Tuesday 7 September 2010

let's move on!

Surat ini saya temukan di laci paling bawah sebuah rak buku using di kamar saya. Rak buku mini ini memang terletak di sudut kamar lama saya, dan secara tidak sengaja laci bawahnya tergeser saat saya mengangkat kardus pakaian bekas saya.

Timika, 20 April 1996

Dear Dimmy,
Aku baru saja memecahkan gelas kopi keramik yang aku cari susah payah di pasar jaya Timika. Gelas ini udah aku cat dengan warna ungu kesukaanmu dengan tulisan super keren “I am a faithful man” untuk perayaan tiga tahun jadian kita sekaligus peresmianku atas kamu yang kukira sudah berubah untuk lebih serius berkomitmen. Kalo kamu tanya kenapa aku pecahin, sama aja kamu tanya kenapa aku mutusin kamu. Same old reason, malam dimana gelas ini pecah adalah malam kesekian aku dapet laporan bahwa kamu nganter pulang Diana dan Holga ke kost-an mereka di persimpangan Freeport. Same old shit yang kamu anggep hal kecil dan aku anggep sebuah bentuk komitmen. Hal yang kamu bilang "someday I'll stop being too kind" dan aku terlalu naif untuk percaya akan hal itu.

Aku nggak pernah capek berargumentasi sama kamu tentang makna setia dan tentang bagaimana kesan orang terhadap hubungan kita. Kamu selalu bilang bahwa image itu penting, sekaligus kamu selalu tunjukkan image bahwa kamu adalah gentleman single yang bebas berterbangan anter perempuan sana sini tanpa peduli perasaan aku. Kamu tau, waktu aku bilang kamu boleh anter Utami, itu semata-mata karena aku tau perasaan kamu yang nggak enak sama bos kamu itu, ditambah alasan kamu untuk dapat bonus dari beliau supaya kita bisa pulang ke Medan dengan pesawat kelas bisnis. Aku terharu, mengerti dan coba menerima. Tapi setiap aku mau bahas perasaanku, kamu selalu bilang aku egois dan nggak bisa kompromi.

Sama halnya ketika aku kesal atau sedih, kamu gampang sekali merajuk dan akhirnya perkelahian kita hanya berakhir di atas ranjang dimana seulas senyum dapat menggantikan sehelai kain. Iya, setiap pagi dimana kamu buka matamu dan liat aku lagi menatap kamu, kamu akan selalu bilang antara “I can’t believe what I see every morning with you beside me” atau “I love you, with or without sex” atau “I wish I could see your smile each time I wake up in the morning”. Menyenangkan, karena aku tipikal perempuan bersahaja yang mudah lemah hatinya, tapi, kamu tetap memanggil aku “hardheaded dan uncompromised hot girlfriend on earth” dan tentu saja amazement yang selalu bikin aku rindu disayang sama kamu.

Malam dimana gelas ini pecah, aku memutuskan untuk nggak meneruskan apa yang aku yakini selama ini terhadap kamu. Aku kira tiga tahun bukan waktu yang sebentar, meskipun semua rekan kantormu bilang “baru tiga tahun bro! Jajaki dulu sampe lima tahun, biar keluar semua sifat aslinya”. Aku selalu inget senyum wise kamu tiap menanggapi ocehan mereka tentang hubungan kita. Malam dimana gelas ini pecah, aku terlalu cemburu sama Diana yang jelas-jelas menaruh harapan sama kamu akibat kebaikan kamu. Lalu kamu cuma melenguh kesal tiap aku bilang bahwa hal-hal seperti Diana ini bisa berakibat besar sama masa depan kita. Kamu selalu balas dengan “satu orang macam Diana nggak akan ngaruh, sayang. I love you anyway.”

Seperti yang kamu mungkin ingat, aku cuma diam dan masuk kamar tanpa komentar. Bukan capek debat sama kamu, tap dada ini terlalu sesak meyakinkan bahwa bahkan setengah Diana pun tetap bikin aku cemburu, sebuah perasaan yang kalo kamu tau, rasanya sebenernya lebih sakit daripada kamu inget bagaimana kita berdua berkisah tentang keyatimpiatuan kita sejak muda. Rasa cemburu yang nggak kamu ngerti, khawatir yang selalu kamu anulir, dan harapan yang hancurnya nggak akan kamu teliti. Dan aku, selalu tahan, karena bagaimanapun, aku selalu tau, kamu sayang aku. Dan sayangmu itu, nggak terukur dengan belasan perempuan yang harus kamu antar pulang.

Dimmy, sudah saatnya kamu bergerak, atau kalau kamu mau; sedikit mengingat. Dua minggu sebelum malam ini, kamu diramalkan akan menyesal oleh seorang rekan kantormu yang mau pensiun itu, aku lupa namanya, Edwin bukan? Whatever, the point is, mungkin bukan kamu yang menyesal, mungkin aku. Menyesal for not giving any second chance for you and for myself. Tapi siapa peduli? kamu akan baik-baik aja toh, dengan atau tanpa aku. Take care, you.

Aku, bukan siapa-siapa


Tiana

Sudah dua tahun saat saya pertama kali baca surat ini, saya mengernyitkan dahi dan melipat surat itu untuk dimasukkan kembali ke amplopnya. Saya kembali mengangkat kardus pakaian dan menggumam pada foto Tiana di balik selimut usang saya “kamu salah kalo kamu kira aku menyesal atas kehilangan kamu. Aku sukses sekarang, rasanya bahkan kalo aku masih sama kamu, aku nggak akan sesukses sekarang. Aku sih nggak doain kamu nggak sukses, tapi aku tau, aku nggak akan kenapa-kenapa tanpamu”. Saya kemudian keluar dari rumah saya untuk yang ke sekian kalinya, memindahkan sendiri barang-barang saya untuk dibawa ke rumah baru saya, yang lebih besar dan lebih nyaman dari rumah saya dan Tiana ini.

Sudah dua tahun saya tinggal disini tanpa Tiana. Sepi memang, tapi sungguh, saya tidak menyesal. Tiana memang terlalu angkuh dan egois untuk bertahan bersama saya. Bukan salah siapa-siapa, saya hanya merasa selama ini dia banyak menuntut dan tidak sabaran dalam menghadapi saya.

No comments:

Post a Comment