Tuesday 17 August 2010

satu desember (part 2)

BUKK!!!
Sandra tergeletak tak sadarkan diri. Seorang berhelm mematikan Honda CBR-nya lalu mengangkat tubuh mungil Sandra tinggi-tinggi. Tiga lampu sorot mengikuti langkah pria tersebut. Suara gegap gempita teredam oleh isak tangisnya. Lampu sorot terus mengikuti gerakan tubuhnya. Ia bergerak membawa Sandta dalam pelukannya. Diiringi kedipan lampu sorot di sudut matanya, seketika ia mengeluarkan HT tanpa menjatuhkan Sandra, “anjing!! Dia pingsan!” HT-nya bergemerisi, “keluar lewat 70, Don!! Yusuf baru bubaran masih nunggu!” Pria berhelm mengededarkan pandangan di antara ribuan orang yang bergerak bebas di ruang pengap itu. Siang yang penat itu menambah erat kuncian helm di kepalanya. Ia menitikkna pandangan pada suatu sudut yang penuh asap. Ia menuju sudut tersebut. Sambil mempercepat langkahnya, ia masih mendekap Sandra kuat-kuat di dadanya. Di tengah kesusahpayahannya melewati kerumunan orang ke arah sudut berasap itu, HT-nya menjerit di pinggangnya,”Doni pingsan di pintu masuk!” Pria berhelm terhenyak. Ia mempercepat langkahnya dan memeluk tubuh Sandra lebih kuat lagi lalu mengubah haluan.

Sekilas dilihatnya samar-samar kaos hijau di sudut ruangan berasap tadi. Tak tergoyahkan pindahan haluannya, ia terus menuju ke arah panggung lalu lagi-lagi sebelah tangannya mengangkat HT seraya berseru “LIGHTS OFF!! Backflip!” Pria berhelm menunggu balasan dari regu belakang. Sementara langkahnya semakin cepat menangkis ribuan tangan yang melambai dan menghalau tak beraturan, tiba-tiba sebuah botol berukuran ratusan millimeter menghantam helmnya. Kemudia puluhan botol beling serupa ikut menghajar habis helm yang dikenakannya. Kini rambut ikalnya terlihat, mencuat dari kepala yang terbungkus helm rapuh. “Pos depan jebol, main entry, please secure!!” suara seseorang dari pinggangnya. Ia mengurungkan niat untuk membalas pesan tersebut. Mata dan kepalanya berusaha menyingkronkan suasana dan langkahnya ke arah panggung. Ia merasa lelah menuju panggung tersebut. Beban dipelukannya bertambah lunglai dan semakin berat seraya terhimpit oleh massa yang semakin ricuh.

Di ufuk barat, tepat di belakanganya, matahari mulai terbenam. Ia baru menyadari, atap ruangan raksasa itu telah bergeser membuka diri. Arloji Sandra memantulkan cahaya matahari ke tengkuknya. Rasa panas matahari sore berganti-gantian dengan panas tubuh Sandra yang semakin berkeringat. Giyangan oanggung tak kunjung reda seiring dengan goyangan manusia-manusia di sekelilingnya. Pria berhelm tidak menghiraukan kekacauan di sekitarnya dan ia terus melangkah ke arah panggung. Semakin sesak, Sandra terbangun. Disadarinya lengannya terbalut jaket kulit hitam. Matanya mengerjap lemah. Saat ingin dibukanya, “Mego..” ia berbisik dan “BUKK!!!”
*bersambung*

No comments:

Post a Comment