Monday 16 August 2010

satu desember (part 1)

Satu Desember

Seperti layaknya rasa lelah, takut adalah pilihan. Sandra menghadapi rasa takutnya siang itu. Panggung raksasa di hadapannya terlihat bergoyang. Goyangannya makin kuat. Sandra nyaris menjerit di HT-nya. Teriakannya seperti larut dalam ricuh dan riuhnya massa di sekeliling Sandra. Untuk yang terakhir kalinya Sandra berteriak dengan sisa tenaganya “45, 46, MUNDUR!!!” Ia mencabut kabel handsfree di telinganya dan dengan gesit menyelinap di antara kerumunan manusia yang dipertanyakan kemanusiaannya. Terus bergerak cepat menuju pintu utama. Sesekali ia terjerat di antara orang-orang yang bergoyang tak beraturan. Langkahnya pun sudah sekuan kali terhimpit ratusan sepatu besar yang menendang, menginjak dan menjagal kaki mungilnya. Keringat benar-benar telah mencuci habis kaos hijaunya. Sandra terus berlari, menghindar dan menunduk sambil terus mencuri pandang kea rah panggung raksasa itu.

“Sandra! Sandra!! Sandra, ini Mego! Jawab Sandra!” suara kekasihnya bergemrisik di genggamannya. Ia mencabut kabel handsfree dan bicara langsung dan merekatkan bibirnya yang bergetar di microphone tersebut, “Mego, copy!! 70, 80, 90 mundur… biar petugas shift! Sekarang!!” Sandra bersusah payah menahan genggaman HT-nya dari sikutan remaja 20 tahun yang terus bergerak bebas mengeksploitasi persediaan oksigen yang tinggal sedikit. “70, 80 udah mundur. 90 nggak kedengeran San! Copy!” Mego kembali berteriak di HT Sandra. Sekuat tenaga Sandra mengangkat tengannya untul menjawab pesan Mego. “Mego..kamu…” bip!! HT-nya mati. Baterainya habis dan kini Sandra benar-benar sendirian di tengah para penari dingin di ruangan pekat dan pengap. Satu-satunya alat komunikasi Sandra telah mati. Harapannya kini hanya baju hijaunya yang mungkin dapat menarik perhatian regu atas untuk melihatnya dan mencoba menyelamatkannya.

Sekali lagi ia melihat panggung raksasa dengan kengerian yang makin menjadi-jadi, dan saat itu pula.. BUKK!!!

*bersambung*

No comments:

Post a Comment