Thursday 13 September 2012

ask yourself before you blame others.

saya kasih disclaimer di awal dulu ya: saya nggak sempurna dan jelas judul postingan ini juga berlaku untuk saya.

Terinspirasi dari jutaan keluhan warga Jakarta, dan terakhir, rekan saya Haikal yang ngetwit:
"@haikalmaksum69: Mati gw. Di Thamrin, macet ga bergerak, dan 16 menit lagi mulai 3in1..."



Specifically, 3in1 menurut saya adalah salah satu strategi pengurangan kemacetan lho. Secara konsep saya suka adanya ide peraturan 3in1. The problem is; how feasible this concept is untuk diterapakan di kawasan protokol ibu kota. Mengacu pada website POLDA Metro tentang kawasan yang ditetapkan sebagai jalur 3in1, signifikansinya adalah menjadikan daerah-daerah pusat aktivitas kota jadi lebih efisien dengan less cars on the street and more people using public transport if not possible to be in one car with strangers. Iyalah diliat dari wilayah-wilayah ini, sebagian besar memang gedung kantoran, pusat perbelanjaan, terminal dan bahkan sekolah... (whoops, not talking about cityscape dan planologi tata kota this time, please shut me!)


Menurut Wahyu Tamtomo Adi, M.Sc. Eng, ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidakefektifan 3in1, dan intinya, doi menyimpulkan bahwa "kebijakannya gagal nangkep behaviour orang indo. orang-orang sih udah jelas bakal memaksimalkan utility demi manfaat yang paling banyak". Dari pendapat Bang Tama (red: panggilan sayang, hahaha), saya sih ngerti maksudnya bahwa pemerintah dan pembuat kebijakan harus paham dulu sama objek yang dituju sebelum membuat dan menerapkan kebijakan tersebut; apakah sesuai, apakah akan diterima, apakah bisa dijalankan. Dari segi collateral damage, Bang Tama juga mencontohkan behaviour orang Jakarta, yang notabene menengah ke atas dan berkendara, adalah orang-orang yang nggak ragu untuk pake joki demi menghindari 3in1. Nah, contoh behaviour ini yang justru pengen saya bahas; kenapa orang-orang Jakarta ini memilih langkah membayar strangers masuk ke kendaraan mereka demi nggak kena tilang Pak Polisi yang bertugas sweeping 3in1? Apakah ada satu kantor yang gengsi mendaftar karyawannya tinggal dimana untuk lalu diatur 'pulang bareng' dengan karyawan lain yang searah? Atau boss nggak mungkin pulang sama bawahan dong? Ataukah belum banyak shuttle bus/mobil kantor yang bertugas mengantar 5-20 orang karyawan secara bersamaan setiap harinya?


Instead of how ineffective the regulation is, I'd rather seeing the extent to people's role to actually be aware and enforce themselves into more useful effort and attempts to reduce traffic-craziness. Menurut saya, kesadaran warga Jakarta juga harus dibenahi, selain policy yang bisa diimproved. They should engage to not only how good is a rule, but also how good they are in obeying that rule. Survey singkat bin amatir lewat BBM dan social media menunjukkan bahwa beberapa orang Jakarta yang bermobilitas tinggi menginginkan adanya fasilitas memadai, which pada tahun 2005 diwujudkan oleh Transjakarta yang jaringannya menjangkau sebagian besar wilayah 3in1. Kemudian hasil report dan pemberitaan juga menunjukkan kriminalitas skala sedang (tapi kadang beresiko maut) di fasilitas tersebut; pelanggaran jalur busway oleh sepeda motor misalnya, atau pencurian besi-besi di halte busway, hingga ke skala agak menyebalkan tingkat karyawan swasta seperti pencopetan, pelecehan seksual dan tindakan tidak menyenangkan di dalam fasilitas Transjakarta. Oh, why this loop keep making us uncomfortable? What's wrong?


Lagi, saya melihat (dan mengapresiasi) adanya upaya dari penyedia jasa Transjakarta seperti peninggian jalur busway beserta pembatasnya (regardless how waste of resource dan merusak alam serta pohon that is) agar kendaraan pribadi apalagi motor masuk ke jalur tersebut (which tetap dilanggar oleh para motor, sebagian besar). Kemudian pembatasan antrian penumpang laki-laki dan perempuan di halte bus (I know this is sexist, but what can THEY do?). See? Saya yang terlalu naive melihat upaya baik Transjakarta, atau memang warga Jakarta yang skeptisme-nya masih tinggi terhadap potensi kemajuan ibu kota dan sistem transportasinya? Saya jadi ikutan mikir "kitanya yang nggak bisa jaga fasilitas yang udah ada dan patuh sama peraturannya, atau merekanya yang nggak ngerti sudut pandang kita yang ingin kedamaian di jalan raya?" Lalu pikiran saya jadi "siapa 'kita' dan siapa 'mereka' ya?"


Kepengen sekali-sekali nggak ngeluh, either sama traffic-nya tau angkot yang nggak nyaman pengendaraannya. Well, berhubung saya lama nggak bertransport di Jakarta, tulisan ini belum valid ya tanpa testimonial saya. Insya Allah bulan depan saya live report pengalaman bertraffic di Jakarta.
Selamat berkendara, and keep smiling no matter how Jakarta has been totally annoying.

:)

No comments:

Post a Comment