Friday 18 September 2009

SAYA BELUM TAKUT SAMA ANDA


Selagi menunggu kue matang, saya menulis blog.

Setelah setengah jam berkutat dengan analog di kardus oven, saya baru mengerti bahwa oven itu tidak menggunakan gas elpiji. Akhirnya saya sumbangkan elpiji tersebut ke tukang somay di dekat rumah.

Lalu saya kembali berkonsentrasi dengan adonan kue perban.

Saking konsentrasinya saya dengan adonan setengah matang, saya tidak mendengar telepon rumah berbunyi. Baru di dering ke delapan belas saya tersadar dan langsung berlari menjawab telepon itu.


"Halo?"

"Ini Amel?" suara perempuan yang berat mengagetkan saya

"Maaf, anda salah sambung, saya bukan Amel"

"Bohong!! Dalam waktu sepuluh menit, gua ledakkin rumahlo kalo lo nggak segera keluar bawa Susi" nadanya setengah teriak dan amarahnya meluap-luap

"Mbak, salah sambung tuh, Susiapa??" saya mulai malas menanggapi orang gila ini hingga dia berkata, "orang tualo udah mati di tangan gua! Lo mau sekarang kehilangan rumahlo juga? Rumah peninggalan orang tualo itu akan segera meledak, kecuali lo keluarin Susi sekarang"


Orang tua. apa apaan dengan orang tua saya? Mereka memang mati tertembak saat kerusuhan, tapi setahu saya, mereka mati secara tidak sengaja, bukan seperti yang orang ini katakan. Atau memang mereka dibunuh. Ah, nggak mungkin. Orang tua saya tidak punya musuh. alih alih mendengarkan wanita itu lanjut bicara, saya matikan telepon dan beranjak ke dapur.


Tau apa dia soal orang tua dan ledakan rumah. Susi siapaa pula? Saya enggan memikirkan lebih banyak, kembali berkonsentrasi dengan kue perban. Di layar LED terlihat sederet huruf-huruf digital. Saya tidak bisa baca, itu huruf digital. Saya juga tidak menemukannya di buku petunjuk produk. Firasat saya mengatakan bahwa itu adalah peringatan bahwa kue saya akan segera matang. Mungkin.


Benar. Sekitar sepuluh detik kemudian, layar tersebut mati dan pintu oven terbuka otomatis. Saya menilik ke loyang kue, menggunakan pelindung tangan dan mengeluarkan loyang panas itu.

Kue perban buatan saya sudah jadi, Warnanya hitam, pekat dan terlihat sangat manis. Satu persatu dari kepingan itu saya angkat dan tiba-tiba terdengar suara ledakan dari halaman rumah. "Bajingan!!" saya mengumpat dalam hati. Saya heran dengan tetangga saya yang sebelah timur. Dia suka sekali membuat saya marah, minggu lalu ia melempar pot - pot bunga ke halaman rumah saya, sekarang sebuah ledakan.


"Keluar lo pelacur!!!" suara berat di telepon tadi berteriak dari arah pagar depan. Saya bergegas keluar tanpa mengambil senapan di bawah rak piring kaca. Saya hanya akan menghadapi pecundang berbadan besar dan berpeluru kosong, tidak perlu senapan.

"Gua udah bilang, gue nggak kenal Susi!! Pergi!" Saya hanya menaikkan volume tanpa menaikkan nada suara. Ia terperanjat dan mengarahkan pistol mungilnya ke kepala saya. Kami berdiri tidak lebih dari 2meter dan matanya tidak berkedip memandang saya. Saya bisa pastikan wajah saya adalah datar tanpa ekspresi marah, tanpa ekspresi kesal atau apapun yang seharusnya keluar. Saya hendak mengulang kata "pergi" tepat dengan ayunan ibu jarinya di pelatuk pistol itu.

"Pistol ini ada pelurunya, satu buat lo, satu buat Susi" ia berbisik kasar sambil sedikit melangkah maju. Saya tidak gentar dan mengikuti langkahnya supaya lebih dekat dengannya.


Sekarang jarak pistol dan kepala saya tinggal satu meter. Saya mencium timah panas yang siap merasuk ke kepala saya semakin terasa panas seiring dengan tatapan perempuan gila itu.


Dia adalah Angel, wajahnya cantik dan tubuhnya tinggi besar. Tingginya terpaut 5 sentimeter di atas saya, dan kini tingginya bertambah sepuluh senti karena sepatu hak yang dipakainya.

"Sungguh, ini mirip film action. Apa lo mau jadi Angelina Jolie atau Sandra Bullock?" saya menurunkan pandangan ke dadanya lalu melanjutkan "Atau Julia Perez?" sambil tersenyum dan menatapnya mengayunkan lengan untuk menyikut dagu saya.


Tangan kanannya kekar, satu sikutan membuat bibir saya robek terkena gigi saya. Bagus, saya pikir satu pukulan ini sama dengan satu peluru untuk dia. "Mana Susi? Gua nggak ada waktu main sama lo!! Dimana dia?" suaranya semakin berat dan sekarang pistol itu kembali di kepala gue, lebih dekat nyaris menempel. Saya hanya menelan ludah dan terus mencoba untuk tersenyum. Saya gelengkan kepala saya pelan dan dia menempelkan pistolnya di kepala saya.


Terasa jari lentiknya menari membetulkan pegangan pada pistolnya, lalu pistol itu terjatuh.

Saya melebarkan senyuman dan dia menendang saya dibagian ulu hati. saya meringkuk dan berkata lirih "satu ini berarti sudah dua peluru Anda muntahkan" Peluru di pistolnya sudah habis. Saya bangkit dan mendorong tubuhnya keluar rumah saya.


Di depan pagar, saya mengangkat dagunya dengan sebelah tangan karena tangan kiri saya sibuk memegangi perut yang tertendang oleh lutut Angel. "Kalo sampe gua nemuin Susi, akan gua tembak kepalanya di depan mukalo!! inget itu!!!" Angel kembali berbisik kejam di depan wajah saya. Saya merasakan darah keluar dari bibir saya dan saya merasakan Angel menatap lekat-lekat darah itu. Ia menyesali pelurunya mungkin. Lalu Angel pergi menyisakan perih pada perut dan bibir. Bajingan.


Saya kembali ke dapur. Kue perban sudah mengering dan dingin. Segera saya sisihkan dan sajikan di piring kue yang baru saya beli kemarin. Susunan kue perban sore ini membentuk gambar langit. Langit hitam yang berdarah.

No comments:

Post a Comment