Saturday 24 July 2010

terkunci di dalam kamar mandi bersama se-tube pasta gigi

lagi lagi, saya terjebak dalam penerjemahan beberapa frasa bahasa inggris ke bahasa indonesia. tapi bukan masalah, karena seperti biasa, saya tidak pernah menghubungkan judul posting dan kontennya.

Langgar membelalak. kamar mandinya terkunci dari dalam dan ia belum sikat gigi. pintu kamar mandinya berhandle mekanik sehingga kemungkinan terkunci dari dalam sangatlah besar. Ia mengumpat dalam hati dan tangannya terus memelintir handle tersebut agar terbuka.

Tiga jam yang lalu.
"ini kalo gua beresein kamar mandi bisa seharian nggak kelar. Odol, garpu, potongan nanas, pembalut kak Putri, detergen, sapu lidi. Ampun! semuanya ada di sini. Kamar mandi apa toserba nih? untung gua cuma kesini tiap sakit perut aja, gak kebayang kalo setiap mandi disini. bisa gila gua mandi di tempat kayak gini"

Dua hari yang lalu.
"Bram, Langgar marah nggak kalo kita make disini? aku nggak enak sama dia, dia kan udah insyaf."
"Ya ampun, Del,, masih aja deh gitu.. Langgar insyaf bisa kehitung jam. mentok-mentok seminggu dia berhenti, selebihnya? make lagi"
"Kamu yakin?"
"Nih, separuh aja ya kamu.."

Satu minggu yang lalu.
"Bunda nggak mau tau, bulan depan kamu keluar dari tempat ini. Pulang nak. Ayah setiap hari nanyain kamu, Langgar. Dia banyak mau cerita sama kamu, mungkin soal Putri dan Bram, mungkin soal rumah dan mobilnya. Pokonya pulang ya!"

Tangan kanan Langgar mulai kram memutar knob dan handle, sambil sesekali mendorong pintu kamar mandi, ia meringis mengusap keringat di dahinya. Malam ini ia harus sikat gigi, harus dengan pasta gigi khususnya di dalam kamar mandi itu. Suasana kamar mulai tidak nyaman, listrik sudah terputus sejak siang dan malam mulai datang.

Langgar melangkah ke jendela dan membuka semua lubang udara dari pintu dan ventilasi. Ia gagal menyalakan exhaust fan dan berbaring ke kasurnya, memandang langit-langit kamar luas itu. dalam hitungan minggu ia harus membereskan semuanya. Sebenarnya sudah beres dan hampir kosong. Ia menatapi lemari kosong di sudut kaki kanannya dan serakan abu rokok di sekitar asbak di atas sofa.

Tangan kanannya menggapai-gapai ponsel mininya dan kelingkingnya menyentuh cairan dingin di dekat bantal. "Bram bangsat bener!!" Ia menghembuskan nafas sambil menekan tombol di ponselnya, sambil jemari kirinya menyusup ke saku celananya mencari sebungkus rokok beserta pemantiknya. Nafasnya naik turun mengetik pesan singkat sambil menghisap-hembuskan rokoknya.

Ia menyadari ada pesan tak terbaca di ponselnya, dari Bram, sepuluh jam yang lalu.
"Pake punya Bunda aja, Mas.. ada di atas lemarimu. Itu baru dibeli Bunda kmrn"
Bram membalas pesan singkatnya dengan cukup singkat dan mengesalkan.

Tiga bulan yang lalu.
"Mas, uang kuliah ni seharusnya nggak semahal ini. Kenapa toh kamu tetep mau kuliah disini?"
"Aku cari buat sekalian kerja nanti Bram, semacam jaminan kerja, wis kamu sing bener ae lah kuliahmu, ojo pacaran terus. Ayah udah marah terus, sangkane aku rak ngurus koe, malah luru pekoro nek Ayah wis nesu neh"
"Ayah tu bisanya yo gitu mas.. Kita kan laki, dewasa.."
"Dewasa apanya? macam awakmu dewasa aku apa? tua??"
"Lah,malah tukaran karo mu, Mas.. aku latian dulu!"

Dua tahun yang lalu.
"Langgar, masalahnya aku belum bisa balikin uang kamu, boleh kan aku tetep bantu kamu disini. Aku ngerti kamu deket sama Asri dan Dian, mereka ya udah lama juga nggak suka sama aku. Tapi kamu nggak bisa ikutan nggak suka sama aku lah, aku kan disini udah bukan pacarmu lagi, tapi ya jangan pecat aku juga. aku kan butuh makan, Nggar. Tolong pertimbangkan lagi pemecatan aku."

Satu minggu yang lalu.
"Lo angkat ni barang-baranglo, Jef, gua mau cabut bulan depan. Nyokap udah kasih ultimatum. Mungkin bokap mau ada rencana lain di sana... Iya, soal listrik paling minggu depan udah putus, gua udah nunggak dua bulan. Oke? Makasih ya udah baikin Dian-Asri-Mira. Pusing gua tiga tahun dengerin mereka. Nggak ngerti sama perempuan-perempuan itu. Thanks banget Jef"

Langgar bangkit dan mengumpulkan tenaga untuk mendobrak pintu kamar mandinya. Rasa kesalnya mulai memuncak ditambah gedoran pintu kamar sebelah yang mulai mengusiknya. Malam itu Langgar akan menjemput Bram dan Delia dari bandara sepulangnya mereka dari studi wisata. Langgar bingung dengan tingkah adiknya yang sangat tidak kooperatif terutama dalam bersikap di depan publik.

