Wednesday 11 August 2010

sepuluh menit menjelang sidang pengasuhan anak

saya.
sejak perceraian kedua orang tua saya, saya sedang diperebutkan dari sudut hukum dan kejiwaan.
katanya umur saya ini adalah umur pertumbuhan dimana saya harus diasuh oleh ibu saya. namun secara hukum, ibu saya tidak bisa mengasuh saya karena beliau sudah tidak bekerja lagi. saya sendiri sebenarnya tidak menyukai keduanya.

ibu saya sering memukul saya tengah malam tiap saya terbangun. saya meminta susu dan digantikan popok yang basah. sayangnya ibu terlalu lelah setelah memasak dan mencuci baju tetangga kami. kata nenek saya, seharusnya ibu tidak menikah muda dengan duda kaya. saya sendiri tertawa terbahak-bahak mendengar ocehan nenek. ibu hanya ngedumel dan mengerutkan keningnya seraya meracik biskuit untuk saya. ibu bilang saya ini anak haram, namun saya kembali tertawa mendengarnya. orang yang disebut ayah oleh ibu itu adalah seorang yang tinggi besar dan menyeramkan. entah kenapa, setiap sebulan sekali saat ayah berkunjung, matanya yang bijak itu selalu menatap saya dengan lembut dan penuh kasih sayang.

ayah saya sering menginap di rumah kami dan terkadang membantu ibu menyuapi saya. saat sore itu ayah menyanyikan beberapa lagu dewasa yang tidak saya mengerti saat mengajak saya jalan-jalan menuju pasar malam. ayah menceritakan makna lagu yang dinyanyikannya. katanya ia ingin saya menjadi seorang yang tangguh dan tak terkalahkan. "perempuan yang senantiasa membunuh dengan senyumnya" kutipan itu sering disebut-sebut ayah. saya hanya tertawa dan sesekali mendahak-dahak mendengarnya. bukan karena saya tidak mengerti, tapi karena saya geli melihat kumisnya bergerak-gerak seirama dengan nyanyiannya. saya tidak menyangka, harta berlimpah yang dimilikinya tidak digunakan untuk mencukur kumis. atau saya terlalu muda untuk mengerti arti kumis baginya.

siang ini, saya terduduk di sudut ruangan besar dan ramai. banyak lampu kilat di ruang belakang saya dan suara-suara lantang mulai terdengar. ada seorang yang disebut hakim dan pembela. saya lihat ibu saya menangis. dan saya tau suara tangisannya "apa tidak ada yang tertinggal untuk saya supaya saya punya alasan untuk hidup?" lalu wajah tertunduk ayah tidak meneteskan air mata namun tetap berkata "dia harus jadi milikku, pewaris kekayaanku" saya kembali ke fase tidak mengerti, mengambil botol susu saya dan mulai menghisap dot-nya.

seseorang yang disebut hakim memukul palu setelah saya tertidur kurang lebih dua jam. perempuan di sebelah saya adalah sesosok cantik berseragam ungu. mungkin orang suruhan ayah, atau mungkin kerabat jauh ibu. saya kurang peduli, karena saya fokus pada ayah dan ibu saya yang sedang mendekati meja hakim, berbicara sesuatu yang saya tidak dengar. keduanya berwajah keras dan hakim menutup mulut mereka dengan teriakan "TENANG!!"
saya melempar dot dan pengasuh berbaju ungu itu membawa saya dan keranjang saya keluar ruangan.

No comments:

Post a Comment