Saturday 4 August 2012

Degredasi Bangsa?

Dua puluh tahun lalu, saya hidup di lingkungan menyenangkan. Belum kenal nintendo, playstation dan internet. Sekeliling saya masih ramai anak-anak dengan layang-layang, sepeda onthel, patok lele, dan permainan benteng. Kala itu kemewahan gadget bukan hal yang biasa, justru kami (saya dan anak-anak seumuran saya) asik bermain di lapangan, entah dengan kelereng, karet gelang yang dirangkai jadi tambang elastis, atau layang-layang. Berlarian di gang-gang, makan es krim di dekat sekolah, hingga berkelahi memperebutkan layang-layang nyasar yang putus di udara. Seru, sportif dan sehat.



Kami sering dimarahi orang tua masing-masing karena ketidakdisiplinan kami; belum ganti baju sekolah sudah lari ke lapangan dekat rumah, belum kerjain PR sudah jajan dekat pasar.




Sepuluh tahun dari masa itu, adik bungsu saya bermain gamewatch, playstation dan rentang sepuluh tahun berikutnya mereka rajin main game online. Semua gadget yang tidak sanggup dibeli Papa Mama tergantikan oleh rental PS dan warnet sekitar rumah yang menjamur.


Bambu-bambu melapuk begitu cepat, pohon yang kami jadikan benteng ditebang, kelereng kami jadi hiasan, dan karet gelang kembali melingkar di dapur bersama kertas pembungkus nasi. Bola bekel saya tidak lagi membal, biji congklak jadi isi pijakan taman. Saya seperti kehilangan.



Di tengah majunya internet, di jenjang kuliah strata satu dan dua dalam bidang komunikasi dan budaya, saya lalu belajar teori dan aplikasi modernisasi. Bukan (lagi-lagi) menyalahkan Amerika dan antek-anteknya, tapi teknologi dan invensi modernisasi telah menyeret halus kebiasaan sportif dan natural anak-anak menjadi lebih canggih.



Sekarang timbul Twitter, Path, dan Ragnarok. Anak-anak seumuran saya 20 tahun lalu tidak lagi bersua di lapangan dan taman sekolah. Mereka memilih pulang, mendekam seharian di kamar saat akhir pekan dan menjalin persahabatan dengan lingkaran teman yang lebih luas di luar jangkauan. Mereka bertukar ucapan "shit!" dan "mana ammo gua?" dalam Counter Strike. Bilahan bambu tergantikan oleh kasarnya gesekan mouse di tangan kanan mereka. Hembusan angin sore tergantikan dentuman musik dari Spotify di headset dr. Dre mereka. Topeng monyet dan komedi putar tergantikan oleh playlist Youtube dan ga9s jokes.



Saya nggak mau terlalau naif menyalahkan CERN dan Sir Lee yang telah menemukan internet dan www, terlepas dari cyber crime yang terjadi setelahnya (dengan berbagai faktor). Saya juga nggak berhenti salut sama pendiri kaskus apalagi almarhum Steve Jobs yang menurut saya adalah seorang jenius. Saya juga enggan menyalahkan trendsetter dan pencetus istilah 'alay', yang kemudian lebih disanterkan oleh media.



Ya, media, yang katanya 'channel' atau perantara dari komunikator kepada komunikan. Media, yang katanya, informan atau jendela dunia terhadap kejadian di luar sana. Media, yang katanya netral dan bersifat mendidik, sekaligus menghibur. Media, yang katanya ajang kreativitas manusia. Media, yang katanya memberi makan orang banyak.



Pada perspektif saya, justru sejauh ini media yang memberikan gambaran bagaimana seharusnya society ber social, terlepas dampak negatif atau positif. Hanya menurut saya, mayoritas mereka memberi batasan mana yang 'modern' seperti bahasa Inggris, musik aliran trance, reality show dan fashion Amerika, dan sebagian lainnya yang membantu popularitas istilah 'alay' bagi siapa saja yang masih bermain layang-layang di lapangan, masih menggunakan handphone monophonic buatan Finlandia, masih mendengarkan musik dangdut dan masih menyukai jajanan pasar tradisional.




Saya harus jujur, beberapa media juga berusaha membingkai tradisionlisme menjadi suatu hal yang heritage dan tidak kalah seru; wisata kuliner, backpack bersama selebriti, hingga permainan tradisional yang dimainkan oleh artis dan keluarganya. Menarik, suatu usaha pelestarian yang menarik.



Sementara, pikiran saya masih terus mengulik fenomena sosial ini. Sementara hati saya rindu pada 20 tahun lalu, dimana saya berlari bebas, berteman dengan sebaya saya tanpa tau apa itu smack down dan tanpa takut jatuh dari sepeda. Saya rindu masa dimana iPod dan charger bukanlah barang wajib di dalam tas saya, melainkan buku atau novel yang menemani perjalanan saya. Saya rindu dimana televisi tidak hadir di antara pertemuan keluarga sehingga kami leluasa mendalami karakter setiap anggota. Saya rindu masa di saat follow-memfollow Twitter bukan kewajiban pertemanan dan simbol popularitas semata. Ya, masa dimana pertemanan terjadi di taman permainan, dan perkelahian selesai di depan mata, bukan di dunia maya.



Ah, saya yang sudah terlalu tua.

No comments:

Post a Comment