The Complete Silence
Pernah nggak sih kamu ngobrol sama seseorang, terus setelah sekian lama obrolan bergulir, kamu merasa tidak bisa berhenti ngobrol dengan dia?
Bukan. Bukan karena topiknya seru, justru topiknya tidak terstruktur, tidak beresensi, bahkan tidak ada topik. Cuma keberadaannya saja, dan keberadaan kalian berdua yang membuat semuanya lebih bermakna dari isi obrolannya. Dan anehnya, kamu nggak merasa butuh untuk menjelaskan apa-apa. Kalimatmu bisa setengah, dan dia tetap paham. Kadang diam pun terasa seperti bahasa yang sama. Ada ruang yang tidak diisi kata, tapi justru di sanalah kedekatan itu tumbuh — bukan karena intensitas bicara, tapi karena kehadiran yang saling diterima.
Mungkin begini rasanya “nyambung” dalam arti yang paling jujur. Bukan karena sepakat dalam segala hal, tapi karena ada frekuensi yang sama — tenang, hangat, dan tidak memaksa. Kalian tidak sedang berusaha membuat kesan, tidak juga ingin terlihat menarik. Kalian cuma… ada.
Dan ketika perbincangan itu selesai, kamu merasa seperti baru pulang dari perjalanan jauh yang menyenangkan, padahal kalian cuma duduk di tempat yang sama dari tadi. Rasa lelahnya tersamarkan dengan rasa lega. Obrolan itu tidak menghasilkan apa-apa secara konkret, tapi entah kenapa, ada sesuatu di dalam diri yang terasa penuh — seperti diingatkan lagi bahwa koneksi manusia bukan selalu tentang isi, tapi tentang rasa.
Mungkin, dalam hidup yang sibuk dan bising ini, kita sebenarnya cuma butuh satu dua momen seperti itu: obrolan tanpa tujuan, diam menyimpan pesan, tapi punya makna yang sulit dijelaskan.
Kadang orang itu bukan siapa-siapa dalam kehidupanmu — bukan sahabat dekat, bukan keluarga, bahkan mungkin bukan seseorang yang sering kamu ajak ngobrol sebelumnya. Tapi entah kenapa, waktu ngobrol sama dia, kamu merasa nyaman, ringan, dan nggak perlu berpikir keras buat menyesuaikan diri.
Kadang dia adalah manusia pertama yang kamu sapa dan sambut di awal dan akhir harimu - pasangan, anak, keluarga. Tapi entah kenapa, hal yang seharusnya rutin dan membosankan, jadi ritual yang mengisi kebiasaan. Dan ngobrol itu tidak harus selalu punya kedalaman tertentu untuk membuat kita melepas emosi kita.
Ia bisa berbentuk apa saja, seperti suatu sore entah gimana akhirnya kalian duduk bareng lebih lama, ngobrol soal hal-hal random — mulai dari cuaca, kerjaan, sampai hal-hal pribadi yang bahkan kamu nggak nyangka bakal kamu ceritain. Atau mungkin seseorang yang udah lama banget nggak kamu temui; kawan lama yang tiba-tiba muncul lagi lewat pesan singkat, lalu berjam-jam kemudian kamu sadar kalian masih bisa nyambung seperti dulu.
Dan setelahnya, ada rasa yang aneh tapi hangat. Kamu nggak juga ingin apa-apa. Kamu cuma merasa seperti sebagian dirimu yang lama tertutup, akhirnya bisa bernapas lagi. Dan mungkin, di tengah semua rutinitas, kesibukan, dan interaksi serba cepat yang kita jalani, momen seperti itu adalah pengingat bahwa koneksi manusia masih nyata. Bahwa kita masih bisa benar-benar hadir untuk seseorang — dan seseorang bisa hadir untuk kita — bahkan hanya lewat percakapan sederhana tanpa arah.
Comments
Post a Comment