Thursday 2 August 2012

What Lasts on Summer (part 1)

Selamat ulang tahun Ayah.
It's the third year I have lost my dad. Saya selalu heran beberapa bulan terakhir ini, menjelang ulang tahun papa tanggal 1 Agustus dimana saya sengaja ziarah ke makam beliau, saya selalu menemukan sepaket bunga mawar import di dekat nisannya. Jauh pikiran dari hal-hal berbau mistis atau apapun sejenisnya, karena saya yakin benar ini perbuatan manusia. Satu-satunya yang jadi clue bagi saya cuma nama florist yang tertera di tali dekat buket bunga tersebut, "Tania Florist". Tidak ada alamat, hanya nomer telepon, dan bukan jalan buntu tentu saja.


Setelah 15 menit bernegosiasi lewat telepon, Tania Florist baru saya ketahui berposisi tidak jauh dari lokasi saya kerja. Esoknya, ketika hari Minggu, saya mampir ke Tania Florist untuk mengambil pesanan saya. Sengaja berskenario ulang taun boss besar, bunga yang saya pesan memang agak rumit dan butuh 'ketemu' untuk ilustrasi. Sesampainya di sana, benar saja, saya disuguhi berbagai konsep rangkaian bunga dan dekorasinya untuk berbagai suasana dan acara.


Namanya Andreas, dan kesan pertama saya jujur berpikir bahwa dia gay. Perawakannya tinggi kurus, tangannya selalu memegang gunting daun kalau tidak semprotan air mini untuk tanaman. Ia mengembangkan sendiri bisnis florist ini semenjak duduk di kursi kuliah dan saya kagum, dari obrolan kami, bahwa almarhum Ayahnya ternyata adalah inspirasi baginya dan Ibunya untuk terus menjalankan bisnis ini. Berlanjut dari obrolan pesanan bunga dan bisnis, kami ngobrol lagi tentang ke-anak tunggal-an dan ke-yatim-an kami.



Merasa nyambung dan semakin dekat, saya lalu teringat lagi pada misi utama saya datanya ke Tania Florist; siapa si pengirim bunga untuk makam Ayah? Agak susah mencari tahu tentang ini, karena kebanyakan tamu dari florist Andreas tidak meninggalkan data diri mereka selain nama dan nomor telepon bagi pemesan bunga khusus. Paket bunga yang saya temukan di makam Ayah memang spesial, tapi ternyata bukan kategori pemesanan yang butuh detail customer. Hampir buntu.



"Kalo ada waktu, mungkin kamu bisa nemenin aku ikut ke makam Ayah biar kamu bisa liat bunga impor yang aku maksud?" Akhirnya aku meminta pada Andreas di suatu ajang makan siang dekat tempat kami bekerja.
"Nggak masalah, kapan kamu mau ziarah lagi?"
"Kebetulan aku penganut mitos dan adat berziarah sebelum Ramadan, gimana kalo minggu depan? Weekend?"
"Hmm, kayaknya sih bisa. Nanti aku liat pesenan dulu ya, kalo nggak rame aku ikut kamu." Setelah sepakat, kami kemudian semakin intens berhubungan dari sebelumnya. Saya punya banyak kesamaan dengan Andreas, dan menurut saya Andreas menarik, terlebih setelah saya tau bahwa dia tidak gay sama sekali. Ibunya dekat dengan dia, dan sebagai anak tunggal, tentu saja ia dimanja semasa kecilnya. Sama seperti saya, Ayah kami masing-masing mendidik kami untuk mandiri dan memiliki kemampuan tertentu. Kebetulan saya di bidang komputer, dan Andreas di bidang cocok tanam bunga.