Tiga hari yang lalu.
"Aku nggak bisa, Mas. harus jemput, Delia juga lagi nggak enak badan. Kalo bukan karena tugas kuliah, aku males mas pergi jauh gini"
"Kamu carilah taksi atau temanmu, Bram, Mas harus urus ini kamar dan cepet-cepet keluar. Lagian kamu kenapa nggak balik Jogja ae toh? Delia yok aku wis tau nggak bener, Bram. Itu Witri nunggu kamu di kampung, cepet kamu lamar. Mesakke anak orang itu, Bram"
"Mas, aku minta jemput! nggak minta disuruh nikah! Mas aja dulu nikah sana antara Dian atau Mira, baru mas nasehatin aku! Wislah, pokoe jemput aku jam 9 malem. Suwun Mas"

Dua minggu yang lalu.
"Biar bunda naksi aja, nak.. Ayah udah suruh kesana. Cepet kok kalo naek taksi ke tempatmu. Kamu kerja aja dulu nggak apa, nanti Bunda masakin pami kamu pulang."
"Bun, apa aku suruh Bram aja ya? biar Langgar yang naik taksi ke kantornya, cepet kok Bun pulangnya"
"Ndak, Bunda ndak suka kalo Bram yang jemput. Ndak tahan sama pacarnya itu Le.."
"Delia? kenapa Bun?"
"oowalah, Langgar,,adikmu itu koyo'e rak keurusan, pacarnya kalo pake baju serba sempit. Waktu kamu baru keterima kerja ya bajunya itu tipis-tipis. Kalo tiba-tiba hamil gimana Bram tanggungnya, Le?"
"Bram nggak gitu Bunda, tenang ya.. Yaudah, nanti kalo Bunda udah mau berangkat, kabarin Langgar terus ya Bun.. ati-ati"
"Kamu sing ati-ati yo Le, Bunda nanti telpon lagi. Assalamualaikum"

Satu tahun yang lalu.
"Mas, ada kondom nggak?"
"Bram!! ini selametan Mas lho! Kamu kok tega gitu sih sama mas? Hormatin lah itu Lik Cahyo sama Pakde Imam"
"Ada nggak??!!"
"Nggak ada!!! Mas nggak paham gimana lagi harus kasih tau kamu, taun pertama kamu udah begini Bram, gimana mau tahan lama di Jakarta? lama-lama kamu masukin mas ke penjara yo ngenes ngurus koe"
"Mas harusnya malu, nggak bisa tegas sama perempuan. Kerja udah ada, rumah mulai nyicil, restu udah dapet. Mending koe mimiti calon trus kawin yo, aku wis gede mas"
"Bram!! Kamu nggak ngomong gitu sama Mas dan Kak Putri!!!"

Langgar mendobrak pintu kamar mandinya. Rasa kesalnya terbayarkan, segera diambilnya pasta gigi dan beranjak keluar kamar. Menuju mobilnya dan segera meluncur ke bandara. Ia punya waktu satu jam untuk menggosok gigi dan menuju bandara. Membayangkan perbuatan apa yang dilakukan Bram sepulangnya dari Lampung.

Lima belas menit sebelum keluar tol bandara, mobilnya menepi. Ia membaca serentetan pesan masuk dari koleganya, Bunda, Mira dan operator. Satu yang dibalasnya; Mira.
"Aku masih di jalan mau jemput Bram sama Delia. Sabar ya. Bulan depan aku jemput kamu, kita ke Jogja bareng. Akad disana"

Kembali menancap gasnya, Langgar mengenakan sabuk pengaman sambil memincingkan mata melihat plang selamat datang di Soekarno Hatta. Dilihatnya Delia menyandarkan kepalanya di bahu adiknya sambil berwajah manja. tanpa sadar, Langgar mengubah air mukanya menjadi sinis saat menepi di depan pasangan muda itu.

Langgar membuka bagasi dari panel bawah kursinya dan membiarkan Bram memasukkan koper mereka sendiri. Di jalan pulang, Bram menempatkan secangkir capucinno di dekat perseneling agar mudah diraih oleh Langgar sambil berseru "Lampung seru mas!! Rumah udah beres?"
Langgar diam sejenak, melirik ke spion tengah dan memastikan Delia sudah tidur di jok belakang, "Kita anter dia kemana?"
"Ke tempatmu Mas, dia lagi hamil sebulan...." Langgar menahan nafasnya sambil menyingkap rambut bagian depannya, menunggu Bram melanjutkan kalimatnya.
"Hamil anakku" Bram menyelesaikan dua kata terakhirnya seraya menyeruput capucinno dekat tangan kiri kakaknya.

No comments:

Post a Comment