Saturday 22 September 2012

we do things we don't actually want.

"sayang, nikah yuk!" seketika mata Airin membelalak menatap Kia terkejut. Ia terjebak dalam tiga menit tayangan ulang di otaknya ke masa tiga minggu lalu. Dimana ia membahas masalah pernikahan dengan Ibunya, dan itu bukan hal mudah untuk Airin karena ia harus meyakinkan Ibunya bahwa dalam jangka dua tahun, Airin akan berusaha sudah menjadi istri seseorang; either Kia atau siapapun yang serius dengannya.


***
"Memang Kia nggak serius sama kamu, nak?" Adonan banana bread di tangan Ibu mulai membaik dan hampir siap di panggang
"Serius sih kayaknya, Bu. Airin aja yang belum yakin sama diri sendiri" Airin sibuk menyiapkan loyang-loyang yang akan menjadi alas cetakan banana bread Ibunya.
"Kok kamu?"
"Airin nggak yakin bisa membahagiakan suami Airin nanti, belum tuntutan jadi Ibu rumah tangga, seandainya bener sama Kia. Kayaknya Kia mau punya istri rumahan gitu, Bu. Sedangkan kerjaan Airin kan Ibu tau sendiri, harus sering keluar rumah dan bikin laporan mingguan"
"Ibu ngerti perasaan kamu, tapi cobalah bilang sama Kia, atau siapapun itu calonmu. Kasih pengertian bahwa kamu belum bisa atau belum mau..."
"Belum mau!" Airin memotong ucapan Ibunya
"Belum mau meninggalkan karir yang lagi kamu nikmatin, nak"
"Iya Bu"
"Ibu nggak maksa kamu harus nikah di umur sekian, cuma kepengen make sure aja kalo kamu tau apa yang kamu lakukan dan kamu tau apa yang jadi target hidupmu sendiri, nak"
"Iya Bu" Airin masih lanjut menuang adonan yang sudah jadi ke loyang yang sudah ia persiapkan. Sementara Ibunya mencuci tangan.....

***
"Lo yakin Airin udah mau settle samalo, Bang? Kok menurut gue dia masih tipe orang yang pengen bebas gitu ya?" Suara mungil Adis membuat Kia kikuk dan menjatuhkan cicin warna putih di genggaman tangan kanannya.
"Ketok dulu kenapa sih Dis kalo masuk kamar gue" Kia memungut kembali cincin itu dan memasukkannya ke kotak mini berwarna hitam.
"Ya dari tadi gue udah manggil-manggil tapi lo nggak jawab. Ya gue samperin, eh, taunya lagi menggalau disini. Gimana? Kapan mau propose?"
"Nggak tau, doakanlah Abanglo ini bisa segera memastikan kejelasan hubungan sama Airin. Meskipun baru sebentar pacaran, tapi gue dapet banget chemistry-nya bahwa she's the one"
"Udah, sikat aja.. Tapi Bang.. lo siap nggak seandainya dia belum siap?"
"Bakal awkward nggak sih, kalo gue propose, trus sebenernya dia belum siap tapi karena nggak enak dan kasian sama gue terus dia jadi terpaksa bilang mau? Kebayang nggak lo?"
"Ya makanyaaa Bang, lo gak usah sok romantis setting up suasana dan acara yang nggak-nggak deh, prepare for the worse!!!hahaha" gelak tawa Adis membuat Kia tersipu malu. Kia memang bukan tipe cowok romantis, but once he does it, he prepares the best.


***
Tiga menit berlalu begitu cepat. Suara bambu tertiup angin terdengar seperti gemericik air sungai yang jernih dan mengalir stabil. Sekitar Airin dan Kia seketika sunyi sebelum akhirnya Kia memetikkan jarinya di depan wajah Airin dan berseru "bercanda kali yang!!! Aku mau punya rumah dulu sebelum ngelamar kamu! Tapi pasti aku akan lamar kamu, in no time!" Lalu ia membuang wajahnya dari tatapan Airin, menatap lurus sambil menggenggam tangan Airin di sebelahnya. Mereka berdiri bersampingan di teras restoran di atas bukit sejuk. Sambil menggenggam tangan kanan Airin, tangan kanan Kia merogoh saku celananya, memastikan kotak cincin masih di sana, lalu ditenggelamkan lebih dalam lagi di saku itu.


"Belum saatnya" batin keduanya serempak membisikkan kata itu ke otak mereka.

No comments:

Post a Comment