Wednesday 21 April 2010

kira-kira apa yang terjadi dalam selang lima detik

kalau sebuah kain dihamparkan di lantai kamarku, kain itu akan terlipat menjadi beberapa lapis.
Semata-mata karena kamarku terlalu kecil untuk kain selebar itu. Ayahku memaksaku memakainya sebagai alas tidurku, aku lebih memilih sarung tua yang sering kugunakan untuk sholat ketimbang kain tebal ini. Masalahnya, Ayah selalu bisa membuatku menggunakan kain ini. Lagipula, kalau dirasa-rasa kain ini jadi semakin empuk karena lipatannya yang semakin tebal. Lebih-lebih kalau kamarku menyempit saat Ayah melebarkan dinding partisi kamarnya menekan jatah tidurku.

Kami tinggal berdua di ruangan sempit itu. Aku tidak menyebutnya 'rumah' karena ia tidak punya dapur, tidak punya kamar mandi, tidak ada ruang tamu, tidak berjendela cukup dan berdaun pintu selembar papan lapuk. Ruangan ini yang tersisa dari hasil judi Ayah. Aku selalu salut pada kekuatannya menahan diri menjual ruangan ini.

Malam kemarin Ayah menang main judi. Agak banyak menangnya sehingga aku dibelikan nasi uduk tanpa lauk dan beberapa botol minuman. Sebungkus nasi uduk dan sebotol anggur oplosan adalah sarapan paling romantis yang pernah kami lakukan sepanjang bulan itu. Terkadang Ayah merampas uangku dan mengajak aku main judi. Sayangnya, aku selalu bisa mengelak dan melewatkan malam panjang penuh tawa dan hiburan para supir dan preman pasar teman-teman Ayah.

Aku bekerja tidak terlalu keras, aku tidak perlu korupsi. Terminal tempatku bekerja tidak terlalu jauh dari pasar tempat ayah 'membanting tulang' (dalam makna sebenarnya, karena kalau tidak ada satu orangpun yang dilukainya dalam sehari, maka aku dan kepalaku jadi sasaran tinjunya). Di terminal tempatku bekerja, aku memiliki beberapa teman yang senantiasan mengerti dan mendukungku.

Koran-koran yang kujual mulai tidak laku, jadi mereka memodaliku dengan beberapa barang dagangan seperti perkakas dapur atau mainan anak-anak untuk didistribusikan di pasar dan jalanan. Aku sering memilih beroperasi di jalanan dengan resiko razia tramtib dengan lebih besar dibanding bertemu Ayah di pasar. Pasti Ayah malu anaknya hanya jadi loper koran atau pedagangn asongan.

Sekali dulu Ayah bangga sekali aku mendapat beasiswa ke luar negeri dari suatu institusi yang mengadakan kompetisi di SMA ku. Saat itu juga Ayah membatalkan niatnya untuk merestui kau pergi jauh darinya karena menurut wasiat Ibu yang tidak pernah kutemui jasadnya, aku harus tinggal bersama Ayah dan Ayah telah berjanji untuk menjagaku sampai salah satu dari kami mati.

Saat itu juga aku bangga pada Ayahku yang penjudi dan pemabuk. Ia mempertahanku dari gapaian indahnya dunia luar dan mereguk nikmatnya menjadi seorang cendikiawan. Aku pun mengalihkan kesedihanku dengan mengajar anak-anak sekitar rumahku pelajaran sekolah yang sulit seperti matematika dan fisika. Ayahku lagi-lagi menghabiskan uang itu di lapak judi dan botol minuman.

Ngomong-ngomong, botol minuman yang dibeli Ayah dengan menggunakan uangku itu sekali pernah melukai aku saat ia habis berkelahi dengan geng preman sebrang desa. Botol itu diayunkannya ke tanganku saat aku membantu membersihkan lukanya. Ayah begitu mabuk sehingga malam itu bicaranya sedikit ngelantur. Ia menyesali mempertahankanku, karena bila aku ke luar negeri, ia bisa meminta kirim uang lebih banyak padaku. Ia berharap aku bisa memberinya rumah dan fasilitas lainnya karena aku akan menghasilkan banyak uang di sana.

Aku menahan nangis mendengarnya, rasanya ingin kurobek luka ditangan dan perutnya saat itu. Kemudian ia melanjutkan dengan menceritakan tentang Ibuku. Ia begitu mencintai Ibuku, setiap saat ingin berbuat negatif, Ibuku selalu bisa mencegahnya. Ibu meninggalkan banyak harta sepeninggalya dan selahir aku. Ayahku berhasil mengelola peninggalan Ibu dengan menyekolahkanku hingga SMP, saat SMA, aku dan Ayahku seperti kehilangan arah karena Ayah tidak bekerja.

Ayah tidak pernah bekerja, ia hidup dari uang orangtuanya. Setelah menikah dengan Ibuku, ia hidup dari uang Ibuku, sepeninggal Ibuku, kami hidup dari warisan Ibu. Seketika aku merindukan Ibu. Sosok perempuan yang belum pernah aku lihat seumur hidupku, bahkan fotonya pun tak ada. Seketika itu pula aku bersyukur aku bukan perempuan.

Karena aku bisa saja diperkosa Ayahku sendiri, dijual untuk makan Ayahku, atau bisa saja aku mati saat melahirkan anak dari seorang bajingan seperti Ayah.
Aku mencintai Ayahku, seperti ia mencintai Ibuku.

No comments:

Post a Comment