Sunday 28 November 2010

me and Billy

all right, I’ll have this in the pharmacy store, thank you.” Tepat setelah mengucapkan ‘bye’ aku berbalik dan BUK!! Aku menumbuk setumpuk buku tipis dan sebuah tubuh besar menjulang di belakangku. Ia langsung bangkit mengangkat tanganku dan meminta maaf sambil mendengarku juga mengucapkan maaf berkali-kali. “I swear I didn’t know that you were about to turn your body around and crashed everything.” Dia panik dan aku melanjutkannya dengan berkata “I hope I didn’t break anything or rip any books of yours” sambil membantunya merapikan buku-buku yang berserakan.

Selesai berberes, ia mengatakan “sorry” sekali lagi lalu beranjak pergi. Aku tidak melihatnya menatapku saat berkata “bye” dan akupun tidak mau ambil pusing atas sikapnya yang tanpa berbasa-basi. Aku tidak pernah tau bahwa bule benar-benar tidak bisa basa-basi. Sepertinya banyak hal baru yang harus kuterima di sini. Dan sebagai warga negara baru, memang seharusnya aku tidak perlu banyak aksi. Aku meremas perut sebelah kananku yang tadi menghantam buku-buku dan melangkah keluar dari gedung utama menuju gedung farmasi.

Aku sedang membeli obat untuk suamiku, kemarin demamnya hingga 40 derajat celcius dan kemungkinan penyebabnya adalah udara negara ini yang kurang bersahabat ditambah jadwal latihan band-nya yang kurang manusiawi (baca: hingga jam 3 pagi). Mereka sedang mengerjakan suatu proyek besar untuk pembukaan acara musik raksasa di negara itu. Aku memang bangga suami aku bisa main dalam acara besar namun saya kesal juga kalau akhirnya ia harus mengorbankan kesehatannya. Seperti sekarang misalnya, teman-teman band-nya datang ke rumah untuk mengerjakan editing musik meskipun Billy sedang benar-benar payah menunggu obat yang akan aku tebus ini.

Jadi sepulang konseling, aku terbiasa bertemu untuk makan malam dengan suamiku sebelum dia mulai latihan band. Lagi-lagi, sebagai warga negara baru, kami senang mencoba rumah makan yang berbeda setiap malamnya. Kemarin malam kami masuk ke warung sea food yang luar biasa lezat sampai aku nekat makan udang dan akhirnya suamiku terpaksa mengantar aku pulang dulu karena khawatir gatal akibat udang itu membuat aku lupa jalan pulang. Ya, kebetulan dia memang sesayang itu padaku. Dia juga yang mencarikan aku kerja di kota ini, tempat dimana dia dapat tawaran menjadi music arranger salah satu band lokal kenamaan.

Billy dan The Window adalah pasangan hidupku selama tiga bulan ini. Mereka asik bekerja sambil terus peduli dan memeriksa apakah aku baik-baik saja dengan pekerjaan baruku sebagai konsultan pendidikan. Bukan apa-apa, Billy merasa bertanggung jawab sudah menikahiku dan ternyata aplikasinya untuk bekerja di negeri orang diterima. Spontan ia malah sibuk setengah mati mencarikan aku kerja dibanding menyiapkan dokumen-dokumen untuk visanya. Sore itu Billy bilang “thank God I married a genius female who would easily get a job with me in everywhere” sambil mengangkat acceptance letter dari universitas swasta di kota yang sama dengan tempatnya bekerja. It was a blessed to work in campus, as a consultant, dan tetap tinggal serumah dengan suamiku.

Anyway, we were facing such hard times together karena dua minggu pertama kami selalu ribut tentang jadwal kerja dan aturan-aturan di rumah baru kami –it was a flat by the way. Billy baru mulai bekerja siang hingga malam hari sementara dia bersikukuh untuk mengantarku ke kampus setiap pagi. Dia bilang “orang sini masih pada rasis, aku nggak mau kamu jadi bahan bulan-bulanan mereka” dan setiap pagi adalah percakapan yang sama antara itu dan “kamu nggak usah anter aku kalo sepanjang jalan hanya akan tidur dan ngedumel soal cuaca dan antrian bus, Billy”. Sampai akhirnya Billy mulai terbiasa dengan capucinno instan buatanku dan gumpalan jaket yang membalut tubuh kurusnya. Billy juga mulai terbiasa memeluk pinggangku saat tumpukan orang sudah memenuhi bus ke arah kampusku. Sepulang mengantarku, tentu saja Billy tidur lagi sampai siang menjelang.

