Wednesday 18 August 2010

satu desember (part 3)

“BUKK!!!” untuk kedua kalinya Sandra terhantam dan terjatuh lagi. Pria berhelm terjerembab. Ia melihat sekelilingnya dengan sudut kelopak mata berdarah dan dalam posisi berlutut, ia melihat banyak kaki berduri. Kaki-kaki tersebut menjauh dari tubuhnya dengan gerakan yang makin liar, namun kaki-kaki itu tidak menyakitinya. Sandra terkulai di pangkuan pria berhelm, keringat dingin dari rambut ikalnya menetes ke wajah Sandra. Saat itu ia merindukan sorotan lampu tembak dari belakang. Ia mencar.. Ia berdoa.. Ditolehkannya kepalanyaa ke belakang. Lamput sorot telah padam, menghilang. Segera ia meorogh saku celana Sandra dan mengeluarkan HT yang tak berdaya. “Shit!!” ia mengumpat kesal. Di tengah kebingungannya, Ia merasakan lengan kirinya bergerak.

Matanya yang berdarah mulai terasa perih. Di usapnya dahi Sandra dengan tangan kanannya untuk membersihkan tetesan darah yang mengalir konstan. Lalu tetesan darah itu beralih ke bibir Sandra, “Sandra, if you could hear me, please let me know” suaranya nyaris berbisik, ia mengaharapkan sebuah jawaban dari seseorang yang pingsan. Isak tangisnya mulai terpicu lagi, terlebih ketika sepasang kaki muncul dari depannya, dari pinggl kiri Sandra. Ia mencoba mengenali sepatu besar itu, saat mendongak untuk mengetahui pemiliknya, ia terperanjat menyadari bahwa sepasang sepatu tersebut ternyata sedang menghujamkan mata belati tajam ke perut samping Sandra. Ditariknya tubuh Sandra menjauh dari belati tersebut agar tidak benam terlalu dalam melukai ginjalnya. Ditariknya tubuh Sandra kea rah perutnya dan didekap tubuh mungil itu erat-erat.

Helmnya telah benar-benar hancur dan kini kepalanya telanjang tanpa penutup sama sekali. Rambut ikalnya berpeluh hingga ke dahi dan mengaliri mata berdarahnya lebih deras. Ayahnya menarik kedua kaki tajamnya. Ia menatap pria berhelm seperti Ayah yang rindu pada anaknya. Rambut ikal yang terurai itu mengingatkan sang Ayah pada mendiang isterinya. “Enggankah kau pulang, nak? Memilih bersama wanita ini di tempat ini?” Ia berjongkok menatap pria berhelm yang masih memeluk Sandra. Pisau belati di ujung sepatunya telah lepas. “inikah putrid pujaanmu, nak?” Ia bertanya lebih dalam sambil mendekatkan wajahnya ke wajah pria berhelm. Sandra merasakan tubuhnya didekap lebih erat lalu terbangun. Dari pandangan matanya, ia menyaksikan dua dagu lancip berhadapan. Dagu di kanannya mengalirkan darah. Dagu di kirinya meneteskan keringat asin. Lalu Sandra terpejam lagi.

Panggung senyap seketika. Sandra memincingkan mata karena silau tertembak lampu sorot di hadapannya. “Mego!!”
*bersambung*

No comments:

Post a Comment