Friday 11 May 2012

jilbab biru dari calon suamiku

"Syukron Tasya, Tyson udah sempat datang" Anisa memelukku di pelaminan saat aku bersalaman dengannya. Ahmad hanya tersenyum memandang Tyson dan aku mengenakan pakaian batik serasi hari itu.
"Barakallah, Akh, Ukh.. cepet punya momongan biar aku jadi Om, hehehe" Tyson tertawa renyah menyambut wajah Ahmad yang tersipu malu mendengar ucapannya.

Kami beranjak ke beranda rumah mewah Anisa, dari atas terlihat taman terbentang luas beserta puluhan orang dibawah yang sedang menikmati hidangan resepsi dengan sanak keluarga dan teman mereka masing-masing. Aku menatap anak-anak kecil berlarian dekat kolam ikan dan sesekali ikut tertawa mengamati tingkah laku mereka. Tyson berdiri membelakangi dinding balkon dan meletakkan kedua sikunya di atas dinding rendah tersebut. Jarak kami sekitar setengah meter dan posisi tubuhnya direndahkan sehingga telinga kanannya sejajar dengan telinga kiriku, berdiri bersampingan dengan pandangan mata berlainan.

"Kamu masih cemburu sama mantan pacarku, Tas?" Tyson bertanya tanpa basa-basi. Senyumku hilang namun tetap memandang anak-anak di taman bawah.
"Apa salah aku cemburu?"
"Cemburu itu bagian dari ekspresi rasa sayang. Justru aku curiga kalo kamu nggak cemburu, Yang harus kita jaga saat merasakan emosi cemburu itu adalah objek kecemburuannya."
"Maksudmu?"
"Cemburulah pada hal yang sifatnya motivator dan sehat, misalnya aku cemburu kalo kamu ternyata lebih khusyuk jadi makmum ayahmu daripada jadi makmumku. Itu cemburu yang termasuk sehat, karena memotivasi supaya aku bisa bikin ibadah kita lebih baik lagi nantinya, terutama saat nanti kamu jadi istriku, insya Allah"
"Terus yang nggak sehat itu gimana?" Aku menoleh sedikit ke kananku, mengharapkan jawaban yang sesuai dengan harapanku. Tyson tidak balik menatapku, ia hanya melihat dari sudut mata kanannya, tanpa mengubah posisi maupun nada bicara.
"Cemburu yang nggak sehat itu, kalo kita sudah membandingkan diri kita sendiri dengan objek yang kita cemburui. Misalnya ya, ini misalnya lho, Tas..." Tyson seperti ragu memberikan contoh yang satu itu, aku hanya mengangguk agak geram menunggu penjelasannya, "gimana?"
"Misalnya kamu mulai membandingkan masakanmu dengan Mamamu, terus kamu menyalahkan dirimu sendiri karena ternyata kamu kidal, lalu kamu memaksakan untuk nggak kidal lagi karena kamu yakin kidal itu penyebab masakanmu nggak enak. Itu nggak sehat, itu namanya cemburu buta."
Tyson berhenti sejenak. Kami terjebak dalam pikiran dan interpretasi masing-masing. Aku seperti merasakan Tyson juga menganalisa kembali ucapannya barusan, kalau-kalau ia salah kasih contoh.
"Ngerti kan maksudku nggak sehat itu gimana? Bukan nggak wajar, dan bukan berarti kamu harus merasa lebih baik atau lebih buruk dari seseorang yang kamu cemburuin. Hanya kalo bisa kamu lebih peka lagi terhadap sinkronisasi hati dan pikiran."
"Aku cuma nggak suka kamu deket lagi dengan perempuan lain, ada rasa....." kali ini aku yang ragu dalam meneruskan pernyataan itu. Tyson gantian menatapku dari tolehannya di kananku. Aku hanya menunduk, "ada rasa takut kehilangan." tenggorokanku tercekat seusai kata terakhir itu. Tyson langsung membalas tanpa pikir panjang.
"Itu sehat kok, asal jangan ada rasa rendah diri dan merasa kalah dengan perempuan lain ya?" Ia tersenyum melempar pandangan lagi ke depan, meninggalkanku mengangkat agak tinggi daguku dengan wajah bingung. "Rasa takut kehilangan itu sehat, tapi kamu harus tau, ada orang yang mencintai kamu dan kekuranganmu. So, jangan pernah merasa kamu nggak pantas dicintai karena ada kekuranganmu." Tyson meneruskan, aku kembali menunduk malu.
"Kamu pernah nggak cemburu sama aku?" mendengar pertanyaanku, Tyson membalik tubuhnya menyamai pandangan denganku, melihat anak-anak yang masih asik berlarian di sekitar kolam ikan. Sekarang tubuhnya sejajar denganku, jarak masih setengah meter dan telinganya kini sejajar dengan dahiku. Aku melirik sedikit, melihatnya menghela nafas seperti memikirkan jawaban yang pas untuk tanyaku.


"Bedanya aku sama kamu cuma di ekspresi. Kalo aku cemburu, aku diam." aku hampir memotong ucapannya namun ia terlanjur memberikan kode 'diam' dengan telunjuknya di bibir "kalo aku nggak bilang, bukan berarti aku nggak merasa cemburu. Kalo kamu nggak lihat sesuatu, bukan berarti sesuatu itu nggak ada. Aku cemburu kok sama kamu, sama tugas-tugasmu di kantor, sama anak-anak itu yang dari tadi kamu perhatikan sepenuh perasaan" Tyson tersenyum penuh arti. Aku ikut tersenyum.


"Kamu mau bilang kalo sesuatu yang nggak diekspresikan itu bisa membuat salah paham? Aku udah tau, dan aku mencoba menghindari salah paham dengan menunjukkannya, bukan mengatakannya." Aku paham maksud Tyson, dia dan segala filosofi sosialnya. Dia dan segala penjelasan dan pengertiannya terhadapku. Aku menunduk malu lagi, Tyson nggak marah kalo aku cemburu buta, justru dia menjelaskan gimana seharusnya pikiran menyeimbangkan perasaan. 

"orang yang berilmu itu derajat lebih tinggi di mata Allah, jangan takut imanmu hampa, karena otakmu membantu mengaplikasikan apa yang kamu percaya terhadap perwujudan tindakan yang nyata" Tyson menyerahkan sebungkus kotak ukuran A4 kepadaku. Dari luar terlihat itu jilbab warna biru yang aku taksir dari bulan lalu di online shop Turki, dan dia menghadiahkan kepadaku. Tyson bilang "bingkisan penghargaan untuk kamu yang berani jujur tentang perasaan dan kekhawatiranmu. Sekaligus terima kasihku untuk kepercayaan yang kamu berikan selama bersamaku"

No comments:

Post a Comment