Tuesday 1 June 2010

I've just broken another glass of wine


Pesta papa tadi malam seru sekali. Semua tamu berpakaian super mewah dan termasuk Mama, salah satu yang paling glamor, Pamanku. Sudah lama aku curiga pada pasanga ipar itu. Pasalnya, Papaku tidak pernah curiga pada kakaknya yang pernah memacari Mama sewaktu aku belum lahir. Banyak rumor yang mengatakan aku adalah anak Pamanku itu. Papa sendiri tidak pernah ambil pusing karena menurutnya, kami mirip.

Papa sering kutemui merenung jika tidak sibuk di depan layar komputernya. Jika aku bertanya, Papa hanya menjawab dengan 2 atau 3 kalimat yang membuat otakku menjabarkannya sendiri tanpa suara. Papa sering mengajarkan teknik bercocok tanam tanpa berkata kata. Ia menunjukkan padaku bagaimana mengolah pupuk, mengganti air, mencangkok dan stek tanaman dengan sigap dan tangkas. Aku hanya bertepuk tangan.

Sepanjang aku mengenalnya sejak lahirku, Papa jarang sekali bicara. Perbincangan meja makan didominasi oleh Mama dan kakak-kakakku. Aku sendiri sesekali mengisi jeda dengan menawarkan Papa sayuran atau lauk. Papa hanya mengangkat tangan dan sesekali mengangguk. Keluarga kami punya kebiasaan makan pagi bersama, makan malam tidak tentu dan makan siang selalu terpisah, setiap hari. Tujuh hari seminggu. Aku suka sekali kebiasaan ini.

Sejak masuk fakultas psikologi, aku mempelajari karakter keluargaku dan mendefinisikan mereka dengan bahasaku sendiri. Namun, definisiku ini tak pernah terbukti jika kami sedang mengadakan pesta di rumah. Seperti semalam, pesta kami begitu meriah. Kakak tertuaku dilamar pacarnya dan kami sekeluarga berpesta wine. Wine hasil kebun ayah enak. Semua tamu menyukainya.

Undangannya adalah keluarga dekat kami dan keluarga dekat pacar dari Tania, Erik. Setahuku, mereka sudah lama putus, namun tiga bulan terakhir ini kembali berpacaran dan sekarang Erik melamar Tania. Sejumlah 30 orang memenuhi rumah dan tamanku dengan aksesoris dan kemewahan mereka. Pamanku satu-satunya dari Papa masih single, hingga di usianya sudah melewati 50 tahun, ia masih terlihat gagah dengan kemeja dan full-suit. Tak jarang juga para keponakan dan sepupu Erik mencoba mendekati Pamanku itu.

Aku ingat betul mataku tertuju pada pudding melon dan strawberry cheesecake di meja sudut ruangan saat Garry memecahkan sebuah gelas wine. Ia menjerit keras namun mataku tak beralih dari pudding melon dan bongkahan cheesecake. Aku maju mendekati meja tersebut sementara semua tamu berlari ke arah yang berlawanan denganku untuk menghampiri kakak keduaku. Beberapa dari mereka histeris karena kaget dan sebagian wanita menjerit pelan karena gaunnya terkena percikan kaca gelas wine dan tumpahan anggur merah.

Aku tidak sedikitpun menoleh pada Garry, dan justru menangkap sosok Papa di dekat meja pudding dan cake tersebut di pojok.
"Papa, Garry haas just broken your most expensive glass of wine.."
"Really? I hope he didn't get hurt"

"He did not, Papa, do you?"

"Neither me, Son.."

"Then why are you standing here by yourself?"

"This loneliness in a casual to me, just like you.."



No comments:

Post a Comment