Saturday 20 November 2021

Bahwa Hidup Itu Nggak Cuma Hitam dan Putih

Pulang dari Pandeglang, aku seperti mendapat banyak oleh-oleh moral yang menyadarkan akan hal baru tentang hidup; dunia ini nggak cuma hitam dan putih. Aku melihat keluarga-keluarga Sunda dan nilai budaya Islam ala leluhurnya. Aku melihat sosok keramahan di sebuah desa bernama Tamanjaya, di kampung Paniis dan aku belajar bahwa cinta itu bermacam bentuknya. Sepertinya nggak adil kalo kubilang "jahat dan salah" kepada seorang nenek yang membawa cucunya bekerja sambil mengumpat manja tiap bocah 1.5tahun itu jatuh dari langkah kecilnya. Aku selalu tau bahwa parenting itu berat, tapi nggak adil juga jika seorang nenek yang aku tidak tau latar belakangnya harus kunilai "salah" saat menyertakan cucunya di kesehariannya. Dan banyak kisah keluarga dan parenting lainnya yang membuatku miris, hingga aku dipaksa menerima hanya dalam hitungan tiga hari kerja.


Belum lagi kisah 97 murid sekolah dasar yang minim sentuhan kemajuan dan teknologi padahal pandemi memaksa untuk berevolusi tanpa preparasi. Lalu sosok guru-guru pengajar di daerah terpencil, jauh dari modernisasi hingga moral merokok di lingkungan sekolah, bahkan depan muridpun seperti tanpa teguran dan kesadaran. Aku miris, membayangkan hal-hal yang sesungguhnya -bukan salah- tapi bisa jauh lebih baik jika tersentuh dengan perkembangan peradaban masa kini. Dambaan laptop dan teknologi terkini juga terhambat oleh Si Klepto yang menghantui lingkungan sekolah. Si Klepto, iya, itu hanya sebutanku. Sosok yang suka merongrong sekolah dengan keunikannya mencuri dan masuk ke lingkungan sekolah untuk merusak. Ah, banyak masalahnya. Aku resah.


NGO sebelah mendiskusikan edukasi untuk remaja tentang teknologi dan moral dari seks bebas. Perkaranya, bingkai mereka adalah pernikahan dini yang dianggap salah. Menurutku, tidak salah, hanya saja butuh persiapan dan sentuhan tepat untuk menjadikan pernikahan dini sebagai hal wajar dan terkontrol sehingga dampak negatifnya bisa diminimalisir. Tapi... persiapan dan edukasi pernikahan? Duh, rasanya bukan lahanku. Selain karena aku adalah contoh gagal pernikahan ideal, rasanya aku juga bukan sosok tepat untuk melawan nilai kultural di area yang rentan mis-edukasi dan ketertinggalan. Aku resah.


Aku resah hingga hanya mimpi buruk dan mimpi baik yang mendorongku terus mencoba berbuat kebaikan. Aku resah hinga suatu pagi air mata menjadi bukti ketidakberdayaanku untuk memberdayakan mereka di sana. Di sana, di tempat yang tidak secara fisik dekat, dan jelas tidak secara mental juga dekat.

Bismillah, semoga warna warni hidup lainnya mendekorasi pandanganku dan langkahku, agar yang sulit terasa mudah dan yang jauh terasa dekat. Bismillah aku berjalan di koridorku untuk membagi kebaikan berikutnya. Semampuku.




No comments:

Post a Comment