Aku memberikan resep obat ke apoteker dan dengan sabar duduk menunggu di pojok ruangan dekat mesin penghangat yang jadi idolaku setelah lukisan abstrak Billy yang kugantung di pojok kamar tidur kami. Aku sendiri masih belum percaya kami bisa tinggal jauh dari orang tua di Indonesia, dan rasanya perjuangan hidup benar-benar dimulai di sini. Meskipun aku adalah perantau dari Bali ke Jakarta, aku tetap merasa harus berjuang lebih keras untuk tinggal di luar Indonesia, sebagai seorang istri, sebagai seorang konsultan. Satu hal yang selalu kusyukuri adalah memiliki Billy sebagai pendampingku di negeri asing ini. Sekarang membayangkan ia terkapar bersama laptop dan kopi di rumah tanpaku benar-benar menyiksa.

“are you worrying about something, young lady?” seorang nenek berumur menghampiriku dan aku langsung bangkit mempersilahkannya duduk. Ia mengambil posisi di tempatku dan aku bergeser ke depannya. Setelah duduk berhadapan dengannya, aku baru menjawab “I am thinking about my husband, he is sick” ia tersenyum dan menyodorkan secangkir teh hangat untukku, aku menyambutnya dan meminum sedikit teh itu. “You are a good wife, just be patient, nothing in this world last forever, including your husband’s illness”. Aku tersenyum mendengarnya dan kami terperangkap dalam obrolan cukup dalam sejenak sampai aku mengucapkan “are you here for a prescription or the drug, ma’am?” dia menggeleng, meminum tehnya sedikit dan menjawab “my grand daughter works here, I want to pick her up and take her to the city for a movie” Aku mengangkat alisku dan melihat berkeliling sambil memeriksa apakah resepku sudah selesai.

Betul, seiring mataku mengikuti arah jari si nenek ke meja kasir, aku dengar nama suamiku dipanggil dan ternyata petugas kasir itulah cucunya. Aku membayar obat dan pamitan pada sang nenek “it was a good time to talk to you, thank you very much for the tea”
Dia mengangguk dan mempersilahkanku keluar. Aku pulang sambil tersenyum dan senyum itu hilang saat aku melihat papan “The Window, you see everything” yang tergantung di depan pintu apartemenku tergolek miring. Setelah membetulkannya dan menyeruak masuk, aku menemuka Billy sendiri sedang meminum jahe hangat kiriman mama di Indonesia sambil menatap ke arah jalanan. “udah bangun yang? Temenmu mana? Bubaran?”

Billy tidak menyahut dan aku menghampirinya setelah memposisikan obat di meja kecil dekat kasur kami. “No hurry, acaranya di undur sampe bulan depan. I got more time to remix and remake everything. Anyway, how was the drug, my lovely drug?” Billy menghabiskan jahe hangat dan memelukku dari samping, “did anyone bug you?” Ia menciumi keningku dari samping. Aku terdiam dan merasa aneh dengan sikapnya. “Fine, ayo makan terus minum obat sebelum kamu kerja lagi” Aku menariknya ke meja makan depan TV dan mulai meracikkan bubur oat untuknya. Billy menghidupkan TV dan memilih siaran berita sambil menungguku menyiapkan makanan.

“Aku nggak suka oat, makanya aku nggak suka sakit” Billy menggumam saat aku menyuapinya bubur tanpa rasa itu, ia masih terlihat pucat dan mencoba membuatku sedikit lebih nyaman. “Kenapa mereka banting pintu, Billy? Did you guys fight?” Billy mengernyit dan mengeraskan volume TV supaya aku diam dan tidak membahas kenapa papan nama band di pintu tadi miring. “Honey, there aren’t things we are hiding from each other.”

