menjadi PPPK di 2025.

Namun, apa artinya janji itu bagi mereka yang hari ini masih harus memilih: membeli beras atau membayar listrik? Apa artinya angka-angka itu untuk guru yang sudah puluhan tahun mengabdi tapi tetap saja “honorer” sampai uban menyapu kepala?


---

Idealisme yang Terkikis

Kita sering berkata, “Menjadi guru itu panggilan nurani.” Tapi mari kita jujur, apakah nurani bisa membayar sewa rumah? Apakah idealisme bisa membelikan sepatu untuk anaknya?

Seorang guru bekerja bukan untuk mengejar harta, tetapi untuk mencetak manusia. Namun ketika negara membiarkan mereka dihargai lebih rendah daripada standar hidup paling sederhana, bukankah itu sama saja dengan menodai nurani mereka sendiri?


---

Mari Menangis Bersama

Aku menulis ini sambil menahan perih. Ada rasa bersalah sekaligus malu. Sebagai pendidik, aku tahu betapa besar jasa seorang guru. Namun melihat fakta bahwa masih ada yang digaji Rp 95 ribu per bulan—jumlah yang bahkan tak cukup untuk membeli bensin seminggu—aku hanya ingin menangis.

Maka aku mengajakmu: ayo menangis bersamaku.
Menangislah agar hati kita tersentuh.
Menangislah agar rasa malu ini menjadi api yang menyulut perubahan.
Menangislah agar suatu hari, anak-anak kita tidak lagi mengucapkan kalimat yang dulu kudengar: “Ih kok mau jadi guru? Kan guru gajinya kecil.”

Sampai hari itu tiba, mari jangan berhenti bersuara. Karena air mata kita hari ini, semoga kelak berubah jadi harapan baru bagi para guru yang layak dihormati.


---

Comments

Popular posts from this blog

Why Making Everything Digital Is Important

Renungan Transjakarta Sore Ini

Romantisme Allah Lewat Azan: Panggilan Mesra dari Langit