Tuesday, 16 June 2009

banci kaleng 2009

Aku sedang menelusuri trotoar bergaya '98 di Jalan Sudirman
sedikit bersiul mendendangkan lagu berjudul "Stupido Ritmo"
Itu adalah sore yang ke sekian aku melewati trotoar sempit itu.
Dari jauh terlihat sesosok pria tua, pengemis nampaknya, dengan pose standar.
Semua terlihat normal, pakaiannya compang-camping,
tbuhnya kurus, ia terlihat sangat lusuh dan bisa kupastikan,
trotoar ini adalah rumahnya.
Sisa bungkus nasi terlihat berserakan di belakangnya. Terdapat sekotak kardus mini di pangkuannya.

Yang aneh adalah, setiap orang yang lewat dan ingin bersedekah, mereka melempar uang mereka.
Tidak sopan sekali menurutku, namun pengemis itu terlihat baik-baik saja dengan perlakuan mereka.
Hingga sampai pada langkahku mendekatinya, aku masih melihat dua gadis kecil lewat di depannya sambil
melempar uang logam ke hadapan sang pengemis.

Kebetulan aku menemukan selembar uang kecil di sakuku lalu kuletakkan dengan sopan di pangkuan pengemis itu.
Tiba-tiba ia menghardikku dengan suara yang sangat keras. Ia berteriak hingga setiap orang dalam radius 100 meter
mendengar teriakannya padaku. Ia melanjutkan amarahnya dengan memakiku. Sendi-sendiku mendadak kaku.
Urat di belakang telingaku mendadak tegang dan aku berada pada 'state of steady' sama sekali.
Menurutnya, aku sangat tidak sopan padanya. Ia terus berbicara (dengan emosi) dengan nada tinggi dan beberapa kata kasar.
Aku tertunduk mendengarnya, tidak menangis namun tidak juga ia berani menatap sang pengemis.

dari posisi duduknya, sang pengemis lama-lama berdiri dan aku kemudian menyadari bahwa tingginya melebihi tinggiku.
Ia memang sangat tua namun masih terhitung sehat, kedua lengannya tak terlihat namun kakinya kokoh menopang tubuhnya yang bungkuk.
Ia terus mengomel dan terkadang menunjuk-nunjuk wajahku.
Berangsur-angsur ia merendahkan suaranya dan aku menangkap bahwa etika bersedekah yang benar adalah dengan melempar uang ke hadapannya.
Ia terbiasa mengambil uang yang berserakan di sekitarnya agar orang tidak perlu repot menghampirinya,
ia juga melakukan itu agar tidak terkesan seperti pengemis.
Hal lain yang kutangkap adalah ia tidak mau dilihat terhina dan orang lain merasa kasihan padanya.
Setelah kurang lebih 15 menit aku diam menunduk di depannya, aku berkata lirih padanya,
"PENGEMIS GENGSIAN YAH??"

Dia kemudian menangis hingga tersungkur.
"Kalo bukan harga diri, apalagi yang aku punya?"
Aku berjongkok mendekatinya, aku menatap lekat-lekat wajahnya yang penuh kerut.
Ia menatapku kembali, tatapannya seperti tatapan rindu pada seorang cucu.
Aku pun teringat dengan kakekku. Kami terus berhadapan hingga akhirnya kami sama-sama menangis.

Tak lama, aku sadar di sekeliling kami telah ramai orang melihat kami.

Kuperhatikan satu demi satu wajah itu,
ada yang menghina,
ada yang tertawa geli,
ada yang iba,
ada yang acuh,
ada yang marah,
ada yang tersenyum puas,
ada yang terharu,
ada yang kaget.

Aku tersentak dan segera bangkit, menghapus air mata,
lalu melangkah agak cepat untuk pulang.
Aku tidak mau pulang terlambat,
karena Ibuku bisa dua kali lebih marah dari pengemis tadi bila aku telat sampai di rumah.


*SEBUAH PERJALANAN HATI, ANTARA RUMAH DAN DISKOTIK.

No comments:

Post a Comment