Wednesday 9 June 2010

saya dan kebiasaan minum susu saya

pagi tadi saya bangun dengan dering alarm yang memekakkan telinga.
kepala saya berat dan di sekitar tempat tidur saya berserakan beberapa kaleng bir dan tubuh teman-teman saya yang tidak tergugah dengan suara alarm tersebut. kami habis pesta bujang semalam. masalahnya, Ardi akan segera menikah, sekitar seminggu lagi Dania akan menjadi istrinya dan merebut keleluasaannya mengajak kami ke klub telanjang (sumpah mau nulis strip-club aja rasanya gatel kalo di-Indonesia-in) dan mabuk sampai pagi di akhir pekan.

Dania bukan perempuan cantik, ia cukup unik untuk Ardi dan kami semua. Sementara Ardi hobi sekali memukul Dania, kami justru akan memukul balik Ardi dan sering menghajarnya habis-habisan karena kata-kata kasarnya itu selalu menusuk hati Dania. Saya sendiri tidak simpati pada Dania, wataknya keras namun hatinya lembut. Dia baru menyelesaikan program Master di Jerman dan sekembalinya ke Jakarta, ia dipinang Ardi.

Dania sering masak untuk kami di rumah Ardi selepas mereka bercinta. Saya sendiri heran pada Ardi yang tidak pernah punya alasan tepat untuk memukuli Dania. Padahal Dania baik dan menerima setiap perselingkuhan Ardi dengan para perempuan habis semalam (one night stand juga susah ya di bahasa Indonesia-in) bersama kami. Kami sih jelas membela Dania, karena sejahat apapun perempuan, dia tidak pantas dipukul, berkali-kali, di depan teman-temannya. Wajar kalau akhirnya kami tidak hanya melerai namun jg menghajar habis Ardi.

Minggu depan tinggal hitungan hari, bahkan jam kalau menurut saya. Kepala berat ini mencoba berkeliling memandang ruang tamu saya dan menatap tubuh mereka yang terlihat payah, lalu saya tersenyum. Kalau diingat ingat, kami sudah bersama selama tujuh tahun, berbagi banyak hal dari uang saku, tips berenang, musik andalan, referensi film dan wanita pujaan. Setelah tujuh tahun ini, saya nggak menyangka Ardi yang akan menikah lebih dulu. Dengan alasan yang super aneh bahkan sama sekali tidak masuk akal "menjadi dewasa dan seorang pria bertanggung jawab" (a changed and mature man itu ini bukan bahasa Indonesia-nya?)

Orang tua Ardi keturunan Samarinda. mereka adalah keluarga pekerja keras dan penuh konflik. Saya sendiri sudah lama kenal dengan orang tua Ardi, jauh sebelum kami jadi sahabat dekat. Konon, orang tua saya dan orang tua Ardi sudah berkawan lama, dan Ardi yang beda dua tahun dengan saya itu sempat diasingkan ke pulau Jawa bersama Pamannya, sementara saya dan kedua orang tua Ardi menjalin hubungan Bapak-Ibu-Anak dengan sangat baik. Panjang ya menceritakan kisah saya dengan Ardi, karena dia yang paling rumit silsilah pertemanannya dengan saya.

Kembali ke pernikahan Ardi Dania yang sudah cukup matang. Ardi memesan dua tiket ke Lombok untuk bulan madu mereka dan pihak kantor Ardi memberikan cuti selama seminggu untuk hal itu. Saya sendiri banyal mereferensikan tempat dan tujuan bulan madu untuk mereka. Nampaknya Ardi punya kelainan jiwa dalam hal berlibur, ia selalu mempersiapkan segalanya lebih detail dan rumit daripada pecinta liburan sendiri (backpacker itu pecinta liburan bukan ya?)

Dania sendiri terlihat leboh fokus pada kehidupan pasca pernikahan sebagai istri Ardi. Beberapa kali kami meyakinkan dia bahwa kami akan selalu ada di dekatnya untuk melindunginya dari Ardi yang kadang kumat penyakit memukulnya. Kami juga menyarankan Dania untuk belajar bela diri dan adat jawa agar ia bisa membela diri sekaligus mengendalikan kekasaran omongannya pada Ardi. Entah setan Jerman apa yang membuatnya menjadi perempuan mungil yang keras dan cerdas.

Dania hanya mengangguk pelan lalu tersenyum pada kami, senyuman yang sama setiap kami akan mengajak Ardi pergi, seperti tadi malam misalnya. Baru semeter mobil kami melaju dari garasi rumahnya, Dania sudah membombardir ponsel KAMI SEMUA dengan pesan singkat yang meminta kami menjaga Ardi dan selalu stand-by kondom untuk tiap pesta kami. Kami hanya membalas (melalu pesan saya) "Dan, laki semua, no girls tonight, lo tau rumah gua kan?"

Dania tidak membalas karena dia tau benar bagaimana peraturan rumah saya yang anti-seks-bebas dan anti-narkoba. Alhasil, hanya puntung rokok, dvd film action dan kaleng bir yang menghiasi rumah saya pagi ini. Saya menatap mereka satu persatu lalu berhenti pada Ardi. Posisi tidurnya telengkup dan nafasnya bau alkohol. Saya melangkahinya dan meraih ponsel di sisinya tanpa menyentuhnya sama sekali.

"Dan, Erik nih.. Ardi masih tidur, hangover"
"Oh, tolong suruh Ardi cepet pulang, aku abis morning-sick"
"Lo hamil?"
"Mungkin, makanya aku mau ketemu Ardi cepet, nggak tenang nih.."
"Dan, hari ini Ardi gak bisa pulang, kami mau ke Anyer, mungkin besok baru kita anter balik ya"
"Anyer? Ayo dong, gak mungkin kan aku kesana sekarang untuk bangunin dia?"

Saya mulai merasakan hawa kekerasan lagi dalam percakapan kami. Setelah menutup telepon, saya menendang Ardi hingga dia terbangun. Ia langsung bangkit membenahi diri setelah saya menceritakan percakapan saya dengan Dania. "Taik, paling bukan anak gua kalo bener"

Dania tidak selingkuh, Ardi yang selingkuh namun menuduh Dania selingkuh.
Saya selalu bingung dengan pikiran Ardi, dan untuk kesekian kalinya, di pagi itu, saya menemani Ardi menemui Dania, just in case Ardi akan melayangkan tamparannya lagi kepada Dania, si perempuan mungil dengan watak keras dan cerdas.

2 comments: