Wednesday 20 October 2010

groupies

Seperti penggemar setia suatu klub sepak bola, sore itu aku menumpukan lututku pada pagar datar pendek dekat lapangan sekolahku. Senior favoritku, Rendra, sedang asik menggiring sepak bola kea rah pemain di salah satu ujung lapangan. Aku sudah tiga bulan ini terus  membuntuti Rendra, mungkin aku disebut stalker. Aku suka sekali pada Rendra, caranya bermain bola, caranya memimpin grup kerja kelompok bersama. Charming dan selalu menyita perhatian. Sore itu pula aku merasakan getaran yang sama, setiap dia mencetak gol, menggiring bola dan mengoper bola ke temannya. Menyenangkan sekali setiap melihat dia tertawa dan bercanda dengan timnya.

Saat selesai latihan, aku selalu lari terbirit birit menghindari tangkapan matanya yang jelas seminggu terakhir ini mulai mencurigai keberadaanku. Malu dan gugup, dua kata yang bisa mendeskripsikan kekagumanku pada kakak kelasku. Andai aku bisa masuk jadi anggota cheerleaders di sekolah, pasti aku selalu bisa tampil di dekat kakak kelasku itu, Rendra. Rendra berbadan tegap, dia masuk jurusan Alam dan menjadi ketua tim sepakbola sekolahku. Beberapa kali memenangkan kompetisi antar sekolah dan yang aku tau, dia dan kelompok belajarnya adalah pelopor dari kelompok-kelompok belajar lainnya.

Dulu, ia punya pacar bernama Saskia, ketua cheerleaders yang merupakan ketua gang paling berkuasa di sekolahku. Mereka terlihat sangat serasi, namun setelah beberapa bulan pacaran, mereka putus karena pihak sekolah menyatakan mereka adalah pasangan yang memberikan teladan buruk. Ya, kalo boleh jujur, ketahuan ciuman oleh kepala sekolah memang bukan hal yang bisa dibenarkan. Rendra bahkan nyaris diskors selama seminggu jika tidak segera putus dengan Saskia. Selulusnya Saskia, Rendra mulai menebar pesona single-nya kepada para adik kelas, termasuk aku.

Rendra tidak pernah bicara langsung padaku, ia hanya ingat wajahku kurasa. Beberapa kali Tommy, kakakku mengenalkanku padanya, ia tetap tidak ingat namaku. Tommy sering menceritakan tentang Rendra padaku, secara netral tentunya, dan aku tetap kagum pada Rendra. Tommy melarangku untuk naksir sama Rendra, jadi aku putuskan untuk menggemarinya saja. Sampai detik ini, genap satu tahun saya mengikuti kemanapun Rendra beraktivitas. Kalau tidak bisa secara harfiah, saya selalu mengupdate-nya melalui Tommy.

Sore itu, setelah menumpukan lutut pada pagar datar itu, aku sudah bersiap lari seusai peluit di akhir latihan. Menuju parkiran sepeda, aku tidak melihat kiri kanan langsung menggeser kasar sepedaku dan bergegas pulang. Sore itu, saya begitu terburu-buru, sampai pagar sekolah, aku berpapasan dengan Tommy. “Kamu nggak latihan Kak? Udah selesai tuh latihannya barusan?” aku menyapa Tommy yang terlihat baru datang dari arah sebrang sekolah. “Kamu ngapain buru-buru begitu? Abis ngeliatin Rendra latihan ya? Hayoo aku kenalin, abis ini kami mau makan-makan ngerayain ulang tahun pelatih kami” Tommy menggenggam sepedaku dan membimbingku kembali ke parkiran sepeda. Aku tidak bisa mengelak. Meskipun aku tau, ini hanya akan jadi kesempatan ke sekian dimana aku hanya akan menyodorkan tanganku, menyebutkan namaku dengan lirih tanpa menatap wajah tampan Rendra. Kesempatan ke sekian dimana dia akan menyambut tangan saya dengan antusias lalu beranjak ke arah teman-temannya kembali.

“Tommy!! Ini adiklo yang lo ceritain itu?” suara Rendra menggelegar dari arah belakangku. Jantungku serasa berhenti berdegup, suara itu suara yang selama ini aku dengar dari pinggir lapangan, kini berada persis dibelakangku dan membicarakan aku. “Hey, Rendra!” ia mengulurkan tangannya, tersenyum super manis padaku lalu kubalas dengan sejuta ragu dan bahagia “Erika” aku mengusahakan senyuman paling sempurnya yang bisa kubuat namun nampaknya tak terlihat oleh Rendra, karena aku menunduk. Rendra mengangkat daguku dan berkata “Erika, sore ini ikutan makan ya sama pelatih kita, kita lagi nyari manager untuk kompetisi selanjutnya, kata Tommy, kamu jago ngatur jadwal dan bangunin orang tiap pagi”

Wajahku terangkat dan terlihat olehku setitik keringat di keningnya. Aku tersenyum dan mengangguk samar sambil menyamai langkahnya ke parkiran sepeda. Rendra menemaniku memarkir sepeda dekat pagar depan dan kami menuju ke lapangan untuk bergabung dengan teman-teman lainnya. Di luar keseriusannya mengenai menjadi manager, tapi dia mengajakku ngobrol untuk pertama kalinya, ini yang luar biasa. Permulaan yang bagus untuk setahun setelah aku mengintili-nya sebagai fans.

No comments:

Post a Comment