Wednesday 8 August 2012

I might have written this...

Tertampar oleh twit salah satu rekan asik saya, Astrid, saya jadi kepengen curhat tentang apa yang (seharusnya) saya perjuangkan di disertasi Master saya. Tentang MTV.

"@astridnaya: Pada masanya, bangun pagi jam 9 itu waktunya nonton MTV Land."


Yeah, menurut saya bukan salah siapa-siapa. Lagi-lagi zaman yang sepertinya sudah shifting people through dan menerapkan evolusi dan seleksi alam pada umat manusia. Jaman dimana MTV adalah channel musik 24 jam yang memutarkan lagu-lagu dari masa keemasan nenek saya, hingga apa yang jadi tradisi lokal di Indonesia seperti Dangdut.

Buat saya Amerika cukup lihai dalam menerapkan kapitalisme di negara dunia ketiga seperti Indonesia. Lokalisasi itu sendiri bagian dari effort mereka untuk menjangkau orang-orang seperti si mbak di rumah yang nggak doyan dengerin Westlife atau di kala itu terlalu sulit memahami arti lagu "Ooops I did it again" milik Britney Spears (meskipun nggak lama kemudian salon amatiran ramai dengan para pelanggan yang mau rebonding rambut a la Britney di video klip itu). Dangdut, lewat Dangdut mereka menembus pangsa pasar kelas menengah ke bawah Indonesia. Menjadikan beberapa penjaga warteg dan mandor di pangkalan ojek setia memasang channel MTV di tempat mereka beraktivitas sehari-hari.

Yeah, tentu sajaaa argumen Schiller (1992) di-rebuttal habis-habisan oleh Tomlinson (sial lupa tahunnya) dan teori globalisasi Appadurai. Tapi lubuk hati saya yang paling dalam (cuma perlu pembuktian empiris dan argumen super pede aja) tetap berpikiran kapitalisme dan imperialisme di industri media Indonesia bisa dicontohkan oleh MTV.


Regional programme seperti MTV Most Wanted, MTV Land dan MTV Asian Hitlist juga jadi favorit saya dulu, nggak tau saya doang yang norak dan mainstream di kala itu, atau memang mereka memprogram sedemikian menarik acara sehinga bukan hanya VJ Utt dan VJ Gregg yang ganteng dan jago bahasa Inggrisnya, tapi juga lagu-lagu yang mereka putarkan seperti "atas permintaan kalian, anak nongkrong MTV". Hell yeah! My research told me that MTV has 'married' to global recording company to sell music (Banks, Kaplan, et al). Gimana caranya mereka harus bisa jual artis se-asing George Benson, Holly Valance dan AQUA bisa dicintai oleh orang-orang yang bahkan nggak ngerti bahasa Inggris seperti mantan supir pribadi saya. Tentu saja kemasannya!

Makhluk super kocak (IMHO) seperti VJ Arie dan VJ Sarah adalah bagian dari kemasan kece untuk menggiring budaya barat agar acceptable di Indonesia. Tayangan wajah indo-blasteran seperti VJ Cathy dan VJ Rianti juga merupakan sensasi tersendiri buat para remaja yang lagi falling in love di MTV Getar Cinta. Lalu seiring modernisasi dan shifting taste and people dencency, kemasan MTV lalu mengkreasikan kehebohan dan kejenakaan duo Desta-Vincent di acara MTV Bujang dan selanjutnya berevolusi jadi MTV Insomnia, Begadang, dan lain lain yang merefleksikan fenomena dan trend remaja pada masanya.


Semakin kesini, seperti terkikis, merger sana sini antara channel TV, stasiun komersial dan Nickelodeon mengakibatkan hilangnya kreativitas-kreativitas kapitalisme yang mendidik sekaligus merusak remaja bangsa Indonesia (a bit thanks to KPI regardless all the scandalous attitude in between). Jujur, dibalik kritisisme saya terhadap Amerika dan kapitalisme-nya, saya rindu masa dimana para VJ asik bercuap dalam bahasa Inggris dan kelihaian mereka mewawancarai artis luar negeri yang sedang bertandang ke Southeast Asia. Mostly, saya rindu bagian positif dari kapitalisme itu, atau boleh saya ameliorasi jadi 'globalisasi'.




VJ Jamie interviewing Westlife




PS: Disertasi saya memuat bahwa MTV Indonesia bukanlah produk kapitalisme karena dari segi konten, beberapa program representatif memiliki style yang sangat Indonesia tanpa bold influence dari Western culture. Too bad this might as well be proven as the other way.




No comments:

Post a Comment