Billy menghabiskan sendiri oatnya dan meminum pil lalu menarik selimut dan meletakkan kepalanya di pahaku. Wajahnya menghadap ke TV dan sofa empuk itu menopang kepalaku dari belakang. Kami terdiam sepanjang sore sambil menatap hampa pada layar TV kami. “I think I should find another job. The Window terlalu arogan” Billy akhirnya bersuara. Aku yang setengah sadar mencoba mencerna kata-katanya dan justru membalasnya dengan mengelus rambut lebatnya yang berwarna hitam. “We’ll be good with or without them, dear. You just have to go thru these half year and we’ll find you a better place. Sekarang kamu sembuh dulu ya”

Mereka berkelahi hebat saat aku pergi. Masalahnya selalu sama, idealisme para musisi yang berbeda alirannya. Billy selalu bersikukuh tentang musik yang menyenangkan dan dilakukan dalam keadaan tenang, sementara The Window adalah band komersil yang terobsesi untuk selalu dicintai penggemarnya. Aku sebenarnya kurang paham dengan hal yang sifatnya kejiwaan musik, yang aku tau, Billy melakukan semuanya dengan cara yang baik menurutnya dan selalu totalitas dalam bekerja. Mungkin ada hal-hal diluar ilmuku yang tidak harus aku pahami selain Billy. Aku cukup tau bahwa sulit bagi The Window untuk bertahan tanpa arranger sehebat Billy, dan Billy pun tidak akan sanggup mencicil apartemen kami tanpa The Window. Billy selalu bilang “hal yang dilakukan setengah hati hanya bikin kita capek dan sakit pada akhirnya

Billy cerita tentang kelakuan para temannya yang sering pesta dan selalu banyak menuntut pada penyelenggara acara. Mereka yang tidak tau aturan dan selalu terlambat latihan. Aku sendiri sering mencoba untuk bertanya kenapa Billy masih melakukan hal-hal yang membuatnya merasa lelah dan kesal sendiri. Sayangnya suamiku itu selalu tegas menjawab “kalo udah panggilan jiwa, seberat apapun pasti aku jalanin. Sudah terbukti, menikahi kamu misalnya, berapa orang yang harus aku kalahkan untuk bisa nikahin kamu? Dan sekarang, setelah kita bisa settle di tempat kita sendiri, aku nggak akan mau nyerah cuma gara-gara para ABG yang nggak tau caranya bermusik”

Aku mengingatnya mengerjakan thesis dalam waktu setengah tahun sambil terus meyakinkan ayahku bahwa kami akan baik-baik saja meskipun pekerjaan paling tetap yang dimiliki Billy adalah instruktur musik di ibu kota. Ayahku bilang, pengrajin Bali banyak yang lebih baik dan lebih serius daripada Billy, tapi Billy berhasil membawa predikat Master ke kampungku dan memboyong putri terakhir dari I Wayan Suta dari Bali ke Jakarta untuk dinikahi secara terhormat. Buatku dan Billy, itu adalah prestasi tertinggi KAMI sebagai sepasang suami istri. Hingga sekarang, aku melihat Billy mengaplikasikan prinsip sama pada cara berjuang kami di negeri orang. Negeri dimana matahari adalah barang langka dan biaya hidup adalah bentuk kecil dari neraka.

“Why don’t we catch a movie tonight? Ini malem minggu lho, sayang” Billy mengangkat kupluknya dan merapikan rambut hitamnya sambil bangkit dari pangkuanku. Aku menghela nafas meraba keningnya yang memang sudah tidak demam lagi. Aku masih berpikir dia harus istirahat sampai besok siang paling tidak. “Aku janji nggak malem-malem dan kita langsung tidur ya abis nonton?” Ia bersikeras mengajakku keluar di malam hari di bulan November untuk menonton film. Aku mengangguk setelah memberikannya beberapa syarat seperti jadwal makan dan cara bicara di depan umum. Maklum, Billy adalah pria spontan yang sering tidak berpikir dalam berkata-kata. Kami akhirnya menghabiskan lima jam di luar dan pulang dengan wajah merah dan kepala pusing karena udara dingin yang menusuk.

Setelah meminum obatnya, Billy menepati janji untuk langsung tidur setelah mengecupku di kening. Sebelum menutup matanya, Billy bilang "thank you for staying and taking care of the stubborn me, being there for me, and caring my single bite of food, love". Aku menarik selimut sampai dadanya dan meredupkan lampu dekat kasur. aku lanjut mengerjakan laporan pekerjaan untuk hari senin, sambil menulis kisah ini. Dan mengakhiri kepenatanku dengan satu kalimat yang kutuliskan di pintu kulkas untuk Billy “as I promised you, dear, to stick together, for better or worse. Love”

No comments:

Post a Comment