Friday 3 August 2012

What Lasts on Summer (part 2)

Sore itu kami berjumpa di taman dekat tempat saya kerja. Andreas terlihat banyak PR dengan beberapa rangkaian kasar dan design rangkaian bunga di tangannya. Saya sendiri memangku tas kerja saya berisikan laporan-laporan yang harus saya analisis malam ini di rumah. Sekian detik pertama kami bertukar kabar tentang pekerjaan kami belakangan ini. Tidak jauh dengan nasib saya, Andreas sedang menerima banyak pesanan untuk acara Natal akhir tahun nanti. Saya sendiri nggak sabar mengambil cuti dan berlibur sendiri ke Dili.



"Apa kita seharusnya nggak ketemu lagi? Atau justru menjalin hubungan seperti abang dan adik?" Andreas akhirnya melontarkan pertanyaan di akhir tukar-cerita kami tentang sosok orang tua kami masing-masing. Saya diam cukup lama, menimang apa yang sepantasnya jadi jawaban terhadap pertanyaan ini. Ah, seandainya pertanyaan itu seperti 'Kamu mau nggak jadi pacar aku?' maka saya tidak perlu waktu bahkan sedetik untuk menjawab 'iya', sayangnya Andreas adalah saudara tiri saya. Ayah pilot kami mewariskan sifat pemberani dan pantang menyerah, penuh rasa ingin tau dan selalu menuntut kebenaran. Rasanya justru sulit sekarang untuk tidak menyerah pada kenyataan bahwa Andreas adalah sedarah dengan saya, dan mengelak dari kenyataan bahwa kami tidak bisa bersama sebagai pasangan.

"Aku nggak tau apa kita bisa saudaraan. Aku pikir ini bakal beda ceritanya dari kenyataan sekarang" jujur detik itu saya ingin menangis deras merasakan batin saya yang naksir pada Andreas dan desir darah saya yang juga mengalir di tubuh dia. Andreas mengerti maksud saya, dan dia ikutan terdiam. Kami pulang tanpa sepatah kata, bahkan tanpa 'sampai jumpa'. Sore itu seperti gravitasi yang menarik kami ke rumah masing-masing tanpa harus memberikan tanda berupa kata.



Saya menemukan Ibu menyiapkan makan malam untuk kami, lalu saya luluh. Kami ngobrol lagi malam ini, masih dalam keadaan canggung sampai telepon genggam saya menampilkan cuplikan pesan singkat dari Andreas, "aku baikan sama Mama, dia kangen aku, dan dia bilang mau ketemu kamu." Layar telepon genggam saya terbaca jelas oleh Ibu. Ibu lalu tersenyum, saya sulit mendefinisikan arti senyuman kali ini; lega, senang atau.... miris. Saya mengabaikan pesan itu.



Delapan hari kemudian, saya menemukan Andreas duduk manis di lobby kantor saya, dengan setangkai bunga mawar. "Selamat ulang taun! Aku tadi ketemu sama Ibumu. Dia cantik ya, mirip kamu" Saya tersipu dan gagal melancarkan raut marah pada kejutan itu. Andreas memaksa makan malam dan mengantar saya pulang. Saya banyak diam, berpikir kenapa cuma saya yang belum bisa terima bahwa Andreas dan saya (mungkin) seharusnya hidup sebagai saudara. Saya juga mengasihani bagian dari diri saya yang masih marah dan tidak terima bahwa Ayah harus dibagi dua.


Akhir pekan di minggu ulang tahun saya, nisan Ayah menjadi saksi bisu luapan emosi saya. Saya bilang sama batu nisan Ayah kalau saya marah dan rindu sama Ayah. Berharap Ayah meninggalkan surat atau pesan lain yang menjelaskan kebingungan ini. Tapi pupus. Yang saya ingat cuma pesan Ayah bahwa ada hal-hal yang harus kita abaikan saja, karena relevansinya dengan hidup kita tidak akan sebanding dengan kerasnya usaha untuk mencari tau fakta-fakta di luar kepala dan tak kasat mata. Lalu saya pulang, memutuskan untuk berdamai dengan kenyataan dan berusaha keras untuk menjalankan persaudaraan. Saya pikir Andreas bisa jadi Abang yang baik untuk Adik yang manja seperti saya.

No comments:

Post a Comment