Saturday 9 July 2011

di balik sebuah hastag dan partitur

Teori dasar dari sebuah hubungan adalah ketidakperluan akan suatu hal yang namanya "over-posesif" alias perasaan terlalu memiliki. Gua nggak pengen sok filosofi menjabarkan definisi dan elaborasinya. Gua cuma mau cerita, bahwa suatu hari, gua merasakan sikap over-posesif itu nggak pernah salah. Karena kalo sampe gua nggak tahan dengan sikap itu, nggak mungkin gua bisa ngetik ini, hari ini.

Lima tahun lalu, adalah peringatan satu tahun gua sama pacar gua, Abby. Kami sedang bersitegang karena Abby ngotot gua harus berhenti dari dance company gua, lalu ikut dia untuk nerusin usaha orang tuanya. Abby padahal tau persis bahwa hidup gua hanya bergantung pada nari. Sejak gua umur 7 tahun, warisan yang ditinggal sama orang tua gua hanyalah bakat main piano (dari papa) dan ballet (dari mama). Wajar kalo hari ini gua bener-bener kesal sm Abby yang seenaknya memotong garis hidup gua cuma karena gua terima lamarannya jadi istrinya.


Abby bilang kehidupan penari itu bebas dan nggak beraturan, sedangkan kalo gua nikah sama dia, gua bisa bantu dia di bengkel dengan working hours jelas, atau gua di rumah jadi seorang ibu dan istri. Pilihan yang Abby kasih bener-bener bikin gua linglung. Dari awal kami pacaran, sikap over-posesif Abby sudah cukup mengganggu gua, dengan alasan cinta dan takut kehilangan (I know this part sounds cheesy), dia ngelarang gua ini-itu dan serba mau jemput-anter gua kemanapun. Sunggu annoying. Kami bertahan sampe lima tahun, karena ternyata ya hati gua seperti terpaku sama dia (yeah, this one is cheesy as well). Apalagi dengan sikap dewasa dan tough yang selalu Abby tunjukkan sama gua, aduh, gua bener-bener 'fall for him'


Anyway, lima tahun lalu, dia ngelamar gua sekaligus minta gua berhenti dari tempat kerja gua. Dia masih izinin nari tapi nggak sebagai commercial performer. Gua hanya diizinin jadi guru nari, dan kegiatan lain yg paruh waktu. Gua emosi, terus gua pergi dari restoran super romantis itu. Gua lari pulang sendirian dan sampe rumah, gua bener-bener menjerit dalam hati. Email yang masuk ke laptop gua di rumah bener-bener bikin shock; kecelakaan yang menimpa rekan-rekan menari gua di Amsterdam. Perasaan gua hari itu bener-bener kacau balau. Lalu gua tidur.


Esoknya, Abby udah ada di dapur rumah gua. Buatin gua sarapan dan dia cuma senyam-senyum sama muka jutek gua. Setelah makan, dia cerita bahwa dia udah ngajuin surat resign gua ke dance company gua. Emosi gua memuncak lagi, dengan nada tinggi gua jelasin bahwa dance company gua baru kehilangan beberapa dancers dan sebagian lainnya masih perawatan di ICU di Amsterdam. Abby agak shock dengernya, lalu dia meluk gua sambil minta maaf.


Pengajuan resign gua yang dibuat sama Abby diterima. Sebulan setelah kecelakaan itu, gua resmi keluar dari dance company yang udah menghidupi gua selama lima tahun ke belakang. Gua juga nggak nyangka bahwa di tahun ke empat, gua harus ketemu insinyur macam Abby yang bikin gua luluh sm ketulusannya. Maklum, gua nggak pernah punya pacar sebelumnya, jadi waktu deket sama Abby itu gua ngerasa hati-hati banget sebelum beneran pacaran.

Sebulan setelah resign, di negara kami terjadi kericuhan politik dan budaya. Pertunjukan seni dilarang tampil di acara politik dan sosial lainnya. Setiap konser musik, pertunjukan tater dan tari hanya boleh digelar atas kepentingan pendidikan atau sekolah. Sejak itu, banyak sanggar dan dance company yang gulung tikar karena dicekal dan bangkrut. Saat itu mata gua terbuka, bahwa meskipun sakit dan sedih hati gua meninggalkan dance company, waktu itu gua membuat keputusan yang cukup melegakan untuk memilih menjadi sekretaris suami gua.


Ya, Abby nikahin gua sebulan setelah gua resign, dan bertepatan dengan keputusan pemerintah tentang kebijakan pertunjukan seni. Lagi-lagi, perasaan gua hari itu campur aduk; rindu, senang, sedih dan lega.

Abby bilang kalo mungkin hanya kebetulan aja garis waktunya gitu antara keluarnya gua dari dance company dan kisruh di negara kami, tapi satu hal yang selalu gua yakini, bahwa Tuhan menggariskan Abby untuk gua, supaya gua belajar bahwa bertahan di satu titik nyaman itu nggak selamanya baik. Kadang hal-hal yang kita kira nggak enak dan 'bukan bidang gua' itu justru hal yang membuka kita pada sudut pandang dan pengalaman baru.

Dalam hal ini, jelas gua bersyukur punya pacar yang over-posesif, karena kemudian, dia ngajarin gua bahwa rasa sayang itu bisa mengarah pada banyak hal, tinggal kita yang memilih, mau ke efek positif atau negatif. Kemudian gimana kita mau neyikapi dan menerima keputusan yang udah kita ambil.


I think Abby has been very good at being a positive possessive. :)

No comments:

Post a Comment