Wednesday 1 September 2010

saat siang saat santai

Satu satunya tetangga saya di deretan kontrakan ini ada yang merupakan pasutri beranak satu. Pak Gimin dan istrinya Bu Tini. Mereka beranak putri usia 6 tahun bernama Diana. Pak Gimin adalah supir pabrik yang berlokasi beberapa ratus meter dari tempat kami mengontrak. Istrinya adalah pembantu rumah tangga di tempat pemilik pabrik dimana Pak Gimin bekerja. Mereka sudah menikah selama delapan tahun dan ingin anak kedua setelah Diana genap berusia lima tahun. Satu tahun sudah mereka menanti kehamilan kedua dari rahim Bu Tini.


Sekali saya dengar Bu Tini cerita tentang kegugurannya saat Diana berusia tiga tahun. Namun mereka tidak putus asa, karena mereka yakin, akan ada jabang bayi berikutnya dalam rumah tangga mereka. Bicara soal rumah tangga, tempat tinggal kami adalah kotak kotak berukuran dua kali dua meter tanpa kamar mandi. Sulit buat saya yang tinggal jauh dari orang tua saya, namun ternyata lebih sulit lagi bagi mereka yang sudah berumah tangga. Satu petak kamar disekat menjadi dapur mini dan ruang tidur untuk ukuran keluarga Pak Gimin, sungguh miris buat saya. Mereka harus mengalokasikan spasi ruang untuk ranjang mini bertiga, rak buku dan baju serta televisi dan meja mungil dalam petak tersebut.


Jangan bandingkan dengan saya, yang hanya harus menampung dua rak buku dan beberapa kardus pakaian untuk kuliah. Pak Gimin bergaji Rp. 700,000 tiap bulannya dan uang makan mingguannya hanya mencapai Rp. 150,000. Istrinya bergaji Rp. 600,000 dengan uang makan mingguan sama seperti suaminya. Saya sendiri heran bagaimana mereka menyekolahkan Diana hingga ke bangku SD seperti sekarang dengan keadaan ekonomi seperti itu. Nampaknya harus benar-benar hemat dan hati-hati sekali dalam mengambil keputusan hidup di keluarga mereka.


Satu hal yang baru saya sadari belakangan ini tentang mereka. Tentang keputusan makan siang di rumah pakai lauk masakan istri, Pak Gimin ternyata bersiasat lain. Saya salut dengan pemikiran ini. Setiap istirahat siang, Pak Gimin SELALU pulang ke kontrakan, menemui istrinya, makan siang lalu kembali lagi ke pabrik. Minggu lalu saya memergoki kebiasaan ini terlihat aneh. Pak Gimin keluar kamar begrganti celana. Saya mengernyitkan dahi hingga mengetahui bahwa ternyata mereka bercinta setiap istirahat makan siang.


Logikanya masuk. Kalau malam hari mereka harus berbagi kasur dengan Diana, si putri cilik. Tentunya suara mereka bercinta akan terdengar, sepulas apapun Diana tidur. Akhirnya keputusan bercinta di siang hari diambil karena Diana sedang bersekolah dan rata-rata penghuni kontrakan juga sibuk bekerja. Kecuali mereka berdua yang setiap siang mendapat jeda cukup panjang untuk pulang ke kontrakan dan kembali ke tempat kerja dalam waktu singkat. Hebat! Mereka menyisihkan waktu dan tenaga untuk bercinta di siang hari di saat kepenatan, panas matahari, sisa energi dan jatah makan siang bergabung menjadi satu di dalam lambung. Hebat!

No comments:

Post a Comment