"Aku nggak tau Bu, menurut aku Andreas baik. Sejauh ini kalo kami ketemuan atau jalan bareng, dia nggak nunjukin kalo dia punya pacar atau lagi deket sama cewek manapun" Ibu melirik saya penuh arti sambil senyum.
"Iya deh, Ibu tau kamu paling paham soal gelagat cowok yang single atau taken." Senyumnya bermakna buat saya. Sejak Ayah meninggal tiga tahun lalu, Ibu merangkap tugas Ayah jadi penasehat sekaligus pelindung buat saya. Menurut Ibu, kepergian Ayah bukan hal yang harus diratapi, tapi adalah tantangan untuk tetap hidup dan menjalani nilai-nilai yang diajarkan Ayah; kerja keras, berani dan tulus. Yes, Dad is that kind of person who'd kill for anything he believes, and I think that personality suits me and Mom. Selain jadi anak manja, saya berhasil menjabat posisi tertentu pada perusahaan telekomunikasi dimana saya dituntut untuk bertanggung jawab terhadap sebagian besar bawahan saya dan hasil kerja mereka.
"Mungkin sudah pertanda kamu harus segera nikah" ucapan Ibu membuyarkan senyuman saya. Akhirnya pernyataan itu keluar dari mulut Ibu. Baru berapa bulan saya kenal dengan Andreas, Ibu seperti sudah mencium aroma berbeda dari kedekatan kami. Saya hanya tersenyum mendengar lanjutan ucapan Ibu "Ibu doain, kalo memang Andreas jodohmu, kamu bahagia sama dia dan dia bisa mendampingi kamu sampe hayat memisahkan kalian." Begitu positif dan begitu tulus, Ibu sepertinya cinta mati sama Ayah. Dan menurut saya itu romantis.



"Ini makam papaku!" Seperti tertampar anggota angkatan bersenjata tanpa melecehkan negara, saya tersentak sejadi-jadinya mendengar ucapan Andreas di makam Ayah. Selama ini saya pikir kesamaan kami adalah kebetulan belaka, cerita tentang Ayah yang begitu serupa dan sampai saya tidak terpikir menanyakan siapa Ayahnya Andreas.



Ayah menikah dengan Ibu ketika Andreas berusia 2 tahun. Saya seperti berkeping-keping dan berharap Tuhan mengirimkan bah agar kepingan diri saya hanyut dan tidak merasakan apa-apa lagi. Kenyataan yang selama ini disembunyikan oleh Ibu dari saya. She didn't even bother to asked about Dad's another family, she chose not to know Andreas at all. Sungguh, saya tak bergeming mendengar cerita Ibu tentang pernikahannya dengan Ayah, rumah tangganya, pekerjaan Ayah sebagai pilot dan keseharian Ayah saat tidak di rumah. Air mata jelas tak terbendung dan Ibu ikutan menangis menahan sakit atas penolakan saya terhadap pelukannya. Berkali-kali Ibu minta maaf dan saya hanya diam sambil sesekali menolak raihan tangannya.




Tiga minggu tanpa berhubungan dengan Andreas, kami tidak sengaja papasan di kantin tempat biasa kami makan siang. Sungguh hari naas buat saya sampai bisa ketemu dia, padahal jam makan siang saya sudah berubah drastis agar tidak ada kesempatan bersamaan dengan makan siang dia. Rupanya siang itu dia sedang ketemu dengan supplier untuk buket bunganya. Saya menahan refleks senyum saya, meskipun ada sebersit rasa rindu dengan candaan dan cerita dia di dunia florist. Dia melihat saya dan menatap lama sampai saya kikuk sendiri. Setengah jam kemudian, seusai semua urusan dia dengan suppliernya dan saya dengan mangkok bakso saya, dia menghampiri meja tempat saya duduk. Saya sendiri enggan menghindar dan mencoba untuk berani menghadapi dia lagi, sebagai saudara tiri.



"Aku belum ngomong sama Mama sejak tiga minggu lalu" dia memulai cerita dengan satu kalimat langsung tanpa pembuka dan aba-aba. Mengambil posisi di hadapan saya, ia melanjutkan ceritanya tentang bagaimana Mamanya menjelaskan hubungan antara kami, Ayah kami dan kehidupan kami selama ini. Saya yang hanya menunduk diam melihat minuman saya dalam hati mengiyakan beberapa pernyataan perasaannya sebagai seorang anak; tertipu, rindu, bingung sekaligus kehilangan.
"Aku nggak ngerti kenapa harus nunggu selama 27 tahun dan setelah Papa meninggal untuk cerita siapa kita sebenarnya. Seandainya kita nggak ke makam hari itu, seandainya kamu nggak cari tau siapa pengirim buket bunga di makam Papa. Seandainya kamu nggak nekat nyamperin Tania Florist. Apa selamanya kita nggak tau tentang Papa?" Penggunaan kata 'kita' oleh Andreas memancing saya untuk merespon dengan emosi yang sama. Lalu tersengat oleh detikan jam di tangan kiri kami masing-masing, kami sepakat jalan-jalan sore seusai kerja hari itu.




*bersambung*



No comments:

Post a Comment