Thursday 23 April 2020

Sebuah Analogi

Ngejalanin dan mperjuangin cinta kita ini berat. Besar, dan berat. Ibarat kotak televisi LED 50 inchi yang masih berisi. Tapi terus, aku ketawa. Sudah lama nggak berurusan dengan cinta, karena sepertinya itu benda usang yang kurang cocok denganku. Entah karena aku terlalu tua, entah karena aku terlalu lelah.

Sore itu kamu bilang cinta. Aku bingung mau jawab apa, karena sudah lupa rasanya dan bentuknya. Sore itu kamu bilang sayang. Aku bingung, kamu siapa?
Orang bilang waktu itu relatif, kalo buatku cinta itu relatif. Relatif seberapa niat dan kuat kita menyatakan, menyadari, menjalankan, dan memperjuangkan. Kayak pejuang ya? Berjuang.

Ingat kata berjuang, aku selalu mengasosiasikan diriku dengan banyak hal: bangun pagi untuk pergi mengajar, begadang untuk menjaga anak-anakku, menembus sel penjara menemui Bapakku, atau sekedar membuka mata mendengarkan tutorial menu masakan untuk suamiku. Dulu. Itu berjuang bukan, sih? Bukan? Atau iya?

Sejak itu, buatku, berjuang adalah melakukan hal demi suatu tujuan. Tujuan yang kadang bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga orang lain. Walau kadang orang lain kurang paham atau bahkan tidak sadar akan perjuangan kita. Rasanya melelahkan jika sampai pada singgungan orang yang belum satu frekuensi dengan perjuangan kita. Rasanya menyakitkan saat yang kita anggap berjuang menjadi hal yang kasat mata untuk sebagian. Rasanya menjengahkan saat kita berjalan dalam kesulitan mencapai tujuan, tapi diacuhkan. Nggak enak.

Maka sore itu waktu kamu bilang cinta. Aku diam. Bukan cuma bingung, tapi takut.
Takut.
Aku takut, karena beberapa tahun ke belakang, cinta punya konsekuensi yang begitu menyedihkan. Beberapa tahun ke belakang otak dan hatiku, secara terorganisir, seperti dicuci bersih dan ditanamkan pemahaman baru yang harus aku terima. 24 jam dalam seminggu, selama lima tahun. Oleh siapa? Oleh alam, oleh diriku sendiri, oleh takdir.

Aku melewati berbagai tahapan hidup yang naik turun dan maju mundur. Aku menjadi seorang istri, seorang ibu, seorang anak, seorang kakak, seorang pekerja, seorang pengangguran, seorang janda, seorang yang baru lagi. Hal baru lagi yang tidak berhenti menerpa. Dan rasanya nggak habis-habis menguras tenaga, hati dan otakku. Lima tahun, aku berangsur membangun lagi diri yang sempat hilang. Lima tahun, aku membangun benteng tegak yang tak goyah. Sampai sore itu.

Sore itu waktu kamu bilang cinta, hidupku teranalogi benteng kokoh yang belum selesai dibangun. Benteng kokoh yang kalau kamu beri beberapa waktu lagi, akan jadi bangunan terkuat sepanjang hidupku dan anak-anakku. Benteng kokoh yang fondasinya adalah kerendahan diri, luka bertubi-tubi, amarah terpendam sendiri, dan rasa kecewa yang tidak dimengerti.

Sore itu waktu kamu bilang cinta, hatiku teranalogi adonan kue bolu yang hampir jadi. Siap dikukus menjadi makanan siap saji. Lalu gagal masuk oven karena ternyata komposisinya belum siap dipanaskan. Ternyata kandungan gizinya belum sesuai kadar MUI. Dan karena kamu datang mengisi lagi adonan yang tadinya kupikir selesai disiapkan.

Sore itu waktu kamu bilang cinta, otakku teranalogi serial aksi level Hollywood. Aku berpikir keras untuk tidak hanyut, dan aku berpikir keras untuk tidak usai sesaat. Otakku diajak berpikir lagi, lebih berat dari isian Sudoku, dan lebih panjang dari permainan monopoli. Otakku seketika berhenti juga sebagian besarnya, rasanya ia sudah lama diajak keras bekerja sehingga aku kaget dengan perasaan bahagia.

Sore itu waktu kamu bilang cinta, aku mengulang lagi pelajaran perjuangan. Aku baca lagi literatur hati dan psikologi. Aku atur nafasku lagi untuk belajar memulai. Apa ya? Aku juga kurang paham. Aku rasa betul, cinta itu membingungkan. Selain butuh perjuangan, cinta itu juga melelahkan.

Kita boleh memilih untuk berhenti berjuang, kan?




No comments:

Post a Comment